Insiden Hotel Yamato merupakan insiden perobekan bendera Belanda yang berwarna Merah-Putih-Biru menjadi bendera Indonesia atau Merah-Putih. Dampak Insiden Hotel Yamato berujung pada pertempuran besar-besaran yang terjadi di Surabaya. Baca juga dampak Perang Bubat, dampak Tragedi Trisakti, dampak Pertempuran Ambarawa, dan dampak Peristiwa Malari.
Kedatangan Tentara Sekutu yang Ditumpangi Belanda
Komite Kontak Sosial adalah organisasi yang disusun Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran. Organisasi ini mendapat bantuan penuh dari Jepang. Komite ini disponsori pembentukannya oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Organisasi ini berlindung di balik Intercross dan melakukan kegiatan politik. Mereka berusah mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat yang sudah mereka duduki, yang salah satunya adalah Hotel Yamato.
Opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang ke Surabaya (Gunungsari) bersama dengan rombongan Intercross dari Jakarta pada 18 September 1945. Rombongan tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditepatkan di Hotel Yamato. Sementara itu, rombongan Intercross di Gedung Setan. Hal ini dilakukan tanpa seizing Pemerintah Karesidenan Surabaya. Sejak saat itulah maka Hotel Yamato menjadi markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).
Pengibaran Bendera Belanda di Hotel Yamato
Segolongan orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada pukul 21.00 tanggal 19 September 1945 mengibarkan bendera Belanda. Hal tersebut dilakukan tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Daerah Surabaya. Bendera Belanda dikibarkan di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Keesokan harinya, para pemuda Surabaya melihatnya dan marah karena hal ini dianggap sebagai bentuk penghinaan Belanda akan kedaulatan Indonesia. Belanda hendak mengembalikan kekuasaannya di Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Indonesi (Merah-Putih) yang sedang berlangsung di Surabaya.
Keberadaan bendera Belanda tersebut pun kabarnya cepat tersebar di seluruh kota Surabaya. Jalan Tunjungan, tempat dimana Hotel Yamato berada, dibanjiri oleh massa yang marah. Massa terus membanjiri hingga memenuhi halaman Hotel Yamato serta halaman gedung yang berdampingan dipenuhi masa yang diwarnai amarah. Beberapa Tentara Jepang berjaga-jaga di belakang untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut. Baca juga museum di Surabaya, sejarah Monumen Tugu Pahlawan, dan sejarah Museum Kapal Selam Surabaya.
Dampak Insiden Hotel Yamato
Terdapat beberapa dampak Insiden Hotel Yamato, diantaranya adalah:
- Tewasnya Mr. Ploegman dan Sidik
Residen Sudirman, seorang pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui Dai Nippon Surabaya Syu yang sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang ke lokasi dan melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Hariyono dan Sidik. Ia berunding sebagai perwakilan RI dan berunding dengan Mr. Ploegman serta kawan-kawannya agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Ploegman menolak hal tersebut dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan kedua belah pihak pun memanas hingga Ploegman mengeluarkan pistol. Perkelahian pun tidak dapat dihindarkan dalam perundingan. Ploegman pun tewas dicekik oleh Sidik, walaupun akhirya Sidik pun tewas oleh Tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman. Sudirman dan Hariyono akhirnya melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
- Perobekan warna Biru dari bendera Belanda dan berkibarnya Sang Saka Merah Putih
Para pemuda yang mengetahui gagalnya perundingan tersebut langsung merangsek masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda, sehingga Hariyono dan Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Mereka bersama dengan Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda dan merobek bagian birunya. Mereka mengerek bendera Merah-Putih kembali ke puncak tiang kembali. Hal ini pun disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik ‘Merdeka’ berulang kali. Namun, Hariyono terserempet peluru di kepalnya saat hendak turun. Ia pun tumbang meski tetap dapat diselamatkan.
- Kematian Jenderal Mallaby
Pertempuran pertama meleteus pada tanggal 27 Oktober 1945 yakni antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil kemudian berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik di militer Indonesia dan dan Inggris maupun sipil di pihak Indonesia. Jenderal D. C. Hawthorn pun meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata. Kematian Jenderal Mallaby pun menyebabkan gagalnya gencatan senjata. Hal ini menyebab dikeluarkannya Ultimatum 10 November oleh pihak Inggris dan terjadinya Pertempuran 10 November.
Mallaby merupakan pemimpin yang memasuki Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 untuk melucuti tentara Jepang sesuai dengan isi Perjanjian Yalta. Hal ini mendapat perlawanan dari pasukan Indonesia karena AFNEI meminta mereka menyerahkan senjata-senjata yang berhasil dirampas pihak Indonesia terlebih dahulu dari Jepang. Hal ini menimbulkan beberapa konflik bersenjata antara kedua pasukan. Salah satunya yang terjadi pada 30 Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah, Surabaya. Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby dicegat oleh pasukan dari pihak Indonesia sewaktu hendak melintasi jembatan.
Pencegatan ini menyebabkan terjadi baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Mallaby. Mallaby tewas oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya. Mobil Mallaby pun akhirnya terbakar akibat ledakan sebuah granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Namun, Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Labour Party Inggris, menyatakan keraguannya bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
- Pertempuran 10 November
Kematian Mallaby menyebabkan penggantinya, Mayor Jenderal E. C. Mansergh, mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya. Ultimatum tersebut menyatakan bahwa pada tanggal 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. Hal tersebut memicu meletusnya Pertempuran 10 November 1945, karena pihak Indonesia tidak memperdulikan ultimatum ini.
Pertempuran 10 November adalah pertempuran puncak antara tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Raya dan India Britania. Pertempuran tersebut adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pertempuran tersebut juga menjadi yang terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan terhadap penjajahan.
Pasca pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. Bahkan, tanggal 10 November pun diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia. Baca juga sejarah Peristiwa 10 November, penyebab Pertempuran Surabaya, dan sejarah Kota Surabaya.
Inilah 4 dampak Insiden Hotel Yamato (salah satu bangunan bersejarah di Surabaya) yang menunjukkan tingginya keinginan rakyat Indonesia untuk tetap berdaulat di negaranya sendiri. Semoga bermanfaat.