Perjanjian Salatiga adalah perjanjian bersejarah yang ditandatangani di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 antara Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said, VOC dan Pakubuwono III sebagai keturunan salah satu kerajaan di Indonesia yaitu Mataram. Lokasi perjanjian pun dipilih di wilayah Salatiga yang merupakan wilayah netral dan berada di tengah – tengah wilayah dari ketiga pihak yang bertikai. Gedung Pakuwon yang menjadi lokasi penanda tanganan perjanjian hingga sekarang masih berdiri dan digunakan sebagai kantor walikota Salatiga. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi setelah perebutan kekuasaan yang turut mengakhiri riwayat Kesultanan Mataram Islam, yang kehancurannya sudah dimulai sejak berakhirnya masa kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1645. Juga untuk menghindarkan VOC dari kerugian akibat konflik terus menerus.
Sejak mangkatnya Sultan Agung, Mataram telah menjadi ajang konflik perebutan kekuasaan para bangsawan yang masih tergabung dalam wangsa Mataram itu sendiri. Terjadinya perjanjian Salatiga ini terjadi setelah sejarah Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menandakan berakhirnya Mataram sebagai pemerintahan kerajaan yang independen. Walaupun perjanjian tersebut dapat meredakan konflik di dalam pemerintahan, akibatnya membagi Mataram menjadi dua bagian. Setengah bagian wilayah bekas Kesultanan Mataram Islam ada dibawah kekuasaan Sunan Pakubuwono III sedangkan setengahnya lagi diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang mengangkat dirinya sebagai raja Kesultanan Yogya bergelar Hamengkubuwono I.
Latar Belakang Perjanjian Salatiga
Dari pembagian dua wilayah Mataram tersebut ada satu orang yang tidak diikutsertakan, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap pertempuran ia selalu membawa kematian bagi para musuhnya. Ia sebenarnya masih bersaudara dengan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I karena mereka adalah keturunan Amangkurat IV (1719 – 1726), raja keempat Kasunanan Kartasura yang merupakan kerajaan lanjutan dari Mataram Islam. Raden Mas Said menjadi duri dalam daging bagi Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I, begitu juga bagi VOC. Ia memerangi Belanda dan Mataram atau Kartasura sejak 1741, pada awalnya bersama Pangeran Mangkubumi yang dulu memiliki tujuan yang sama.
Sayangnya Mangkubumi kemudian berbalik arah melawan Raden Mas Said dan bersepakat dengan Pakubuwono III serta VOC dalam perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut akan memecah belah rakyat Mataram dan ditentang oleh Raden Mas Said. Dengan demikian, ia pada akhirnya menghadapi tiga pihak dalam pemberontakannya tersebut. Ketika disarankan oleh VOC untuk menyerah kepada salah satu dari kedua raja, Pangeran Sambernyawa malah menekankan pembagian kekuasaan wilayah menjadi tiga. Sementara VOC ingin mengamankan sumber keuangan dan kedudukannya di Pulau Jawa, padahal peperangan tersebut tidak menghasilkan pihak yang unggul. Ketiga pihak tidak dapat mengalahkan Pangeran Sambernyawa dan sang pangeran sendiri tidak dapat mengalahkan ketiganya sekaligus.
Solusi untuk mengakhiri peperangan di Jawa adalah dengan adanya Perjanjian Salatiga. Surakarta dan Yogyakarta melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa. Wilayah Ngawen dari Yogyakarta dan sebagian wilayah Surakarta menjadi wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyawa. Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta sebanyak 4000 karya mencakup apa yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar. Ia digelari Mangkunegara I, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati karena wilayahnya hanya disebut sebagai Kadipaten dan tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan.
Pada dasarnya perjanjian Salatiga menjadi tanda akan berdirinya negeri Mangkunegaran yang dikuasai oleh Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai wilayah otonom juga, karena beliau yang pada awalnya setuju menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta kemudian menolak dan mendirikan wilayah otonomnya sendiri yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa disebut sebagai penerus dari silsilah Kerajaan Mataram kuno dan sejarah kerajaan Mataram Kuno yang hilang akibat Perjanjian Giyanti. Negeri Mangkunegaran membangun kembali Mataram yang bubar dengan menghidupkan kembali politik dan kebudayaan Mataram serta unsur – unsur keprajuritan dari generasi ke generasi.
