Selama Belanda menjajahi Indonesia, perang melawan Aceh merupakan perang terbesar dan terlama yang pernah dilakukan. Perang ini berlangsung selama 69 tahun dari 1873 – 1942 dan telah menelan korban lebih dari 100.000 dari kedua belah pihak. Sejak dimulainya serangan Belanda pada tanggal 6 April 1873, perang ini telah menewaskan 37.500 orang dari pihak Belanda dan 70.000 orang dari pihak Aceh dengan sekitar 500.000 orang yang mengalami luka-luka. Simak juga masa kolonial Eropa di Indonesia.
Seorang komandan militer Belanda, Zentgraaff, menulis buku yang berjudul Atjeh. Di dalam bukunya pada halaman 1 dan 63, ia menyatakan ketakjubannya mengenai orang Aceh:
“Orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita sangat gigih dalam memperjuangkan agama kepentingannya. Dari semua pemimpin peperangan yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”
Selain itu, seorang jurnalis Eropa bernama Paul van Veer, juga menuliskan buku mengenai bangsa Aceh dengan judul De Atjeh-oorlong. Pada halaman 301, ia menulis:
“Aceh adalah derah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada ahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih dari cukup.”
Latar Belakang Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda
Semua peperangan terjadi karena suatu alasan dan ada latar belakang yang memicu peperangan ini terjadi seperti sejarah perang Arab Israel dan sejarah perang Banjar. Pada perang Aceh melawan Belanda, ada beberapa alasan yang menyebabkan Belanda menyerang tanah Aceh pada tahun 1873, yaitu sebagai berikut:
- Belanda menduduki Siak dan akibat adanya perjanjian SIak 1858, Sultan Ismail menyerahakn area Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada pihak Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut sudah berada di kekuasaan Aceh semenjak masa Sultan Iskandar Muda.
- Belanda melanggar Siak, dan menyebabkan berakhirnya perjanjian London, dimana Belanda dan Inggris membuat ketentuan mengenai batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara. Maka dari itu, kedua negara sekarang mengakui kedaulatan Aceh.
- Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, maka bangsa Aceh menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Aceh.
- Pembukaan terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep dan menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai lalu lintas perdagangan.
- Perjanjian Sumatera 1871 dibuat antara Inggris dan Belanda, dimana isinya berupa Inggris memberikan keleluasaan pada Belanda untuk bertindak di Aceh. Selain itu, Belanda juga harus menjaga keamanan lalu lintas Selat Sumatera, mengizinkan Inggris untuk berdagang secara bebas di Siak, dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat pada Inggris.
Dari latar belakang yang telah disebutkan, ada latar belakang khusus terjadinya perang Aceh, dimana hal ini terjadi sebelum terjadinya peperangan. Karena adanya Perjanjian Sumatera tersebut, Belanda menjadi semena-mena dalam mengambil tindakan di Aceh. Karena ambisi Belanda yang ingin menguasai Aceh, Belanda tidak segan lagi menuntut Aceh untuk tunduk kepada Belanda. Tuntutan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Mahmud Syah serta menolak seluruh tuntutan Belanda. Hingga pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda mendeklarasikan perang terhadap Aceh.
Kronologi Terjadinya Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda
- Tahun 1873 – 1899
Serangan pertama Belanda kepada Aceh dilakukan dengan datangnya pasukan dan kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Ia menargetkan serangan pertama pasukan mereka ke Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pasukan Aceh dengan gencar menyambut dan melawan pasukan Belanda. Hingga pada 14 April 1873, Kohler tewas tertembak oleh rakyat Aceh dan pasukan Belanda dapat dihanurkan.
Setelah kematian Kohler, pasukan Belanda kembali menyerang Aceh dengan Mayor Jenderal Van Swiyten sebagai pemimpinnya. Mereka terus menerus menebak meriam ke pasukan Aceh dan akhirnya Aceh terdesak untuk mengosongkan istana. Hasilnya, pasukan Belanda menduduki istana sementara keluarga dan kerabat Kerajaan melarikan diri ke daerah Lheunbata.
