Jika berbicara soal candi di Jawa Tengah, biasanya kita otomatis menyebut Borobudur, Atau Prambanan, Ratu Boko, Mendut. Padahal masih banyak lagi candi lain yang ada di Jawa Tengah, misalnya sejarah candi Gedong Songo di Kabupaten Semarang, Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, dan tidak lupa 3 candi di Karanganyar yaitu Candi Sukuh, Candi Cetho, dan Candi Kethek.
Jika kita main ke Karanganyar pasti kita datang ke tempat yang sering didatangi oleh banyak pengunjung : Grojogan Sewu, Air Terjun Jumong, Taman Ria Balekambang, Perkebunan Teh Kemuning, dst. Padahal di situ terdapat objek wisata yang memiliki arsitektur dan sejarah yang sangat luar biasa, yaitu Candi Sukuh, Candi Cetho, dan Candi Sukuh. Kita akan mengulas tentang sejarah dan arsitektur candi sebagai berikut :
1. Candi Sukuh
Candi Sukuh merupakan salah satu Candi di Karanganyar, tepatnya di lereng barat Gunung Lawu, Dusun Sukuh, Kec. Ngargoyoso, Kab. Karanganyar. Candi Sukuh berhasil ditemukan pada tahun 1815 dalam keadaan sudah runtuh oleh Johnson, pada masa pemerintahan Raffles. Candi Sukuh akhirnya oleh Van der Vlis dan hasil penelitiannya ditulis kedalam sebuah buku berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Penelitian candi sukuh kemudian dilanjutkan Hoepermans dari tahun 1864-1867 dan dituliskan kedalam buku berjudul Hindoe Oudheiden van Java.
Candi Sukuh merupakan salah satu candi peninggalan agama hindu. Menurut penelitian, candi ini dibangun pada akhir abad ke-15 M. Candi ini cukup berbeda dibandingkan candi Hindu pada umumnya. Bahkan desain Candi Sukuh dianggap telah menyimpang dari kitab pedoman untuk pembuatan bangunan suci bagi agam Hindu. Menurut pedoman, sebuah candi haruslah berbentuk bujur sangkar dan tempat paling suci berada di tengahnya. Penyimpangan pada candi ini diduga pada masa pembuatannya, pengaruh Hindusme di Jawa mulai memudar. Memudarnya pengaruh Hinduisme ternyata menghidupkan kembali kebudayaan pada zaman Megalitikum. Ini terlihat dalam arsitek Candi Sukuh yang memiliki teras berundak. Bentuk bangunan yang berundak merupakan salah satu ciri khas bangunan suci yang dibuat pada masa pra-Hindu. Selain itu pada masa pra-Hindu tempat paling suci akan berada di bagian paling belakang dang paling tinggi.
- Sejarah Candi Sukuh
Menurut para ahli, bangunan ini sengaja dibangun untuk pengruwatan menangkal ataupun melepaskan kekuatan buruk dalam kehidupan seseorang berdasarkan relief yang ditemukan. Kompleks Candi Sukuh sendiri memiliki luas + 5.500 m2, dan terdiri atas tiga teras berundak. Bahkan sepintas candi sukuh menyerupai bangunan pemujaan milik Suku Maya. Uniknya, gerbang utama dan gerbang lainnya yang menuju setiap teras menghadap ke arah barat. Ini berbeda dibandingkan candi-candi di Jawa tengah yang biasanya akan menghadap ke timur.
Selain itu tiga teras bersusun ini terbelah dua di tengahnya, dimana ada batu yang ditata seperti jalan untuk menuju gerbang teras lainnya. Gapura yang menuju teras pertama adalah gapura paduraksa, yang merupakan gapura dengan atap. Di ambang pintu gapura kalian akan melihat relief kala berjanggut panjang. Sedangkan pada dinding sayap utara gapura ada pahatan seorang yang berlari dengN menggigit ekor ular yang telah melingkar. Menurut penelitian, pahatan ini adalah sebuah sengkalan yang dibaca gapura buta anahut buntut. Sengkalan ini diperkirakan sebagai tahun 1359 Saka ataupun tahun 1437 M. Dimana tahun itulah pembangunan candi ini berhasil diselesaikan.
