Veerenigde Oost-Indische Compagnie atau biasa disingkat dengan VOC adalah suatu perusahaan dagang milik Kerajaan Belanda dengan fokus perdagangan di rempah-rempah mengingat harga rempah sangatlah mahal di masa itu. Secara bahasa VOC, berarti kongsi dagang hindia timur. Masa penjajahan Belanda di Indonesia cukup lama. Mereka melakukan segalanya demi mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia. Perlakuan mereka pada penduduk Indonesia sangat semena-mena.
Tak heran jika banyak pahlawan dari tanah air melakukan perlawanan. Demi melancarkan semua kepentingannya dan demi menahan perlawanan kaum pribumi, VOC melakukan banyak strategi di berbagai bidang. Salah satunya di bidang politik. Tapi sebelum masuk ke kebijakan VOC, akan lebih baik membaca sejarah VOC Belanda. Berikut akan kita bahas kebijakan VOC di bidang politik.
1. Mengangkat Gubernur Jenderal
Pengangkatan Gubernur Jenderal memudahkan tujuan VOC di Indonesia. Bisa dibilang, Gubernur Jenderal VOC merupakan perpanjangan tangan atau perwakilan Kerajaan Belanda di Indonesia. Jika dianalogikan, bisa dibilang Gubernur Jenderal mirip seperti presiden di Indonesia. Tiap Gubernur Jenderal memiliki kebijakan khas tersendiri. Berikut adalah daftar Gubernur Jenderal VOC beserta kebijakannya.
- Pieter Both yang menjabat mulai 1609 hingga 1614. Kebijakannya disebut Pelayaran Hongi yang fokus di bidang maritim dan ekonomi. Pelayaran Hongi adalah upaya VOC melakukan monopoli dagang dengan cara mewajibkan rakyat untuk menjual semua rempah pada VOC. Pelayaran Hongi juga melakukan kontrol. Jika jumlah rempah terlalu banyak maka akan dimusnahkan agar harga jualnya tetap mahal. Hak ini disebut dengan Hak Ekstirpasi. Mereka melakukan patroli pelayaran di daerah Maluku karena waktu itu pusat VOC berada di sana. Mereka juga mendirikan banyak pelabuhan untuk memperkiat pelayarannya.
- Jan Pieterzoon Coen yang menjabat mulai 1619 hingga 1623 dan berlanjut pada 1627 hingga 1629. Kebijakan bersifat politiknya yaitu memindahkan pusat VOC ke Jayakarta. Kebijakan bersifat ekonomi yaitu merealisasikan monopoli perdagangan lada.
- Herman Wilhelm Daendels yang menjabat pada 1808 hingga 1811. Waktu itu di Eropa sedang berkecamuk Perang Napoleon sehingga Daendels perlu mempertahankan Jawa dari kemungkinan serangan musuh. Kebijakannya yang terkenal yaitu memberlakukan sistem kerja paksa bernama Rodi yang fokus bergerak di bidang infrastrukur dan pertahanan militer. Kerja paksa ini membuat jalan raya dari Anyer hingga Panarukan. Sekarang kita mengenalnya sebagai jalur pantura.
2. Mencampuri Urusan Para Bangsawan
Untuk menanamkan pengaruhnya, VOC selalu mencampuri urusan para bangsawan. Sudah biasa jika VOC ikut-ikutan permasalahan bangsawan. Mereka aktif dalam menanamkan pengaruh dan janji dukungan, aktif dalam membuat perjanjian dengan para raja, keluar masuk istana dan politik devide et impera. Perjanjian dengan VOC memang sekilas terlihat menguntungkan di awal waktu atau secara jangka pendek tapi sangat merugikan ketika jangka panjang. Lama-lama para bangsawan sadar bahwa VOC memanfaatkan kepentingan sesaat para bangsawan sebelumnya membunuhnya dengan perjanjian yang sangat merugikan kerajaan. Bahkan dalam beberapa kasus, dominasi raja malah berkurang karena dominasi VOC terlalu kuat. Sehingga sejatinya VOClah yang berkuasa atas lingkungan kerajaan tersebut.
