Bali merupakan salah satu pulau di Kepulauan Sunda yang terletak di bagian Timur pulau Jawa. Jarak bentang pulau Bali sepanjang 105 mil. Pulau Bali pernah dikunjungi oleh Cornelis de Houtman secara baik – baik, namun dalam perkembangannya hubungan dengan Bali justru memburuk.
Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan setempat di Bali mengadakan perjanjian pada 1841 dan 1843 namun tidak berjalan dengan baik. Raja Buleleng berkali – kali melanggar perjanjian dan pemerintah Hindia Belanda mempersoalkan tradisi tawan karang, yaitu tradisi Bali yang mengklaim kapal beserta isinya yang karam dan terdampar di pesisir Bali.
Pemerintah Hindia Belanda menganggapnya tidak dapat diterima dalam hukum internasional dan tidak dapat membiarkan perlawanan yang dilakukan rakyat Bali karena akan memancing wilayah lain juga ikut melawan.
Latar Belakang Perang Puputan Bali
Pada masa lampau, berbagai kerajaan di Bali masing – masing memiliki kekuasaan sendiri atas wilayahnya. Terdapat Kerajaan Buleleng dan Karangasem di daerah pantai utara yang memanjang sampai timur laut.
Sedangkan Kerajaan Klungkung dan Gianyar berada di pantai sebelah timur, Kerajaan Badung berkuasa di ujung selatan pulau Bali, Jembrana dan Mengwi berada di sepanjang pantai barat dan barat daya. Masih ada Kerajaan Bangli yang terletak di tengah – tengah pulau Bali.
Kontak antara kerajaan Bali dengan Belanda sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke 17, ketika para pedagang Belanda telah berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja – raja Bali. Usaha itu tidak berhasil.
Belanda pada waktu itu mendekati para raja Bali dengan motif perdagangan. Usaha Belanda untuk mengikat perjanjian dengan raja – raja Bali baru mengalami keberhasilan pada 1841. Raja Klungkung, Badung, Buleleng, dan Karangasem mengikuti perjanjian tersebut.
Melalui isi perjanjian, tampak jelas bahwa VOC sedang berusaha memperluas daerah kekuasaannya berdasarkan PAX Netherlandica. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa para raja Bali mengakui bahwa mereka berada di bawah kekuasaan Belanda, mereka tidak akan menyerahkan kerajaannya kepada bangsa Eropa yang lain, dan bendera Belanda diizinkan untuk dikibarkan di wilayah – wilayah kerajaan tersebut.
Belanda terutama keberatan dengan hukum tawan karang yang telah menimpa armadanya yang menjadi penyebab perang Bali. Pada tahun 1843 raja – raja Bali kemudian menandatangani perjanjian untuk menghapus tawan karang, namun mereka tidak sungguh – sungguh menepatinya sehingga perselisihan dengan Belanda mulai muncul.
Pada tahun 1845 Belanda menekan Raja Buleleng, Klungkung dan Karangasem untuk menghapus tawan karang namun ditolak. Raja Buleleng merasa gelisah karena Belanda menuntut penggantian atas kapal – kapal yang dirampas, biaya perang dan mengakui kerajaannya menjadi bagian dari wilayah Belanda.
Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak dapat diterima. Ia kemudian menggalang kekuatan pasukan kerajaan, melatih prajuritnya berperang dengan lebih intensif dan menambah perlengkapan serta persenjataan.
Begitu pula dengan kerajaan lain yang diam – diam menggiatkan kegiatan pasukannya. Belanda kemudian mengultimatum pada 14 Juni 1846 yang berlaku selama 3 x 24 jam agar Bali memenuhi semua tuntutan. Sekarang peninggalan belanda ada pada candi di Bali, museum di Bali dan koleksi museum Bali.
Perang Buleleng (Ekspedisi Belanda Pertama)
Pada Juni 1846 Belanda mengerahkan pasukan dan kapal yang dipimpin oleh Engelbertus Batavus van den Bosch. Pasukan Belanda terdiri dari 1700 prajurit, diantaranya ada 400 prajurit Eropa dipimpin oleh Letkol Gerhardus Bakker. Ultimatum kepada Raja Buleleng berakhir pada 17 Juni dan pada hari berikutnya pasukan Belanda dibawah Abraham Johannes de Smit van den Broecke tiba dengan perlindungan senapan laut.
