Dieng merupakan sebuah kawasan dataran tinggi yang terkenal akan panorama terindah di Jawa Tengah selain peninggalan lain berupa candi di Klaten. Menjadi bagian dari Kabupaten Banjarnegara, Dieng juga menyimpan sejumlah bangunan peninggalan sejarah yang berharga berupa candi. Berikut ini merupakan penjelasan seputar candi di Dieng:
Pahatan relief Candi Arjuna hampir mirip candi hindu yang lain, seperti adanya anak tangga yang memiliki pegangan berhias kepala naga di ujungnya serta hiasan kalamakara di atas pintu menuju bilik candi. Pintu ini paling menjorok ke depan dan beratap lancip menyerupai rumah limas. Beberapa sisi candi juga memiliki ruang berukir yang agak menjorok daripada dinding, disebut juga bilik penampil yang biasa menyimpan arca hindu. Meskipun arca-arca beraliran hindu Syiwa ini telah dipindahkan, pengunjung masih bisa melihat bingkai berukir bunga kertas di sampingnya sebagai ciri seni dari India dan ukiran kalamakara di setiap bagian atas bilik penampil.
Di dalam bilik candi, terdapat yoni menyerupai meja untuk meletakkan sesaji dan lingga untuk mengalirkan air yang jatuh dari atap candi. Untuk bagian atap, Candi Arjuna memiliki atap piramid bertingkat tiga dengan puncak hampir melengkung atau tidak terlalu lancip yang sudah mulai rusak. Menurut sejarah Candi Arjuna, terdapat berbagai candi di sekitarnya yang dibangun bersamaan serta memiliki jenis batu yang mirip, seperti Candi Semar, Candi Srikandi, dan lain-lain. Candi ini juga masih menjadi tempat ibadah masyarakat lokal serta dipercaya sebagai tempat suci untuk upacara cukur rambut gimbal.
Untuk memasuki bilik candi, terdapat anak tangga berukuran kecil tanpa pegangan tangga yang mengarah menuju pintu candi di dinding sisi barat. Pintu candi berhias kalamakara tanpa rahang bawah di bagian atasnya. Candi yang ditopang oleh batur setinggi 1 meter ini juga memiliki bilik penampil sebagai relung yang menjorok sedikit ke arah luar dari dinding timur, selatan, dan utara candi. Di dalam candi, terdapat yoni untuk menaruh penerangan di sudut ruangan tetapi tidak ditemani dengan lingga, tidak seperti beberapa candi di Bali seperti Candi Tebing Tegallinggah.
Jika dilihat dari luar, Candi Gatotkaca berdenah bujur sangkar dengan model tubuh balok yang serupa dengan atapnya sekaligus. Namun sebenarnya atap ini bertingkat dan meruncing yang disebut amalaka atau ratna tetapi bagian puncaknya sudah hancur sehingga hampir sama lebarnya dengan tubuh candi. Saat ini, bagian atap yang terlihat hanyalah atap berupa empat balok dari bata yang serupa namun letaknya semakin ke tengah semakin menjorok ke depan.
Dibuat pada abad ke 8 Masehi, bangunan candi terbilang mirip dengan model dari India sehingga mungkin memiliki keterkaitan tertentu. Penamaan candi berpagar kawat setinggi 1 meter ini juga diambil dari ibukota Kerajaan Dwarata di India yakni Dwarawati. Sebagai peninggalan bercorak Hindu Syiwa, dahulu ditemukan arca Ganesha, arca Durga, dan arca Agastya pada relung arca candi tetapi semuanya sudah dipindah ke Museum Kailasa. Bangunan setinggi enam meter ini hanya menunjukkan bata penyusun tanpa relief mendetail tertentu dengan susunan bata yang agak mirip dengan Candi Gatotkaca, misalnya anak tangga yang kecil tanpa pipi tangga, atap tersisa berupa kubus, dan lain sebagainya.
Candi peninggalan Wangsa Sanjaya ini memiliki batur tanpa relief serta tangga kecil yang dilengkapi dengan pipi tangga. Setelah melewati tangga, pengunjung akan menjumpai pintu serta bilik penampil bermotif kertas tempel. Namun, ruangan atau bilik candi terbilang sempit dan tidak terdapat arca melainkan hanya yoni. Untuk melihat pahatan candi, pengunjung harus melihat di bagian luarnya yaitu jendela di sisi kanan, kiri, dan belakang candi yang berbingkai hiasan serupa dengan bagian pintu. Sementara atap candi tidak utuh, tepatnya hanya berbentuk satu kubus yang lebih kecil di bagian tengah atas tubuh candi.
