Pertempuran Lima Hari di Semarang dikenal dengan istilah Pertempuran Limang Dina dalam bahasa jawa, adalah serangkaian pertempuran yang berlangsung antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang. Pertempuran yang menjadi bagian dari sejarah kota Semarang ini terjadi pada tanggal 15 – 19 Oktober 1945. Waktu itu adalah masa transisi kekuasaan dari Jepang ke Belanda, dan seharusnya kekuasaan Jepang di Indonesia sudah berakhir. Penyerahan diri Jepang terhadap sekutu dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan RI dibacakan pada 17 Agustus 1945. Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai penguasa Republik di Jawa Tengah berpusat di Semarang untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang dalam segala bidang. Kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Penyebab Peristiwa Lima Hari Di Semarang
Peristiwa lima hari di Semarang terjadi karena beberapa alasan yang menjadi pemicunya hingga mencapai puncak berupa pertempuran selama lima hari tersebut. Beberapa hal yang menjadi penyebab pertempuran 5 hari di Semarang yaitu:
- Kericuhan Penyitaan Senjata Jepang
Di beberapa wilayah, pelucutan senjata tentara Jepang dapat dilakukan tanpa kekerasan namun di Semarang justru terjadi kekacauan. Kido Butai, pusat ketentaraan Jepang di Jatingaleh Semarang curiga bahwa senjata – senjata tersebut tidak akan digunakan untuk melawan Jepang. Kecurigaan itu tetap ada walaupun Mr. Wongsonegoro telah menjaminnya sebagai Gubernur. Permintaan yang diulang untuk menyerahkan senjata hanya menghasilkan pengumpulan senjata – senjata yang sudah agak usang. Ketika sekutu mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa, Pemuda Semarang dan BKR semakin curiga. Dikhawatirkan bahwa Jepang akan menyerahkan senjata kepada Sekutu dan Indonesia harus mendapatkan kesempatan menyita senjata tersebut sebelum sekutu mencapai Semarang. Kondisi semakin memanas ketika tawanan Jepang yang dipindahkan dari Cepiring ke Bulu, kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai.
- Isu Racun Pada Air Minum
Setelah tawanan Jepang melarikan diri, para pemuda diinstruksikan untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara pada 14 Oktober 1945 pukul 06.30. Pemeriksaan itu menghasilkan penyitaan sedan dan senjata milik Kempetai, lalu sore harinya tentara Jepang yang tersisa ditawan ke penjara Bulu. Pukul 18.00 terjadi serangan mendadak dari pasukan Jepang bersenjata lengkap dan melucuti delapan anggota polisi istimewa yang sedang menjaga Reservoir Siranda, sumber air minum warga kota di Candilama. Kedelapan anggota polisi dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, kemudian tersebar kabar bahwa tentara Jepang sudah meracuni sumber air minum tersebut yang membuat rakyat gelisah. Kala itu cadangan air di Candi, desa Wungkal tersebut adalah satu – satunya sumber air di Semarang.
- Gugurnya dr. Kariadi
Setelah berita mengenai racun tersiar, dr. Kariadi sebagai Kepala Laboratorium RS Purusara hendak memastikan kabar tersebut. Ia pergi kesana dalam situasi yang sangat berbahaya karena waktu itu tentara Jepang telah menyerang beberapa lokasi termasuk rute menuju reservoir. drg. Soenarti, istrinya mencoba mencegah namun tidak berhasil. Mobil dr. Kariadi dicegat oleh tentara Jepang dalam perjalanan menuju reservoir di Jalan Pandanaran. Dr. Kariadi ditembak bersama supirnya, seorang tentara pelajar. Beliau dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan. Dr. Kariadi gugur pada usia 40 tahun lebih satu bulan.
Mulainya Peristiwa Lima Hari Di Semarang
Peristiwa 5 hari di Semarang terjadi menjelang hari Minggu malam tanggal 15 Oktober 1945. Kondisi kota Semarang saat itu sangat mencekam terutama di area pos BKR dan para pemuda. Pasukan Pemuda yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan lainnya juga telah berjaga – jaga. Jepang dibantu oleh 675 orang pasukan, yang singgah ke Semarang untuk menambah logistik dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta dan berpengalaman di medan perang Irian. Kondisinya sangat kontras dari para pejuang Indonesia yang lebih mengandalkan keberanian dibandingkan dengan Jepang yang persenjataannya lebih lengkap. Pasukan para pemuda sama sekali belum pernah bertempur, jarang mendapatkan pelatihan militer kecuali pelatihan untuk pasukan Polisi Istimewa, mereka adalah anggota BKR dan eks PETA, serta hampir tidak bersenjata.
