Peristiwa Malari atau yang lebih dikenal dengan Malapetaka Lima Belas Januari terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa yang berlangsung pada 45 tahun lalu ini adalah suatu gerakan demonstrasi mahasiswa yang berkembang menjadi kerusuhan sosial. Pada saat itu ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Jakarta turun ke jalan untuk menyampaikan kritik mengenai kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Soeharto yang dianggap banyak kalangan terlalu berpihak kepada investasi dari asing.
Aksi dilakukan untuk menentang penanaman modal asing di Indonesia. Aksi demo ini dilakukan berbarengan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka yang akan bertemu dengan Soeharto di Jakarta. Pada awalnya aksi tersebut berjalan dengan damai, akan tetapi kemudian berkembang menjadi kerusuhan dengan perusakan sejumlah gedung dan kendaraan yang dianggap berbau Jepang.
Situasi Sebelum Malari
Soeharto berusaha melakukan pembangunan dalam berbagai bidang di awal pemerintahannya namun salah satu hambatan yang dialami berasal dari utang yang didapatkan dari pemerintahan Soekarno. Sehingga pemerintahan Soeharto berusaha untuk menutup hutang tersebut dengan mengizinkan negara lain melakukan investasi. Pada saat itu Amerika Serikat sudah menjadi mitra besar Indonesia di bidang energi dan pertambangan, tetapi dominasi Jepang di Asia terlihat lebih nyata. Hal ini disebabkan karena berbagai alat transportasi, elektronik dan barang lainnya lebih didominasi produk dari Jepang.
Maka ketika tersiar kabar bahwa Jepang akan melakukan investasi besar – besaran, mahasiswa terpicu untuk melakukan suatu gerakan protes. Selain itu, para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah sehubungan dengan investasi asing sudah menyimpang dan tidak berpihak kepada rakyat, dan membuat ekonomi rakyat semakin memburuk. Pada saat sebelum sejarah peristiwa Malari dimulai, juga ada indikasi perpecahan antara tokoh militer yang berada di pemerintahan. Pada awal pemerintahan Orde Baru di tahun 1970 – an, Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib sering mengadakan rapat mingguan dengan para menteri di kantornya.
Hal ini diprotes oleh Ali Moertopo dan kawan – kawan karena menganggap Soemitro memiliki niat untuk menjatuhkan wibawa pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1973 Soemitro bahkan mendatangi kampus – kampus dan mengemukakan gagasan agar mahasiswa lebih kritis lagi kepada pemerintah. Karena itu Soeharto mengadakan pertemuan dan memanggil Soemitro, yang menyatakan bahwa ia tidak berniat untuk menentang pemerintah yang ada. Setelah dilakukan pertemuan dengan para jenderal tanggal 2 Januari 1975, diberitahukan kepada media bahwa di pihak militer tidak ada masalah atau perpecahan apapun. Ketahui juga mengenai beberapa peristiwa kerusuhan lain di Indonesia seperti kerusuhan Mei 1998, penyebab perang Ambon dan sejarah perang Ambon.
Latar Belakang Malari
Latar belakang sejarah peristiwa Malari berawal dari penyampaian rancangan undang – undang (RUU) mengenai perkawinan yang baru kepada DPR, namun mencantumkan sejumlah pasal yang bertentangan dengan syarat pernikahan dalam hukum agama Islam. Sebuah acara diskusi yang dihadiri tokoh – tokoh orde lama kemudian digelar pada 13 Agustus 1973 di Universitas Indonesia (UI). Kesimpulan dari diskusi ini menyatakan perlunya penggalangan aksi untuk mulai mengoreksi langkah – langkah pemerintah yang mulai melenceng menurut para pengamat. Kemudian pada tanggal 17 – 18 September 1973 ratusan mahasiswa datang ke gedung DPR dan menyampaikan protes mengenai RUU perkawinan, dan pada akhirnya RUU tersebut diubah.
Pada tanggal 24 Oktober 1973 para tokoh pemuda angkatan 1928, 1945, dan tahun 1966 menerbitkan “Petisi 24 Oktober” yang menyoroti mengenai strategi pembangunan yang keliru dan adanya penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Kemudian pada tanggal 10 November 1973 peringatan hari Pahlawan dilakukan oleh para aktivis mahasiswa yang berikrar untuk menghimpun solidaritas. Pada waktu ini Ketua InterGovernmental Group on Indonesia (IGGI) JP Pronk berkunjung ke Indonesia untuk mengatur skema pemberian utang Indonesia, sehingga para mahasiswa berdemo di Jakarta dan Jogjakarta untuk menyambut kedatangannya. Sorotan yang didapatkan pemerintah terkait dengan masuknya modal asing ke Indonesia juga dibahas dalam diskusi di Balai Budaya Jakarta pada 30 November 1973, dan penolakan terhadap modal asing terus dikemukakan sejak itu.
