Menurut pandangan Islam, bahwa sejarah Haji dimulai sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa Nabi Ibrahim as (1861 – 1686) Sebelum Masehi. Nabi Ibrahim as merupakan keturunan dari Sam Bin Nuh as (3900 – 2900) SM. Berdasarkan literatur Islam, bahwa Nabi Ibrahim as lahir di Ur-Kasdim yang merupakan sebuah kota penting di Mesopotamia. Hingga beberapa tahun kemudian, Nabi Ibrahim tinggal di sebuah lembah di negeri Syam.
Usia senja pun mulai tiba pada Nabi Ibrahim as, namun belum juga dikaruniai seorang anak pun. Hal ini membuat istrinya yang bernama Sarah bersedih, hingga ia memutuskan memberi saran kepada Nabi Ibrahim menikahi Hajar agar memperoleh keturunan. Nabi Ibrahim pun menyetujui dengan pertimbangan untuk memperoleh keturunan. Akhirnya, Nabi Ibrahim pun memperoleh keturunan dari hubungan suami istri dengan Hajar. Anaknya pun diberikan nama Ismail. Walaupun di balik kesenangan itu, terdapat Sarah yang bersedih karena tidak bisa memberikan keturunan.
Dengan adanya kesedihan Sarah, Ibrahim tak merasakannya. Ia meminta ijin kepada Allah untuk pergi menjauh dari Sarah dengan membawa Hajar dan putranya yang bernama Ismail.
“Ya Allah, kemana aku harus membawa keluargaku?” Tanya Nabi Ibrahim kepada Allah SWT.
Allah berfirman kepada Ibrahim as, “Bawalah ke tanah Haram-Ku dan pengawasan-Ku, yang merupakan daratan pertama Aku ciptakan di permukaan bumi yaitu Mekkah.”
Dengan adanya firman tersebut, maka Ibrahim as, istrinya dan Ismail, dibawalah mereka oleh malaikat Jibril. Saat itu, malaikat Jibril turun ke bumi dan membawa mereka sekeluarga dengan menggunakan kendaraan cepat. Di tengah perjalanan, setiap Ibrahim melihat ladang yang segar dan dipenuhi dengan perkebunan kurma, Nabi Ibrahim as selalu meminta untuk mampir sejenak. Tapi, malaikat Jibril pun lekas menjawabnya, “Teruskan lagi.” Dan “Teruskan lagi.”
Hingga tanpa mampir-mampir, tibalah mereka diposisi Ka’bah yaitu di bawah sebuah pohon yang cukup untuk melindungi Hajar dan Ismail dari teriknya matahari.
Baca juga: Sejarah Olahraga di Indonesia
Kemudian, Nabi Ibrahim as ingin pulang kembali ke negeri Syam untuk menemui Sarah istrinya yang pertama. Dengan keinginan Nabi Ibrahim tersebut, sebenarnya Sarah sangat sedih karena harus ditinggalkan oleh suami tercintanya.
“Mengapa menempatkan kami di sini? Tempat yang sunyi dari manusia, hanya gurun pasir, tiada air dan tiada tumbuh-tumbuhan?” tanya Hajar sambil memeluk erat Ismail yang masih bayi.
Ibrahim pun menjawab pertanyaan Hajar, “Sesungguhnya Allah yang memerintahkanku menempatkan kalian di sini.”
Kemudian, Ibrahim as pun beranjak pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Setiba di sebuah bukit Kuday yang memiliki lembah, Ibrahim memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia melihat Hajar dan Ismail yang ditinggal di gurun pasir yang tandus tersebut. Lalu ia berdoa (Doa ini diabadikan di dalam Al-Qur’an, QS. Ibrahim:37).
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka, jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ismail dan Hajar
Setelah Ibrahim pergi, tinggal seorang diri Hajar bersama bayinya yang bernama Ismail. Hingga ketika sinar matahari mulai menyengat Ismail, Ismail pun menangis karena kehausan. Hajar pun panik untuk mencari minum untuk Ismail. Nalurinya sebagai Ibu, sangatlah gigih dalam mencari air untuk bayinya. Ketika ia ke bukit Shafa, ia tak menemukan air, pergi ke bukit Marwa pun juga tak menemukan air. Hajar mulai bertambah paniknya, sampai-sampai ia tak sadar kalau sudah tujuh kali keliling bolak-balik antara bukit Shafa dan bukit Marwa. Tetap saja, ia tak menemukan air juga.
