Mojokerto menyimpan misteri dalam candi-candi peninggalan bersejarah dan diperkiraan peninggalan Kerajaan Majapahit. Siapa yang tidak kenal dengan kota Mojokerto. Kota yang berada di sebelah barat daya kota Surabaya ini memang cukup dikenal oleh masyarakat indonesia sebagai tempat dengan camilan khas onde-onde dan banyaknya situs peninggalan kerajaan Majapahit. Berikut Candi-Candi di Mojokerto :
1. Candi Tikus
Candi Tikus adalah sebuah situs peninggalan zaman kuno, yang terletak di kompleks Trowulan, sejauh 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus awalnya terkubur didalam tanah dan ditemukan kembali oleh para pakar pada tahun 1914. Penggalian dari situs Candi Tikus yang dilakukan para pakar sejarah berdasarkan laporan dari bupati Mojokerto yaitu R.A.A. Kromojoyo Adinegoro.
Karena ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Nama ‘Tikus’ merupakan pemberian dari masyarakat setempat. Konon, pada saat candi ini ditemukan, tempat candi tersebut merupakan sarang tikus. Karena adanya miniatur dari sebuah menara para peneliti dapat memperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M. Bentuk dari Candi Tikus yang sangat mirip dengan bentuk sebuah petirtaan mengundang banyak perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi di Indonesia mengenai fungsi sebenarnya dari candi Tikus.
Sebagian para pakar sejarah berpendapat bahwa bangunan candi Budha di Indonesia ini mempunyai fungsi sebagai sebuah petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian lagi para pakar sejarah ada yang berpendapat bahwa bangunan candi tersebut mempunyai fungsi sebagai tempat untuk penampungan dan penyaluran air bagi keperluan penduduk Trowulan. Namun, menara Candi Tikus yang berbentuk seperti meru menimbulkan dugaan bagi para pakar sejarah bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
2. Candi Brahu
Sejarah Candi Brahu merupakan Candi di Mojokerto yang terletak di dalam sebuah kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Kerajaan Majapahit. Candi ini terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, atau sejauh 2 kilometer ke arah utara dari jalan raya Mojokerto—Jombang. Nama candi ‘brahu’, diduga oleh para pakar berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama Candi Brahu didapat dari dalam Prasasti Alasantan yang didalam prasasti disebut bangunan suci.
Prasasti Alasantan ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Candi Brahu dibangun dari batu bata merah, yang dibuat menghadap ke arah barat dan berukuran panjang mencapai 22,5 m, dengan lebar mencapai 18 m, dan berketinggian 20 meter. Candi Brahu sendiri dibangun dengan gaya dan merupakan candi peninggalan Budha. Diperkirakan para pakar, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat antara para pakar mengenai hal ini. Dalam sebuah prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut berfungsi sebagai tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja.
3. Candi Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau Sejarah Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura/candi peninggalan Kuno dari Kerajaan Majapahit yang terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Nama dari Candi Bajangratu sendiri pertama kali disebut dalam buku Oudheidkunding Verslag (OV) yang berbahasa Belanda tahun 1915.
Arkeolog Sri Soeyatmi Satari berpendapat bahwa nama dari Candi Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena arti kata ‘bajang’ berarti kerdil menurut artian bahasa Jawa. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan raja ketika dirinya masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat pada diri Raja Jayanegara. Mengenai fungsi candi ini, diperkirakan oleh para pakar bahwa Candi Bajangratu dibuat untuk menghormati Raja Jayanegara.
Dasar dari pendapat ini adalah ditemukannya sebuah relief Sri Tanjung di bawah bagian kaki gapura yang menggambarkan tentang cerita peruwatan. Relief yang memuat tentang cerita peruwatan ditemukan di Candi Surawana. Candi Surawana sendiri diduga didirikan berhubungan tentang wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7). Candi Bajang Ratu diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan merupakan sebuah gapura terbesar pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit.
4. Candi Wringin Lawang
Candi di Mojokerto selanjutnya adalah candi wringin lawang. Candi atau Gapura Wringin Lawang adalah sebuah gapura atau candi peninggalan kerajaan Majapahit abad ke-14 yang terletak di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Gapura ini terletak tak jauh dari jalan utama di Jatipasar.
Wringin Lawang berarti ‘Pintu Beringin’ yang merupakan artian dalam bahasa Jawa. Gapura Wringin Lawang dibangun dari bahan batu bata merah dengan luas dasar mencapai 13 x 11 meter dan tinggi mencapai 15,5 meter. Diperkirakan oleh para pakar dibangun pada abad ke-14. Gaya arsitektur Candi Wringin Lawang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit dan kini banyak ditemukan atau dipergunakan dalam arsitektur Bali.
5. Situs Klinterejo
Petilasan Tribuana Tungga Dewi yang oleh masyarakat Mojokerto sekitar disebut sebagai watu ombo, karena di situs itu terdapat sebuah peninggalan bersejarah berupa tempat tidur besar berbahan batu yang merupakan milik Tribuana Tunggal Devi. Makanya oleh masyarakat Mojokerto sekitar disebut watu ombo. Disamping ranjang terbuat dari batu terdapat pula sebuah batu besar berada ditengah kompleks sebagai sumber air. belum diketahui dari mana asalnya sumber air di tengah batu yang menjulang tinggi yang bisa dipakai buat minum. Dulu waktu renovasi komplek petilasan Tribuana Tunggal Devi oleh masyarakat Mojokerto batu sumber air pernah dipindahkan.