Pada peristiwa Malari itu di kalangan mahasiswa semakin kencang adanya seruan untuk mengubah keadaan sehingga pada 12 Januari 1974 para Ketua Dewan Mahasiswa dari berbagai universitas datang menemui Presiden Soeharto. Mereka mnyampaikan tuntutan untuk memberantas korupsi dan mengenai perbaikan ekonomi, namun mereka tidak puas dengan hasil pertemuan dan merencanakan untuk melakukan gerakan yang lebih besar pada tanggal 15 Januari. Sejarah peristiwa Malari dimulai dari unjuk rasa kecil – kecilan yang dilakukan para mahasiswa di Lanud Halim Perdanakusuma. Tanggal 15 Januari 1974 sebanyak ribuan mahasiswa bergabung dalam long march yang dimulai dari kampus UI Salemba hingga ke Universitas Trisakti. Sayangnya, ketika mahasiswa sedang berunjuk rasa, terjadi juga kerusuhan dan pembakaran di pusat kota Jakarta.
Kerusuhan Malari
Terjadinya kerusuhan dalam sejarah peristiwa Malari meliputi beberapa perusakan pada fasilitas umum dan toko di kawasan Ibukota yaitu di pertokoan Senen, Jakarta Pusat dan pertokoan Roxy, Jakarta Barat. Saat itu sangat mengkhawatirkan karena selama dua hari terjadi pembakaran dan penjarahan sehingga Jakarta seperti diselimuti asap. Pertokoan Senen yang kala itu dibangun dengan biaya sebesar 2,7 miliar habis terbakar.
Pada rapat sidang Pleno DPR tanggal 21 Januari 1974 Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Maraden Panggabean menyatakan bahwa kerugian materi yang diakibatkan oleh kejadian ini cukup banyak. Sekitar 807 unit mobil dan 187 unit sepeda motor rusak atau dibakar, 144 gedung rusak atau terbakar termasuk pabrik coca cola, 160 kg emas lenyap dari beberapa toko perhiasan. Tidak hanya kerugian secara materi, namun korban jiwa juga terjadi. Sebanyak 11 orang meninggal, 177 luka berat, 120 luka ringan dan 775 orang ditangkap.
Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta yang menjabat pada waktu itu memberikan angka kerusakan yang berbeda. Ia menyebutkan sebanyak 522 mobil dirusak, 269 diantaranya dibakar, 137 motor dirusak dan 94 motor diantaranya dibakar, lima buah bangunan terbakar habis termasuk dua blok dari proyek Pasar Senen yang bertingkat empat, perusakan gedung PT. Astra yang menjadi distributor Jepang di jalan Sudirman, dan perusakan 113 bangunan lainnya. Kerusuhan di Malaysia sebelum itu pada sejarah peristiwa 13 Mei 1969 juga memakan korban jiwa dan harta.
Orang yang dituduh menjadi dalang dalam sejarah peristiwa Malari adalah seorang aktivis mahasiswa bernama Hariman Siregar. Ia adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Hariman dan rekan – rekan sesama mahasiswa dituding menjadi otak dari kerusuhan tersebut, namun ia menolak tuduhan itu. Menurut Hariman, insiden kerusuhan itu sudah berada di luar kendali para mahasiswa dan bisa jadi ada pihak yang ingin membuat situasi menjadi tidak kondusif. Hariman dan sejumlah tokoh aktivis mahasiswa seperti Aini Chalid dan Judilhery Justam sempat ditahan dan disidang, namun tidak terbukti mendalangi kerusuhan.
Beberapa media massa juga dicabut izin terbitnya karena pemberitaan mereka dianggap mengganggu stabilitas negara, seperti Nusantara, Abadi, Pedoman dan Indonesia Raya. Di kalangan pemerintahan juga dilakukan perubahan dengan pemberhentian Soemitro dari jabatan Panglima Kopkamtib, membubarkan jabatan Asisten Pribadi Presiden, dan memperketat pengawasan terhadap masyarakat. Sampai saat ini, siapa sesungguhnya otak di balik sejarah peristiwa Malari tersebut tidak terungkap. Ketahui juga mengenai sejarah peristiwa Trisakti, sejarah Perang Kamang dan sejarah Timor Timur.