Tetapi, bangsa Aceh tidak pantang menyerah dalam memperjuangkan kebebasannya. Setelah istana diduduki oleh Belanda, pasukan ulama dan bangsawan Aceh sudah siap untuk bertempur. Pasukan ulama yang bernama Pasukan Jihad, dipimpim oleh Teuku Cik Di Tro. Sedangkan rakyat Aceh dikumpulkan dan membuat pasukan besar dengan Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, sebagai pemimpinnya. Serangan yang dipimpim Teuku Umar dilancarkan ke pos-pos Belanda hingga pada tahun 1882, pasukan Aceh dapat menguasai Meulaboh. Lalu pada 1886, pasukan Aceh juga langsung menyerang kapal Hock Canton yang baru saja berlabuh. Semakin hari, Belanda semakin kewalahan dan dihantui terror dari pasukan rakyat Aceh. Simak juga sejarah berdirinya Al Washliyah.
Berbagai taktik telah dilakukan oleh pasukan Belanda untuk memukul mundur bangsa Aceh seperti taktik Stelsel dan adu domba, seperti halnya sejarah perang Padri, namun taktiknya selalu gagal. Seorang Jenderal Belanda bernama Jenderal Deyckerhoff bergagasan untuk menggunakan politik Devide At Impera untuk mempengaruhi Teuku Umar. Tetapi, keadaan politik tersebut dimanfaatkan oleh Teuku Umar, dimana beliau berpura-pura menyerah dengan maksud untuk mendapatkan senjata dari Belanda.
Rencana dan usaha Teuku Umar tidak sia-sia, karena atas kepercayaan Jenderal Deyckerhoff, Teuku Umar diberi kepercayaan dan kekuasaan atas pasukan dan senjata lengkap Belanda untuk menyerang benteng Aceh. Sasaran Belanda selalu dikosongkan atas perintah Teuku Umar yang mengetahui semua rencana Belanda dan setelah mendapatkan persediaan senjata yang cukup, Teuku Umar pun berbalik menyerang Belanda. Karena dinilai gagal, Jenderal Deyckerhoff digantikan dengan Van Heutz pada tahun 1899.
- Tahun 1899 – 1942
Serangan Van Huetz sangat membabi buta pada bulan Februari 1899 dan membuat pasukan Aceh terdesak. Aceh harus mundur sampai daerah Meulaboh dan pada serangan tersebut, tepatnya tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran.
Tetapi pasukan lain juga pantang menyerah meskipun Teuku Umar sudah tiada. Pasukan pimpinan Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah terus menerus menggencarkan serangan pada pasukan Belanda dengan berpindah-pindah daerah sampai bertahan di bentang Batlelile. Pada Januari 1901, Van Heutz menyerang secara besar-besaran pada pasukan Aceh dan memaksa Aceh untuk mundur dari benteng, sehingga Belanda berhasil menguasai benteng Batlelile.
Perang terus berlanjut hingga tahun 1903 dimana beberapa kerabat Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polim ditawan Belanda, sehingga menyebabkan mereka menyerah. Perjuangan rakyat Aceh diteruskan oleh Cut Nyak DIen dan Cut Meutia, dimana akhirnya Cut Nyak Dien tertangkap dan diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dien wafat di Sumedang pada tanggal 6 November 1908 dan Cut Meutia gugur dalam pertempuran di Hutan Pasai pada tanggal 1913.
Meskipun Sultan Muhammad Daud Syah menandatangani Surat Perjanjian Plakat Peudele, yang berarti Kesultanan Aceh tunduk pada Belanda, perjuangan Aceh tidak berhenti disitu. Dari tahun 1914, Aceh masih melakukan perlawanan hingga tahun 1942, ketika penjajah Belanda angkat kaki dari Aceh sebagai salah satu sejarah berdirinya Indonesia. Dan puluhan pertempuran Aceh yang terjadi telah diketahui di seluruh Hindia Belanda.
Perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia masih dikagumi hingga sekarang. Karena tanpa kegigihan mereka melalui Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, mungkin Indonesia akan lebih kesulitan untuk meraih kemerdekaan. Semoga informasi ini bermanfaat.