Tanggal 15 Oktober 1945 pukul 03.00 pasukan Kidobutai menyerang mendadak ke markas BKR Semarang, di kompleks bekas sekolah MULO di Mugas, belakang bekas pom bensin Pandanaran. Tiba – tiba pasukan Kidobutai menyerang dari sebuah bukit rendah di belakang markas. Mereka diperkirakan berjumlah 400 orang dan menyerang dari dua arah menggunakan tembakan pelempar granat dan senapan mesin. Setelah perlawanan selama setengah jam, pemimpin BKR mengundurkan diri dan meninggalkan markas untuk menghindari kepungan Jepang. Pasukan bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan para pemuda dari Pati, lalu menyerang balasan dengan sengit kepada Jepang yang telah menguasai berbagai lokasi penting dalam kota.
Pasukan Indonesia menggunakan taktik gerilya kota untuk menghindari pertempuran terbuka, dengan serangan tiba – tiba dan juga menghilang secara tiba – tiba. Berkat taktik tersebut serangan kepada Jepang selalu datang dalam bentuk bergantian dan bergelombang, sehingga serangan tidak dapat diprediksi dan menyulitkan Jepang untuk menguasai kota. Diperkirakan sekitar 2 ribu orang tentara Jepang menggunakan senjata – senjata modern terlibat dalam peristiwa 5 hari di Semarang tersebut. Simpang Lima adalah lokasi paling sering terjadi pertempuran. Disana merupakan lokasi monumen Tugu Muda saat ini yang juga berkaitan dengan sejarah Lawang Sewu sebagai saksi bisu pertempuran. Lawang Sewu juga menjadi salah satu bangunan bersejarah di Semarang yang masih berdiri hingga sekarang.
Puluhan pemuda yang terkepung dibantai dengan kejam oleh pasukan Kidobutai. PMI juga tidak dapat bergerak dengan leluasa untuk mengevakuasi mayat serta korban luka. Bala bantuan untuk pemuda terus berdatangan dari area di sekitar Semarang. BKR berhasil berkonsolidasi untuk mendapatkan bantuan dari wilayah lainnya di Jawa Tengah, membuat keadaan berbalik menyudutkan Jepang. Jepang kemudian meminta kepada Mr. Wongsonegoro untuk menghentikan pertempuran sebagai hasil akhir pertempuran 5 hari di Semarang. Gencatan senjata disetujui agar tidak jaruh korban Indonesia lebih banyak dan untuk mempersiapkan diri bagi kedatangan tentara sekutu. Walaupun para pemuda masih ingin membalas, namun kedatangan sekutu di Semarang pada 19 Oktober 1945 mengakhiri peristiwa 5 hari di Semarang.
Monumen Tugu Muda
Peristiwa Lima Hari Di Semarang mengilhami pendirian sebuah monumen untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai salah satu monumen di Indonesia. Mr. Wongsonegoro sebagai Gubernur Jateng melakukan peletakan batu pertama tanggal 28 Oktober 1945. Semula lokasi monumen rencananya berada dekat alun – alun Semarang, namun perang melawan sekutu dan Jepang pada November 1945 membuat proyek ini tidak terurus. Pada tahun 1949 Badan Koordinasi Pemuda Indonesia (BKPI) kembali mencetuskan ide tersebut tetapi belum dapat terlaksana karena masalah dana. Hadi Soebeno Sosro Woedoyo sebagai walikota Semarang pada 1951 membentuk Panitia Tugu Muda.
Beliau kemudian mengalihkan rencana pembangunan ke lokasi pertempuran lima hari. Lokasi baru yaitu pada pertemuan jalan Pemuda, jalan Imam Bonjol, jalan dr.Sutomo dan jalan Pandanaran dengan gedung Lawang Sewu. Batu pertama diletakkan para 10 November 1951 oleh Gubernur Jateng, Boediono. Peresmian Tugu Muda terjadi pada 20 Mei 1953 oleh Presiden Soekarno bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak hanya monumen Tugu Muda yang bisa menjadi sumber sejarah bangsa yang bisa dikunjungi, masih ada berbagai museum di Semarang , sejarah pelabuhan di Semarang dan juga sejarah Masjid Agung Semarang sebagai bagian dari sejarah kota Semarang.