Belanda yang masih ingin melanggengkan kekuasaannnya di Indonesia berusaha mencari dalih dan celah agar dapat mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Saat diadakannya perjanjian Linggarjati Belanda mengingkarinya dengan melancarkan Agresi militer yang pertama kepada bangsa Indonesia. Kemudian datang Dewan Keamanan PBB melalui KTN (Komisi Tiga Negara) kemudian tercetuslah sebuah perjanjian yang diadakan di pelabuhan Jakarta di sebuah kapal Amerika USS Renville.
Dengan menyepakati adanya gencatan senjata di sepanjang garis demarkasi atau dikenal dengan Garis Van Mook yakni suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya (M.C.Rickleffs,1998,340). Hal tersebut merupakan sejarah Perjanjian Renville.
Artikel Terkait:
Latar Belakang
Serangan bermula pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan menggunakan taktik perang kilat (blitkrieg) disegala sisi wilayah Republik Indonesia. Dimulai dari merebut pangkalan udara Maguwo (saat ini bernama Adi Sucipto) dengan menerjunkan pasukan payung dan dengan gerak cepat mampu mengambil alih kendali kota Yogyakarta yang merupakan ibukota Republik Indonesia saat itu. Dan menangkap pemimpin Republik Indonesia yakni Soekarno dan Mohammad Hatta.
Selain itu tentara Belanda alam serangannya juga menawan Syahrir, Agus Salim, Mohammad Roem serta A.G. Pringgodigdo. Yang oleh Belanda Lekas diberangkatkan ke pengasingan di Prapat Sumatra dan pulau Bangka, namun sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat. Menteri lainnya yang berada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap ialah sebagai berikut.
- Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman,
- Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo,
- Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan
- Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.
Menurut Kahin (2013) Belanda melakukan beberapa strategi untuk menghadapi bangsa Indonesia yang mulai ditetapkan pada akhir tahun 1948 yang dikenal sebagai strategi tiga sisi, berikut penjelasannya.
- Pertama, Belanda berharap dengan menerapkan kekuatan militer secukupnya agar dapat menghancurkan Republik dan Militer Indonesia secara menyeluruh.
- Kedua, menjadikan bangsa Indonesia sebagai Negara Federal Serikat demi melaksanakan program pemecah belah bangsa atau politik adu domba (devide et impera)
- Yang ketiga, Belanda berharap bangsa Indonesia akan mendapatkan sanksi internasional melalui pemberian kedaulatan pada federasi Indonesia yang dikuasai oleh Belanda secara tidak langsung.
Dengan Agresi Militer kedua yang dilancarkan pihak Belanda, hal tersebut dianggap sebagai sebuah kemenangan besar yang diperoleh Belanda. Sebab dapat menawan pucuk pimpinan bangsa Indonesia, namun hal tersebut menuai kecaman luar biasa yang tak diduga sebelumnya oleh pihak Belanda. Terutama dari pihak Amerika Serikat yang menunjukan rasa simptinya terhadap bangsa Indonesia dengan memberi pernyataan, sebagaimana berikut.
- Jika Belanda masih saja melakukan tindakan militer terhadap bangsa Indonnsia, Amerika Serikat akan menghentikan segala bantuan yang diberikan pada pemerintah Belanda
- Mendorong Belanda untuk menarik pasukannya berada dibelakang garis status quo renville
- Mendorong dibebaskannya pemimpin Bangsa Indonesia oleh Belanda
- Mendesak agar Belanda dibuka kembali sebuah perundingan yang jujur berdasarkan perjanjian Renville
Tujuan Agresi Militer
Agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia memiliki tujuan untuk memperlihatkan pada dunia Internasional bahwa Republik Indonesia dan tentaranya TKR itu sesungguhnya sudah tidak ada. Dengan begitu Belanda memiliki hak untuk berbuat semaunya terhadap bangsa Indonesia. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung (1983, 183), Ada dua alasan utama mengapa Beel melancarkan agresi militer tersebut, yakni sebagai berikut:
- Menghancurkan Republik yang merupakan suatu kesatuan sistem ketatanegaraan,
- Membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarkan atas Peraturan Pemerintahan dalam Peralihan,
- Wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-unsur yang kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian dalam PIF tanpa mewakili bekas Republik.
Menurut Kahin (2013) Belanda memiliki dua kelompok kepentingan yang menginginkan bangsa Indonesia tetap dalam kekuasaan Belanda, diantaranya sebagai berikut.
- Elemen pertama, merupakan mayoritas orang Belanda yang memiliki investasi yang ditanamkan di bidang pengelolaan di Indonesia termasuk kalangan pengusaha yang tentunya memiliki kepentingan ekonomis didalamnya.
- Elemen kedua, berasal dari tentara militer dari KNIL dan pegawai negeri Belanda. Ini merupakan kelompok yang memiliki kepentingan utama didalam kedudukan militer Belanda dan aparat pemerintah.
Dan apabila ditilik dari tujuan utama dalam setiap gerakan militer Belanda terhadap Indonesia, ada beberapa segi yang melatar belakangi hal tersebut. Diantaranya sebagai berikut.
- Dari segi ekonomi, bersamaan kembalinya Indonesia dibawah kekuasaan masa penjajahan Belanda di Indonesia segala kepentingan ekonomi investasi yang ditanam oleh Belanda akan semakin luas dan mendapat keuntungan laba yang besar.
- Dari segi sosial, ini memiliki keterkaitan dengan masalah kependudukan orang Belanda yang masih tetap tinggal di Indonesia.
- Dari segi eksistensi, kedudukan Belanda di mata dunia melalui upaya perundingan yang gagal semakin memperburuk citra Belanda di mata dunia Internasional. Dan melalui Agresi Militer Belanda berusaha melancarkan tujuannya melalui dukungan Militer dan sekutu.
Belanda berpikir dengan jatuhnya ibukota ditangan mereka, dapat melumpuhkan pertahanan bangsa Indonesia. Namun dalam serangan tersebut ternyata Jenderal Sudirman berhasil lolos. Dan kemudian memimpin perang gerilya bersama pasukannya ditengah kesehatannya yang memburuk.
Dibentuknya Pemerintahan Darurat
Dewan siasat telah membuat suatu rencana bahwa basis pemerintahan akan dibentuk di Sumatra, maka Presiden pun membuat surat kuasa yang dikirimkan melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi. Surat tersebut berisi mandat yang diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara bahwa ia ditunjuk sementara untuk membentuk sebuah kabinet serta mengambil alih tugas Pemerintah Pusat. Yang kemudian pemerintahan pimpinan Syafruddin ini dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Presiden pun berjaga-jaga bila nanti Syafruddin gagal membentuk pemerintahan di Sumatera, maka dibuat juga sebuah surat kepada Duta Besar RI yang berada di New Delhi India, yakni dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis. Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan tentang pemberian mandat untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara.
Artikel Terkait:
Dan jika Menteri Syafrudin Prawiranegara tidak dapat melaksanakan amanat dari Presiden Sukarno tersebut atau mengalami kegagalan, diharapkan supaya ketiga menteri tersebut membentuk Exile Goverment of Republic Indonesia di New Delhi, India. 21 Desember 1948, empat Menteri tersebut berkumpul untuk melakukan rapat bersama yang hasilnya disampaikan pada seluruh petinggi militer yakni Gubernur Militer serta seluruh Gubernur sipil dan Residen yang berada di wilayah Jawa. Yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah Pusat diberikan kepada tiga Menteri tersebut yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.