Prajurit Bali sejumlah lebih dari 10000 orang mencegah pendaratan tersebut namun mereka mengalami kegagalan. Pasukan Belanda dapat maju ke pesawahan yang dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Walaupun mendapatkan perlawanan sengit, pada hari berikutnya ibu kota Buleleng yaitu Singaraja berhasil dikuasai Belanda.
Pantai Buleleng diblokade dan Belanda menembaki istana raja dengan meriam dari arah pantai. Satu persatu wilayah berhasil diduduki dan istana jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng berpura – pura mengalah dan sebagai patih, I Gusti Ketut Jelantik melanjutkan perlawanannya.
Perang Jagaraga I (Ekspedisi Belanda Kedua)
Dalam sejarah perang Bali, perang ini juga dikenal sebagai Perang Jagaraga yang berlangsung di tahun 1848. Pasukan Belanda berjumlah 2400 prajurit yang sepertiganya adalah orang Eropa sementara sisanya adalah orang Jawa dan Madura.
Pasukan ditambahkan lagi dengan satu kompi prajurit kulit hitam Afrika yang kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (Pantai Emas). Mereka mendarat di Sangsit, Buleleng pada 7 Mei 1848 dengan dipimpin Mayjen van der Wijck. Orang Bali kemudian menarik diri ke Jagaraga setelah orang Belanda mendarat.
Benteng Jagaraga terletak di atas bukit, bentuknya merupakan “Supit Urang” yang dikelilingi parit dan ranjau untuk menghambat gerakan musuh. Selain laskar Buleleng yang ada disana, kerajaan lain seperti Karangasem, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga pasukan Bali seluruhnya berjumlah 15000 orang.
Istri patih Jelantik bernama Jero Jempiring juga menggerakkan para wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang berperang. Dalam serangan tersebut Belanda mengalami kekalahan.
Perang Jagaraga II (Ekspedisi Belanda Ketiga)
Pada tahun 1849 dalam sejarah perang Bali, Belanda kembali mengerahkan pasukan yang lebih besar lagi yaitu sebanyak 4.177 orang sehingga terjadi perang Jagaraga II. Perang antara rakyat Bali dan Belanda berlangsung selama dua hari dua malam yaitu pada 15 – 16 April 1849.
Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang dibagi menjadi tiga kolone. Kolone 1 dipimpin Van Swieten, kolone kedua dipimpin La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin Poland. Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda setelah terjadi pertempuran sengit.
Belanda kemudian berlayar ke Bali Selatan dan mendarat di Padang Bai untuk menyerang Klungkung. Sementara itu Belanda juga bersekutu dengan Kerajaan Lombok untuk melawan Karangasem yang sudah lama bermusuhan dengan Lombok.
Pasukan Lombok ikut ke kapal Belanda dan turut menyerang para pemimpin kerajaan Buleleng. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik terbunuh dalam pertempuran ini, sedangkan penguasa Karangasem melakukan ritual bunuh diri. I Gusti Ketut Jelantik menjadi salah satu dari para pahlawan nasional dari Bali.
Belanda melanjutkan serangan ke Klungkung, menduduki Goa Lawah dan Kusamba. Disana pasukan Belanda terkena wabah disentri sehingga kekuatan pasukan menurun. Mayjen Michiels tewas ketika Dewa Agung Istri Kanya memimpin serangan pada malam hari terhadap Belanda di Kusamba.
Belanda mundur ke kapal mereka ketika menghadapi kekuatan 33.000 orang dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung. Kerajaan Karangasem dan Buleleng menawarkan penyerahan diri sehingga akan disepakati perjanjian baru. Van Swieten kemudian kembali ke Padang Cove dan pada tanggal 12 Juni tercapai persetujuan dimana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia Belanda dan Kerajaan Bangli digabung dengan Buleleng.
Perjanjian tersebut kemudian menjadi dasar dari kekuasaan Belanda atas Bali. Setelah itu masih terjadi berbagai perlawanan dalam sejarah perang Bali. Tahun 1858 I Nyoman Gempol mengangkat senjata untuk berperang melawan Belanda, dan tahun 1868 terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Ida Made Rai, tetapi keduanya gagal.