Memindahkan Batu tersebut membutuhkan puluhan orang dan hal itu tidak mudah, orang-orang Mojokerto memerlukan waktu seharian. Dan lebih anehnya lagi besok paginya batu tersebut kembali ke tempat semula. Situs Klinterejo terletak agak jauh dari situs lainnya di sebelah utara Trowulan dan sudah masuk wilayah Kecamatan Sooko. Pada situs Klinterejo yang nampak dari situs ini sekarang adalah sebidang tanah di tengah sawah yang di kelilingi sebuah tembok buatan baru. Di dalam situs ini bisa kita dapati bekas dari kaki candi yang dibuat dari batu andesit yang berbentuk segi empat dengan panjang sisinya mencapai ± 5,60 meter.
Di atas situs ini bisa kita dapati sebuah Yoni yang amat besar. Tingginya mencapai 1,22 meter, dengan panjangnya mencapai 1,83 meter dan lebarnya 1,91 meter. Dan Bagian ceratnya terdapat sebuah pahatan kepala naga. Yoni ini merupakan sebuah situs peninggalan purbakala yang sangat penting, karena disamping ukuran Yoni yang sangat besar juga karena terdapat sebuah pahatan angka tahun 1294 caka. Dan angka tahun ini sama dengan tahun meninggalnya Bhre Kahuripan. Oleh karena itu para pakar sejarah berpendapat bahwa kompleks situs Klinterejo itu bisa dikatakan sebagai candi pemakaman dari Bhre Kahuripan atau Ratu Tribuwana Tunggadewi ialah ibunda dari Raja Hayam Wuruk.
6. Candi Minak Jinggo
Situs Candi Minak Jinggo adalah sebutan yang diberikan masyarakat setempat, situs ini terletak terletak di Desa Ungah-unggahan, Trowulan, sebelah Timurnya kolam Segaran, situs Candi Minak Jinggo saat ini hanya tinggal merupakan reruntuhan sebuah candi yang terbuat dari bahan batu andesit, yaitu sebuah bahan bangunan candi yang tidak biasanya dipergunakan pada proses pembuatan candi-Candi di Mojokerto pada zaman dahulu, yang sebagian besar candi-candi kawasan Trowulan lebih menggunakan bahan dasar batu bata merah.
Dari lokasi reruntuhan candi Minak Jinggo telah ditemukan oleh para pakar sebuah arca Garudha, namun oleh masyarakat setempat dan berita-berita tradisi archa Garudha disebutk sebagai arca Menak-Jinggo. Dilihat dari motif dan model ragam hias pada relief-relief yang masih tersisa dalam candi ini, dapat kita lihat dengan jelas bahwa candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Majapahit.
7. Candi Gentong
Candi Gentong adalah sebuah situs peninggalan zaman kuno, yang terletak di Dusun Jambumente Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan dari Candi Gentong yaitu berupa kaki candi berbentuk bujur sangkar berukuran mencapai 23.5 x 23.5 meter sedangkan tinggi dari candi ini mecncapai 2.45 m dengan pintu masuk candi menghadap ke barat. Pada saat dilakukan penggalian oleh para pakar terhadap Candi Gentong banyak ditemukan artefak-artefak berupa pecahan keramik yang berasal dari masa dinasti Yuan dan Ming, fragmen tembikar, mata uang cina, emas, stupika (Benda berbentuk seperti Stupa) dan archa budha di dalam Candi ini.
Candi Gentong dibangun pada masa pemerintah Prabu Hayam Wuruk untuk kegiatan upacara negara yaitu Sraddha, untuk memperingati wafatnya Ratu Tribuwana Wijaya Tungga Dewi yang tidak lain adalah ibunda Prabu Hayam Wuruk. Tujuan dari upacara Sraddha adalah untuk memohon kesejahteraan pemerintah. Candi Gentong adalah bukti besarnya toleransi umat beragama pada masa Kerajaan Majapahit, terbukti dari sebuah fakta yang ditemukan para pakar bahwa agama Hindhu dan Budha dapat bersanding dan mendapatkan pengakuan pemerintah Kerajaan Majapahit.
8. Candi Kedaton
Candi di Mojokerto selanjutnya adalah candi kedaton. Situs Kedaton Trowulan adalah sebuah kompleks bangunan kuno yang terletak di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Trowulan, kota Mojokerto. Candi Kedaton dibuat dari susunan batu bata merah merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit .
Di dalam Situs Kedaton ini terdapat sebuah Candi Kedaton, Sumur Upas dan sisa-sisa kompleks bangunan perumahan peninggalan zaman Kerajaan Majapahit yang diduga berasal dari abad ke-13. Candi Kedaton, yang terletak di sisi dari kirinya Situs Kedaton, pada bagian bawah dari bangunan candi Kedaton mempunyai bentuk sebuah persegi datar yang dibuat dari susunan batu bata merah setinggi hampir mencapai 2 m, tanpa bagian atap.
Lokasi Situs Kedaton ini tidak begitu jauh dari Pendopo Agung Trowulan. sebuah galian purbakala di Situs Kedaton yang dilakukan para pakar diduga merupakan sisa dari permukiman penduduk yang hidup pada zaman Kerajaan Majapahit. Jika pun penemuan itu sebuah permukiman, entah untuk apa fungsi dari area ini yang bentuknya lebih menyerupai sebuah benteng atau loron.