Ketika Hajar berada di bukit Marwa, ia heran melihat Ismail yang tiba-tiba berhenti menangis. Ternyata, yang menyebabkan Ismail menangis adalah air yang tiba-tiba muncul dan mengalir di bawah kaki Ismail. Hajar pun lari kegirangan karena melihat air itu, ia langsung berlari ke arah Ismail. Karena terlalu senangnya, ia pun berusaha menggali pasir itu, membendung air yang mengalir sambil melafazkan kalimat, “Zam… Zam…” kalimat tersebut yang artinya adalah ‘Menampung’. Di sinilah sejarah air zam-zam terjadi.
Hingga beberapa waktu kemudian, lewatlah Kabilah Jurhum di sekitar tempat tersebut. Saat mereka berjalan ke bukit Arafah, mereka melihat kerumunan burung terbang di atas udara. Mereka meyakinkan bahwa itu tanda adanya sumber air.
Setelah tiba di tempat burung-burung beterbangan, mereka terkesima ketika melihat seorang wanita bersama bayinya di bawah pohon dengan aliran air yang begitu banyak. Tak lain itu adalah Hajar dan Ismail. Mereka pun mendekati Hajar dan Ismail.
“Siapakah Anda dan siapakah bayi mungil yang ada dalam gendongan Anda itu? Tanya kepala suku Jurhum kepada Hajar.
Hajar pun menjawab, “Saya adalah Ibu dari bayi ini. Ia anak kandung dari Ibrahim as yang diperintahkan oleh Tuhannya menempatkan kami di wadi ini.”
Dengan jawaban Hajar yang demikian, dan adanya sumber air di sekitar itu, kepala suku Jurhum pun meminta izin kepada Hajar untuk tinggal bersama rombongannya di seberang tempat Hajar bersinggah.
“Tunggulah sampai Ibrahim datang. Saya akan meminta izin kepadanya.” Hajar menjawab permohonan izin dari kepala Suku Jurhum.
Baca juga: Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah
Tiga hari kemudian, nabi Ibrahim as pun datang. Ia langsung melihat kondisi Ismail dan Hajar. Dan Hajar pun tak lupa langsung meminta izin kepada Ibrahim as supaya para Kabilah Jurhum untuk tinggal dan menjadi tetangganya. Nabi Ibrahim as mengizinkan Kabilah Jurhum untuk menjadi tetangganya. Hingga berselang beberapa waktu, dan pada kesempatan berziarah selanjutnya, Ibrahim melihat kondisi tempat itu, ternyata sudah mulai ramai oleh keturunan bangsa Jurhum. Nabi Ibrahim as pun merasa senang karena melihat perkembangan tempat tersebut. Hingga Ismail beranjak remaja, Hajar pun hidup bertetangga dengan bangsa Jurhum dengan tentram dan rukun.
Hingga Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim as untuk membangun Ka’bah di posisi Qubah yang sudah diturunkan Allah kepada Nabi Adam as pada masa dulu. Tapi, nabi Ibrahim tidak mengetahui posisi Qubah itu di mana. Karena, pada masa nabi Nuh as, dan peristiwa banjir besar datang, Allah telah mengangkat kembali Qubah tersebut. Jadi, saat itu, Ibrahim as tidak melihat Qubah itu sama sekali. Allah SWT pun mengutus malaikat Jibril untuk memberikan petunjuk kepada Ibrahim as di mana letak posisi Ka’bah harus dibangun. Dan Jibril mematuhi perintah Allah, ia datang dengan membawa beberapa bagian Ka’bah dari surga. Ismail yang saat itu berusia remaja membantu ayahnya untuk membangun Ka’bah.