3. Politik Devide et Impera
Politik devide et impera adalah politik VOC untuk mengendalikan tanah jajahan. Secara bahasa berarti pisah dan taklukkan tapi kita mengenalnya dengan politik adu domba. Satu pihak yang bertikai didukung oleh VOC untuk melawan bangsawan yang lain. Sehingga pada praktiknya pribumi melawan pribumi. Politik devide et impera ini cukup efektif untuk mencegah bersatunya dan kebangkitan pribumi yang berpotensi mengancam pendudukan VOC. Sehingga dalam praktiknya pribumi melawan pribumi demi kepentingan dan ambisi pribadi. Jika pribumi bisa bersatu, maka akan terjadi perang besar seperti Perang Jawa di era Pangeran Diponegoro yang sangat merugikan VOC dan kas keuangan Belanda. Contoh korban politik devide et impera yaitu kisah Sultan Haji, kisah Perang Paderi dan kisah perjuangan Pangeran Antasari. Begitu bangsawan yang didukung VOC menang, VOC akan memperlakukan bangsawan tersebut seperti bonekanya.
4. Memberlakukan Hak Oktroi
Hak Oktroi adalah hak istimewa yang diberikan oleh Belanda kepada VOC. Hak ini sangat menguntungkan VOC di banyak bidang. Di bidang ekonomi dan finansial, VOC diizinkan melakukan monopoli rempah, membuat dan mengedarkan uang sendiri. Di bidang militer, VOC boleh mendirikan benteng dan memiliki tentara sendiri. Tentara-tentara inilah yang digunakan untuk menghadapi perlawanan pribumi. Di bidang politik, VOC boleh membuat perjanjian dengan para raja, mengangkat dan menurunkan penguasa setempat. Di bidang tenaga kerja, VOC bisa merekrut dan memecat pegawai.
5. Pemindahan Markas Besar ke Batavia
Kebijakan pemindahan markas ke Batavia ini terjadi ketika Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Markas awal VOC berada di Maluku. Dia merasa Maluku terlalu kecil sebagai markas besar dan kurang bisa memenuhi semua kebutuhan di tanah jajahan. Kemudian dia tertarik pada Banten. Tapi setelah mempertimbangkan beberapa hal, Banten tidak lagi menarik karena pertentangan dengan Inggris, Cina dan orang Banten sendiri. Coen tetap menginginkam agar Jawa sebagai kantor pusat karena lebih mudah untuk mengurusi banyak hal. Akhirnya Coen memilih Jayakarta sebagai markas besarnya. Di sana juga ada banyak loji dan pergudangan. Tentu saja pangeran di sana menolak kehadiran Belanda. Hingga akhirnya meletuslah pertempuran antara Belanda melawan sang pamgeran. Pangeran pun kalah dan VOC berhasil mengusor sang pangeran. Diubahlah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Demikian informasi tentang kebijakan VOC di bidang politik. Kebijakan VOC di bidang politik perlu diketahui karena kebijakan-kebijakan inilah yang menindas, mengeksploitasi, memperbudak dan membunuh nenek moyang kita. Beginilah akibat dari kolonialisme dan imperialisme. Tak heran jika Bung Karno membenci paham ini. Penindasan ini baru berhenti ketika para kaum humanis Belanda menuntut sehingga diberlakukanlah politik etis. Politik etis ini terjadi masa Hindia Belanda.
Bubarnya VOC tidak lantas mengakhiri penderitaan rakyat Indonesia. Kini namanya berubah menjadi Hindia Belanda dan masih menanggung akibat penjajahan. Contohnya era Van den Bosch dan dampak tanam paksa. Cukup banyak daerah yang terkena dampak Tanam Paksa.