- Arsitektur Candi Sukuh
Pada sayap selatan terdapat gapura dengan pahatan seorang tokoh ditelan oleh raksasa. Pahatan ini merupakan sengkalan juga yang dibaca gapura buta mangan wong. Ini berarti gapura raksasa yang memakan manusia. Sengkalan ini diperkirakan sebagai angka tahun 1359 Saka ataupun 1437 M. Pada bagian luar gapura ada pahatan yang bergambar sepasang burung sedang menghinggap di atas pohon, sedangkan di bawahnya ada seekor anjing serta burung garuda dan sayapnya terbentang mencengkeram ular. Di halaman depan, kalian akan menemukan sekumpulan batu beraneka bentuk. Di antaranya memiliki desain berlubang di atasnya, menyerupai lingga, bahkan ada yang mirip denga tempayan
Di ruang dalam gapura, tepatnya di lantai, kalian akan menemukan pahatan gambar phallus serta vagina yang bentuknya sangat nyata dan hampir bersentuhan satu dengan lainnya. Pahatan ini menggambarkan bersatunya lingga yang mencerminkan kelamin perempuan serta yoni yang merupakan kelamin laki-laki yang melambangkan kesuburan. Saat ini disekeliling pahatan telah diberikan pagar yang membuat gapura sulit dilalui. Untuk menaiki menuju teras pertama, para pengunjung biasanya akan meggunakan tangga pada sisi gapura.
Karena diyakini jika pahatan ini bertujuan sebagai ‘suwuk’ atau mantra serta obat buat ‘ngruwat’ atau menyembuhkan segala sesuatu yang mengkotori hati. Itulah alasan kenapa relief dipahatkan di lantai pintu masuk. Yang membuat orang yang masuk akan melangkahinya. Sehingga dimaksudkan segala kekotoran dalam tubuhnya akan sirna begitu saja. Di atas pintu gapura yang menghadap pelataran teras pertama. Kalian akan menemukan hiasan Kalamakara yang sudah rusak parah. Pada dinding di sayap utara serta selatan ada pahatan seorang lelaki yang berjongkok dengan memegang senjata.
2. Candi Ceto
Candi di Karanganyar selanjutnya adalah candi ceto. Candi Ceto merupakan sebuah kompleks candi bercorak agama Hindu yang diduga didirikan pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Candi ini terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian mencapai 1496 m, dan candi ini secara administratif terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Kompleks candi digunakan masyarakat setempat dan juga peziarah yang berasal dari luar daerah Karanganyar , yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga berfungsi sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.
- Penemuan
Laporan mengenai Candi Ceto pertamakali dibuat oleh warga Belanda yaitu van de Vlies pada tahun 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan sebuah penelitian tentang Candi Ceto. Penggalian untuk kepentingan pemugaran dan penemuan objek terpendamdi dalam candi pertama kali dilakukan pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) pada Zaman Hindia Belanda.
- Riwayat Kompleks Percandian
Ketika ditemukan pertama kali kondisi candi ini berupa reruntuhan batu terdiri dari 14 teras/punden bertingkat, teras/punden ini memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada sekarang teras/punden hanya tersisa 13 teras, dan pemugaran dilaksanakan oleh para pakar dan hanya dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya candi yang berteras-teras (“punden berundak”) memunculkan dugaan oleh para pakar bahwa candi ini bergaya arsitek Hinduisme. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief yang pada Candi Ceto menyerupai wayang kulit, dengan wajah relief tampak kelihatan dari samping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran serupa juga terjadi di candi lain, yang menunjukkan tentang ciri bangunan periode sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.
Bupati Karanganyar periode 2003-2008, yaitu Ibu Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan sebuah keberagamaan di sekitar candi Ceto, Bupati itu menempatkan sebuah arca Dewi Saraswati, pemberian dari Kabupaten Gianyar, yang dia letakkan pada bagian timur kompleks candi, diletakkan pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
- Susunan Bangunan
Keadaannya dari candi ini sejak renovasi, kompleks Candi Ceto strukturnya terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum dibuatnya sebuah gapura besar berbentuk candi bentar, jika masuk kedalam candi pengunjung bisa mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama dalam candi ini setelah sebuah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat sebuah petilasan dari tokoh masyarakat Dusun Ceto Ki Ageng Krincingwesi.
Sebelum memasuki dari aras kelima (teras ketujuh), pada sebuah dinding kanan gapura terdapat tulisan pada batu/inskripsi dengan aksara tulisan Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno berbunyi yaitu pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397.
Tulisan aksara Jawa Kuno ini jika ditafsirkan menyangkut fungsi candi yaitu bertujuan untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh candi ini terdapat sebuah struktur tataan batu yang mendatar berada di permukaan tanah yang menggambarkan sebuah kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang dari Kerajaan Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) dengan panjang mencapai 2 meter dilengkapi dengan sebuah hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. arti dari simbol Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan arti simbol penis yaitu lambang penciptaan manusia. Pada aras kedelapan dalam candi terdapat sebuah arca phallus yang (disebut “kuntobimo”) di sisi utara candi dan arca dari Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud bentuk patung mahadewa.