Ka’bah Dibangun
Setelah Ka’bah dibangun oleh Ismail dan Ibrahim hingga mencapai 7 hasta, Jibril memberikan petunjuk di mana posisi Hajar Aswad diletakkan. Setelah Hajar Aswad diletakkan dengan benar, Ibrahim pun melanjutkan pembangunan tersebut dengan membuat 2 pintu Ka’bah, yang mana pintu pertama menghadap ke Timur dan pintu ke dua menghadap ke Barat.
Waktu demi waktu telah dilalui oleh Ismail dan Ibrahim dalam membangun Ka’bah. Hingga pada akhirnya Ka’bah tersebut telah rampung. Mereka pun melaksanakan ibadah Haji. Di waktu inilah, ibadah Haji pertama kali dilakukan.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, Jibril kembali turun ke bumi untuk menyampaikan pesan kepada Ibrahim as. Ibrahim diminta untuk mendistribusikan air zam-zam ke beberapa tempat sekitarnya seperti Mina dan Arafah. Sehingga, di sinilah hari tersebut dinamakan dengan hari ‘Tarawiyyah’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah ‘pendistribusian air’.
Pembangunan Baitullah dan Pendistribusian Air Zam-zam telah usai, Ibrahim as pun berdoa kepada Allah yang diabadikan ke dalam Al Qur’an (QS. Al Baqarah;126).
Dan (ingatlah ketika Nabi Ibrahim berdoa;
Yaa Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman;
“Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Sejak saat itulah, Ibadah Haji mulai dilakukan oleh kaum Muslimin dan Muslimah. Mereka berhaji dengan berziarah ke Ka’bah setiap tahunnya. Hal ini sebagai tanda cinta dan hormat kepada risalah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, serta para Nabi dan Rasul setelah keduanya. Karena mereka berdua terus melakukan ibadah ini di setiap tahunnya.
Namun, sayangnya pada periode tokoh Mekkah yaitu Ammar bin Luhay, ibadah haji seperti dikotori dengan kehadiran patung dan berhala. Hal ini sangat disayangkan oleh para kaum Muslimin dan Muslimah. Di masa Ammar bin Luhay, Ibrahim as sudah wafat.
Berhala di Sekitar Ka’bah
Ammar bin Luhay adalah orang yang mengotori sucinya ibadah Haji, ia yang menyebarkan pertama kali untuk menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Yang awalnya penduduk Arab menganut ajaran tauhid, menjadi menyembah berhala, dalangnya adalah Ammar. Maka dari itu, sejak itu penduduk Arab berbondong-bondong meletakkan beberapa patung sebagai berhala yang dianggapnya sebagai Tuhan di sekitar Ka’bah. Bahkan saat itu, ada beberapa orang yang memutuskan untuk bekerja sebagai pemahat patung.
Para pengikut Ammar memperbolehkan pengikut Ibrahim untuk tetap beribadah haji ke Baitullah tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Hingga para pemeluk agama tauhid dan juga agama Masehi tetap terus menjalankan ibadah Haji ke Ka’bah. Pada masa itu pun, Ka’bah dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Di dinding-dindingnya tertempel beberapa puisi dan lukisan bahkan terdapat lebih dari 360 berhala terpasang di sekitar Ka’bah. Sungguh ironis! Sehingga, sekitar Ka’bah seperti arena sirkus saat itu.
Baca juga: Sejarah Benua Atlantis
Hingga beberapa waktu kemudian, ritual haji menjadi amburadul. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Ka’bah dengan tanpa pakaian sehelai pun atau telanjang bulat. Mereka berpikir bahwa menghadap ke Tuhan Allah dengan menampilkan diri layaknya lahir di dunia ini. Bahkan do’a mereka tak tulus seperti yang dulu, hingga doa berubah menjadi siulan, tepukan tangan, tiupan musik dan tari-tarian. Hal ini semua karena diselewengkan oleh umat Ammar.
Tak hanya itu, mereka juga menyelewengkan kalimat talbiah (Labbaika Allahumma Labbaik). Mereka menyelewengkan dengan menambahkan beberapa kalimat, hingga maknanya menjadi berubah. Terlebih dari itu, mereka menuangkan darah kurban ke dinding Ka’bah dan bahkan beberapa daging kurban digantung-gantungkan ke tiang sekitar Ka’bah. Mereka berpikir bahwa dengan melakukan hal demikian, Allah akan menerima pengurbanan mereka.
