Penyebab Terjadinya Pertempuran Surabaya 10 November -Latar Belakang dan Kronologis
Ads
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran perjuangan antara pihak Tentara Indonesia dan pasukan Britania Raya. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini merupakan pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini juga merupakan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menyebabkan ribuan pahlawan pejuang Indonesia gugur.
Penyebab terjadinya pertempuran surabaya dimulai sejak Brigade 49/Divisi india ke-23. Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI), juga ikut ambil bagian dalam pertempuran ini. Beliau mengusulkan kepada Presiden Ir. Soekarno agar menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut telah terjadi pertempuran terbesar sepanjang perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, sehingga perlu dijadikan simbol nasional perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
Latar Belakang
Pada tanggal 1 Maret 1942, Tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa dan seminggu kemudian, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah itu, pemerintahan Indonesia secara resmi diduduki dan dikuasai oleh Jepang. Kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada bulan Agusutus 1945 setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di kota Hiroshima dan Nagasaki. Dengan adanya kekosongan kekuasaan asing, Presiden Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Artikel Terkait:
- Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia
- Peristiwa G30S/PKI 1965
- Sejarah Kerajaan Majapahit
- Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
Karena pihak Jepang telah kalah, rakyat dan pejuang Indonesia semakin berani untuk melucuti senjata para Tentara Jepang, sehingga timbullah pertempuran yang memakan banyak korban di berbagai daerah. Pada tanggal 15 September 1945, tentara Inggris melakukan pendaratan di Kota Jakarta dan 10 hari kemudian, tentara Inggris melakukan pendaratan lagi di Kota Surabaya.
- Kedatangan Tentara Inggris (AFNEI)
Tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) menuju ke Indonesia atas keputusan Blok Sekutu. Para Tentara Inggris ini datang ke Indonesia ditugaskan untuk:
- Melucuti tentara Jepang
- Membebaskan para tawanan yang ditahan oleh Jepang
- Memulangkan para tentara Jepang
- Mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
Karena adanya hal tersebut, rakyat Indonesia memunculkan pergerakan perlawanan rakyat melawan tentara AFNEI. Pada tanggal 1 September 1945, Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa lokasi yang dijadikan tempat untuk pengibaran Bendera Merah Putih:
- Teras atas Gedung Kantor Karesidenan (Kantor Syucokan, Gedung Gubernur Jalan Pahlawan) yang terletak di muka Gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan)
- Di atas Gedung Internatio
Setelah itu, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa Bendera Indonesia ke Tambaksari (sekarang lapangan Stadion Gelora 10 November). Para pemuda ini menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya. Saat rapat, para pemuda selalu mengibarkan Bendera Merah Putih disertai dengan teriakan kata Merdeka.
- Pengibaran Bendera Belanda di Hotel Yamato
Pada mulanya, Jepang dan Indo-Belanda menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang dan disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, pihak Jepang dan Belanda melakukan kegiatan politik yang berlindung di balik Intercross Jakarta. Mereka mencoba mengambil alih beberapa gedung, salah satunya Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, AFNEI datang ke Gunungsari, Surabaya bersama dengan rombongan Intercross Jakarta.
Saat itu, barisan pemuda yang sedang mengibarkan Bendera Merah Putih, melihat Bendera Merah Putih Biru (Bendera Belanda) dikibarkan di tiang bendera Hotel Yamato/ Yamato Hoteru (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye, sekarang bernama Hotel Majapahit) Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya. Hal ini menjadikan para pemuda menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih. Massa kemudian memadati halaman hotel dan halaman gedung Hotel Yamato.
Artikel Terkait:
- Sejarah Berdirinya Patung Liberty di Amerika Serikat
- Sejarah Patung Buddha Tidur di Mojokerto
- Candi Peninggalan Agama Hindu di Indonesia
- Sejarah Patung Pancoran di Jakarta
Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang menjabat sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa. Beliau masuk ke hotel Yamato dikawal oleh Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI, beliau berunding dengan Mr. Ploegman dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Namun, Mr. Ploegman menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan menjadi memanas. Mr. Ploegman mengeluarkan pistol dan terjadilah perkelahian di dalam ruang perundingan. Mr. Ploegman tewas tercekik oleh Sidik. Sidik ternyata juga tewas ditembak oleh Tentara Belanda yang berjaga-jaga karena mereka mendengar letusan pistol Ploegman. Soedirman dan Hariyono langsung melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Sebagian dari para pemuda berebut untuk menurunkan Bendera Belanda di Hotel Yamato. Hariyono yang semula melarikan diri bersama Soedirman, kembali lagi masuk ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Bersama Koesno Wibowo, beliau berhasil menurunkan bendera Belanda merobek bagian birunya dan kemudian mengerek Bendera Merah Putih ke puncak tiang bendera. Hal ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan teriakan ‘Merdeka’ berulang kali.