Uniknya, Candi Puntadewa memiliki candi perwara atau pelengkap hanya berupa tumpukan dua buah batu bulat dengan batu puncak berujung lancip. Tumpukan batu-batu pembentuk candi perwara yang dipercaya mampu menjaga candi ini berada di tengah susunan batu membentuk bujur sangkar yang terletak di depan candi. Candi perwara yang amat sederhana ini tentu berbeda dengan bangunan lain seperti dalam sejarah Candi Penataran yang memiliki unsur kelengkapan candi perwara.
Pengaruh India terlihat dari berbagai aspek penyusun candi. Misalnya ditemukannya beberapa relung menyerupai tapal kuda serta motif berbagai hiasan pada menara yang berasal dari India Selatan hingga bentuk candi sendiri berupa mangkuk yang ditangkupkan atau disebut Sikhara dari India Utara. Sementara bagian atap terdiri atas lima tingkat mengecil ke atas yang berhias pelipit padma ganda dan relung bagi arca yang dinamakan kudu. Arca berupa relief kepala dengan kuncup berhias ini dipercaya tidak dimiliki oleh candi lain di Indonesia.
Selain tubuh candi yang tidak memiliki relief, ketiadaan prasasti juga menyisakan misteri pembangunan candi. Hal ini pun memicu perdebatan pendapat mengenai eksistensi peradaban tersendiri di Dieng namun tidak tersohor seperti peradaban tertua di dunia, sebelum masuknya pengaruh Mataram Kuno beraliran Hindu. Pendapat ini didukung oleh bilik penampil yang tidak kaya relief dan tidak ada arca di dalam relung candi yang letaknya agak terasing ini. Namun di sekitar candi terdapat bekas berdirinya pagar pengeliling sehingga dapat menjadi bukti lokasi upacara Pradaksina.
Karena langkanya ornamen candi seperti arca kudu di bagian atapnya, hampir setiap tahun ditemukan kasus pencurian dimana banyak orang ingin mencuri bagian candi atau melakukan kejahatan lain yang bersifat memperburuk keadaan candi. Mulanya terdapat 24 buah arca kudu namun saat ini hanya bersisa 13 buah. Hal ini rentan terjadi karena minimnya tenaga kerja untuk pengawasan, cuaca yang terlalu dingin, dan letak antar candi di situs ini yang berjauhan sehingga pengawasan sulit dilakukan secara terintegrasi.
Menjadi salah satu candi di Kompleks Candi Gatotkaca, Candi Setyaki memiliki bentuk khas yang tetap menawan terutama setelah melalui proses pemugaran. Saat ini, Candi Setyaki tersusun atas batuan baru dengan model candi atap terbuka dan relatif pendek sehingga pengunjung bisa melihat langit jika memasuki bilik candi maupun melihat bagian dalamnya dari tampak atas. Begitu pula candi perwara di sekitarnya hanya berupa sisa reruntuhan yang membentuk segi empat dengan sedikit anak tangga. Karena usia yang terlalu tua, banyak bangunan seperti Candi Jago dalam peninggalan Kerajaan Singosari juga beratap terbuka sebagian.
Candi Setyaki telah diteliti sebagai peninggalan bercorak hindu yang dibangun pada abad ke 8 hingga 9 Masehi. Candi yang tidak memiliki pagar pembatas ini memiliki ukiran Kartikeya pengendara merak yaitu putra Dewa Syiwa namun sudah agak rusak, sedikit ukiran binatang singa dan kijang di tubuh bawah candi serta segelintir relief lain pada hiasan pintu candi. Pada salah satu pipi candi terdapat hiasan makara di bagian bawah yang hampir rusak. Bilik penampil candi juga tidak memiliki arca lagi. Beberapa sejarawan mengungkapkan bahwa dulunya candi ini dimanfaatkan sebagai tempat istirahat maupun tempat tinggal.
Candi di Dieng yang terakhir adalah candi srikandi. Candi Srikandi merupakan salah satu peninggalan dinasti Sanjaya yang memiliki relief hindu yaitu Tri Murti yang meliputi Dewa Wisnu di sisi utara, Dewa Syiwa di bagian timur, dan Dewa Brahma di sisi selatan candi. Dalam agama hindu, pembangunan beberapa candi di Yogyakarta bertujuan untuk dipersembahkan kepada Tri Murti.
Bangunan abad ke 8 hingga 9 Masehi ini memiliki batur setinggi setengah meter dan ruangan atau bilik yang kosong. Sebenarnya terdapat relief pada dinding candi yang berbentuk kubus ini selain Tri Murti tetapi sudah tidak bisa dikenali baik karena erosi, ketuaan batu penyusun candi, maupun ulah tangan pengunjung. Pelataran menuju tangga juga sudah hancur serta pintu candi tersusun atas batuan yang terlihat tua.
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…