Dengan adanya fenomena tersebut, akhirnya Allah berfirman untuk mengingatkan kepada mereka. Firman Allah ini telah diabadikan ke dalam Al Qur’an yaitu Surah Al Haj ayat 37,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketaqwaan dan kamulah yang dapat mencapainya.”
Pada masa itu, para peziarah bukannya berdoa kepada Allah, mereka malah asyik bernyanyi, melakukan zina, minum-minuman arak, hingga melakukan perbuatan yang tercela lainnya. Dalam rangkaian haji saat itu, lomba puisi adalah acara intinya. Dalam lomba tersebut, para peziarah berusaha unjuk diri dengan memamerkan puisi-puisinya. Puisi-puisinya pun tak lain adalah pujian-pujian tentang keberanian dan kehebatan sukunya, dan cerita berlebihan seperti kepengecutan, kekikiran suku lainnya.
Tak hanya lomba puisi, dalam rangkaian kegiatan ritual haji pada masa itu, juga terdapat lomba ‘murah hati’, yang mana lomba tersebut diwarnai dengan memberikan kuali besar dan memberi makan kepada para peziarah, agar mereka dikenal sebagai orang yang murah hati.
Pada masa itu, penduduk Arab benar-benar menodai dan menyelewengkan ajaran Nabi Ibrahim as yang semata-semata hanya menyembah Allah. Telah diketahui, bahwa fenomena menyedihkan tersebut telah berlangsung hingga dua ribu tahun lamanya.
Haji dan Umrah Zaman Rasulullah SAW
Setelah melewati periode yang cukup panjang, doa Ibrahim as pun akhirnya terjawab di zaman Rasulullah SAW. Doanya telah diabadikan ke dalam kitab Al Qur’an yaitu surah Al Baqarah ayat 129.
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Di masa Muhammad SAW, beliau tidak hanya membersihkan Ka’bah dari kotoran-kotoran daging dan darah kurban yang menempel, melainkan beliau juga membersihkan noda dari ritual haji dan memurnikan kembali ibadah haji seperti sediakala yaitu sesuai tuntutan Allah SWA sejak jaman Nabi Ibrahim as.
Baca juga: Peninggalan Kerajaan Majapahit
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menjadi jawaban atas permohonan Nabi Ibrahim as. Hingga 23 tahun Nabi Muhammad SAW telah menyebarkan ajaran Tauhid ke berbagai pelosok. Pesan tauhid yang sama halnya dengan pesan yang telah disebarkan oleh nabi-nabi terdahulu untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi ini.
Bahkan, juga terdapat pesan khusus yang diturunkan untuk menghilangkan penyelewengan atau ajaran yang tidak benar mengenai ibadah haji. Pesan tersebut telah termaktub dalal Al Qur’an yaitu Surah Al Baqarah ayat 197.
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak diperbolehkan rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
Dengan bekal pesan dari Allah SWT, Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para sahabatnya yang mampu (diutamakan adalah kaum Anshar atau pribumi Madinah dan tidak dikenali orang-orang Mekkah) untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim as.
Mereka melakukan ibadah haji sesuai dengan ajaran Ibrahim as tanpa menyembah berhala. Usai mengerjakan ibadah Haji, para sahabat Rasulullah SAW kembali dan melapor kepada Rasulullah SAW. Laporan sahabat kepada Muhammad adalah bahwa mereka sudah mulai melakukan sa’i, namun di dalam hati mereka masih ada keraguan yang mengganjal ibadah tersebut. Hal ini dikarenakan adanya dua berhala besar di antara mas’a (jalur sa’i) yaitu di antara Shafa dan Marwa. Kedua bukit tersebut adalah sejarah Hajar mencari air untuk Ismail pada zaman dulu. Dan dua berhala berhala besar itu adalah Asaf dan Na’ilah.
Dengan adanya pernyataan tersebut, maka Allah telah menurunkan wahyunya yang berbunyi: (Wahyu ini diabadikan ke dalam Al Qur’an di dalam surah Al Baqarah ayat 158.