Kronologis
- Pertempuran Pertama, 27 Oktober 1945
Setelah insiden di Hotel Yamato, meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Tepatnya pukul 11.00, sebuah pesawat terbang Dakota datang dari Jakarta. Mereka menyebarkan ribuan lembar pamflet di udara Kota Surabaya. Pamflet-pamflet itu berisi seruan kepada semua warga Kota Surabaya agar melucuti senjata mereka atau mereka menghadapi dilumpuhkan dengan senjata. Salah satu isi pamfletnya adalah “Persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot,”
Bagi arek-arek Surabaya, isi pamflet itu jelas menunjukkan niat Inggris untuk mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia. Seketika itu juga, beberapa tokoh Surabaya mengadakan pertemuan dan melakukan beberapa pertimbangan. Apabila rakyat Indonesia menyerahkan senjata kepada Sekutu, hal ini akan menunjukkan pihak Indonesia tidak mempunyai kekuatan lagi. Namun, apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Artikel Terkait:
Para tokoh juga memperhitungkan pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya dan kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Selain itu pihak Inggris dipastikan tidak mengerti liku-liku Kota Surabaya. Pertempuran tersebut memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris. Pada 27 Oktober ini, pihak Sekutu menyerbu Penjara Kaliosok dan membebaskan Kolonel Huiyer beserta para pegawai Relife of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). Baku tembak antara Sekutu dan arek-arek Surabaya pun terjadi.
Keesokan harinya, arek-arek Surabaya menyerang hampir seluruh Pos Sekutu. Keesokan harinya lagi, para pemuda merebut objek-objek penting di Surabaya yang menyebabkan tentara Sekutu menjadi kewalahan. Setelah itu, Jenderal D.C. Hawthorn (pihak Tentara Inggris) meminta bantuan Presiden Ir. Soekarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata.
- Tewasnya Brigadir Jendral Mallaby
Pada tanggal 31 Oktober 1945, Presiden Ir. Soekarno Soekarno, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan menteri penerangan Amir Syarifudin datang ke Surabaya untuk berunding dengan Mallaby yang menghasilkan keputusan untuk menghentikan pertempuran dan terbentuknya anggota-anggota panitia penghubung (Contact Comite) dari kedua pihak.
Setelah dilakukan gencatan senjata yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1945, keadaan menjadi mereda. Meskipun begitu, tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya yang memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada tanggal 31 Oktober 1945, sekitar pukul 20.30.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby dikarenakan adanya tembakan pistol dari seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya. Tewasnya Brigjen Mallaby ini akibat Brigjen Mallaby menolak untuk menyerahkan Gedung Bank Internasional di Jembatan Merah yang saat itu diduduki Sekutu, sehingga kontak sejata pun terjadi. Karena tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, pihak Inggris yang kemudian dipimpin oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum 10 November untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
- Ultimatum Pertempuran Besar, 10 November 1945
Pada tanggal 10 November 1945, pasukan Inggris melakukan aksi Ricklef (pembersihan berdarah) di suluruh sudut kota yang dibalas dengan pertahanan rakyat oleh ribuan warga kota Surabaya. Tentara Sekutu mengirimkan 30.000 pasukan serdadu (26.000 didatangkan dari Divisi ke-5 dengan dilengkapi 24 tank Sherman) dan lima puluh pesawat tempur dan beberapa kapal perang yang dipersenjatai oleh meriam-meriam kapal, pesawat mosquite dan thunderbolt. Sebaliknya, arek-arek Surabaya hanya menggunakan senjata sederhana seperti golok, bambu runcing, panah dan lain-lain.
Di bawah pimpinan Gubernur Suryo dan Bung Tomo, arek-arek Surabaya tidak mau menyerahkan sejengkal tanah pun kepada tentara Sekutu. Dengan teriakan “Allahu Akbar”, Bung Tomo membakar semangat para pejuang. Arek-arek Surabaya memilih tetap bertahan dan tidak menyerahkan senjata ke pasukan Inggris, meskipun dengan konsekuensi jatuhnya korban jiwa. Akibat pertempuran yang tidak seimbang, pihak Inggris dalam waktu tiga hari telah berhasil merebut kota dan baru benar-benar berakhir setelah tiga minggu karena gigihnya perlawanan arek-arek Surabaya. Karena pertempuran tersebut, 6000 rakyat Indonesia gugur dan ribuan lainnya meninggalkan kota.
Sumarsono, mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI), juga ikut ambil bagian dalam pertempuran ini. Beliau mengusulkan kepada Presiden Ir. Soekarno agar menetapkan tanggal 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut telah terjadi pertempuran terbesar sepanjang perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, sehingga perlu dijadikan simbol nasional perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
Kontroversi Kematian Mallaby
Pada tanggal 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons), Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party), meragukan tuduhan dan dugaan Inggris bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia dan Mallaby bukan dibunuh secara licik. Tom Driberg menyampaikan bahwa peristiwa penembakan muncul karena kesalahpahaman dua puluh anggota pasukan India pimpinan Mallaby memulai baku tembak dengan pasukan dari Indonesia. Mereka tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak Mallaby. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain Alun-Alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di Alun-Alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung, kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal.
Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan.”