Situasi Setelah Perjanjian
Sunan Pakubuwono III wafat pada tahun 1788 setelah perjanjian Salatiga dan digantikan oleh Pakubuwono IV, yang pandai dalam politik, intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah PB III wafat, pada awal 1790 PB IV mulai melakukan strategi politik yang agresif dengan memberi nama pada saudaranya Arya Mataram sebagai Pangeran Mangkubumi. Hal ini membuat HB I memprotes karena merasa nama Mangkubumi adalah haknya. Kemudian PB IV juga melancarkan intrik dengan menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itu Mangkunegara I melihat adanya peluang dan menulis surat kepada Gubernur Semarang, Yan Greeve pada Mei 1790 untuk menagih janji pada Residen Surakarta Frederik Christoffeel van Straaldorf yang pernah menjanjikan tahta pada Mangkunegara I jika HB I wafat.
Bisa dikatakan bahwa perjanjian Salatiga adalah solusi yang paling mudah untuk mengatasi situasi yang benar – benar kacau di tanah Mataram yang dapat menguntungkan semua pihak. Walaupun ketiga pihak semuanya mendapatkan bagian wilayah masing – masing, namun sebenarnya yang paling beruntung adalah VOC. Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat untuk membagi Mataram adalah kontrak politik yang direkayasa oleh VOC dengan memanfaatkan pertikaian dan perpecahan dalam keluarga kerajaan lokal termasuk Mataram dengan tujuan untuk menguasai secara mutlak seluruh Pulau Jawa. Pergerakan ketiga kerajaan dipantau oleh Belanda yang menanamkan pengaruh yang sangat kuat bahkan dalam urusan internal seperti suksesi dan pengambilan kebijakan.
Wilayah ketiga kerajaan memang tidak dicampuri oleh VOC tetapi seluruh wilayah Jawa bagian barat dan pesisir pantai utara Jawa hingga ke ujung timur sudah dikuasai VOC. Sementara itu ketiga kerajaan terlalu sibuk dengan urusan internalnya sehingga tidak pernah memikirkan upaya untuk kembali menyatukan Jawa seperti yang diusahakan oleh para Raja terdahulu. Bisa dikatakan bahwa para penguasa inilah yang seringkali melibatkan VOC dalam konflik internal mereka sehingga memberikan jalan bagi VOC untuk ikut campur. Sehingga akibatnya dengan perjanjian Giyanti dan perjanjian Salatiga memastikan terpecahnya wilayah kerajaan terbesar di Jawa menjadi tiga bagian. Ketahui juga mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya, sejarah kerajaan Tarumanegara dan sejarah kerajaan Pajajaran.
Penyatuan kekuasaan di Jawa semakin sulit terwujud dengan kehadiran wilayah keempat yaitu Kadipaten Pakualaman pada 17 Maret 1813, dalam waktu 56 tahun setelah perjanjian Salatiga ditandatangani. Status Pakualaman hampir mirip dengan Mangkunegaran dan merupakan pecahan dari Kasultanan Yogyakarta, dipimpin oleh Pakualam I atau Pangeran Notokusumo, salah satu putra HB I. Perpecahan wilayah Mataram Islam yang menjadi empat bagian ini merupakan akhir dari kejayaan kerajaan Mataram yang hancur karena intrik dan konflik antara anggotanya sendiri. Hal ini juga membuktikan kesuksesan Belanda melancarkan politik devide et impera atau politik pemecah belah yang menjadi senjata mereka untuk melancarkan jalannya menguasai tanah Jawa secara keseluruhan, dan betapa bangsa kita dengan mudah termakan jebakan politik adu domba tersebut sehingga berakibat hancurnya kerajaan paling besar di Jawa.