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari syiar-syiar Allah, maka barangsiapa berhaji ke baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui.”
Sehingga, dengan adanya wahyu tersebut, maka wahyu tersebut sering dibacakan oleh para jamaah haji hingga sekarang.
Rasulullah pernah bermimpi di bulan April 628 M (Dzulkaidah 6H), bahwa beliau bermimpi sedang menunaikan umrah ke Mekkah. Sehingga, beliau ingin mewujudkan mimpi tersebut bersama para sahabat. Hingga akhirnya, Muhammad bersama 1500 sahabat berangkat menuju Mekkah untuk melakukan Umrah dengan pakaian ihram mereka. Mereka juga telah membawa beberapa hewan kurban untuk dikurbankan di sana.
Namun, perjalanan tak begitu mulus. Di mana ada jalan lurus, selalu ada rintangan yang menghadang sebagai uji keimanan. Saat Rasulullah SAW bersama 1500 sahabat berjalan menuju Mekkah, mereka tertahan oleh kaum musyrikin Quraisy di Hudaibiyyah (20km sebelah Barat Laut Mekkah). Kaum musyirikin Quraisy telah mengerahkan beberapa pasukannya untuk menghalangi rombongan Rasulullah.
Dalam hadangan tersebut, kaum Quraisy telah mengutus Suhail Ibn Amr untuk melakukan perundingan dengan Rasulullah. Dalam perundingan tersebut, Suhail meminta untuk gencatan senjata dan kaum muslimin harus menunda pemberangkatannya, sehingga diminta untuk kembali ke Madinah, dengan catatan kaum muslimin bebas melakukan Umrah di tahun depan dan tinggal selama 3 hari di Mekkah. Dengan segala kerendahan hati Rasulullah SAW, beliau pun menyetujui kesepakatan tersebut, walaupun banyak sahabat yang merasa kecewa dengan hasil kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini dikenal sebagai ‘Perjanjian Hudaibiyyah’.
Perjanjian Hudaibiyyah
Perjanjian Hudaibiyyah merupakan salah satu sejarah penting dalam sejarah Islam. Karena, secara tidak langsung, dalam perjanjian tersebut, bahwa kaum Quraisy telah mengakui kedaulatan Muslimin di Madinah untuk yang pertama kali.
Berikut ini adalah isi dari Perjanjian Hudaibiyyah yang diabadikan ke dalam Al Qur’an:
“Sungguh, Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu akan memasuki Masjidil Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (menyelesaikan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui dan Dia menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang dekat.” – Al Fath: 27 –
Perjanjian tersebut pun berjalan lancar, sesuai janji kaum Quraisy, Rasulullah SAW dan para sahabat pun dapat melakukan umrah ke Baitullah dengan lancar pada Maret 629 M (Zulkaidah 7 Hijriah). Pada tanggal tersebut merupakan pertama kalinya umrah dilakukan oleh kaum Muslimin.
Baca juga: Sejarah Museum Gunung Merapi
Di mana ada pohon yang tinggi, selalu ada angin kencang. Begitu pun juga dengan Rasulullah SAW dan para sahabat, ketika berhasil memasuki pelataran Ka’bah selalu ada yang syirik. Ketika Rasulullah SAW beserta 2000 sahabatnya memasuki pelataran Ka’bah, kaum Quraisy mengejek mereka dengan berteriak, “kamu Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran.”
Namun, kegigihan Rasulullah tidak bisa dibantah, beliau tetap mengajak para sahabatnya untuk berkeliling tujuh putaran dengan bersabda,
“Marilah, kutunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf sambil berlari.”
Dengan adanya motivasi dari Rasulullah, para sahabat dan kaum Muslimin tetap kuat menjalani ibadah haji. Hingga kini, kaum Muslimin tetap menjalani ibadah Haji semampu mereka. Dengan penuh perjuangan dan kegigihan untuk melaksanakan ibadah haji.
Itulah sejarah singkat mengenai haji yang perlu kita ketahui sebagai wawasan kita dan membuka khasanah yang belum kita ketahui sebelumnya.