Sejarah Gunung lawu sedari dulu terkenal karena nuansa mistisnya yang kental. Gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini banyak mengundang orang untuk mengunjunginya. Terlepas dari mitos, misteri dan legenda yang menyelimutinya, gunung lawu selalu membawa kesan yang sulit dilupakan.
Walaupun sering terjadi keanehan – keanehan dan banyak orang yang telah menjadi korban keganasannya, tak membuat orang takut untuk menaklukkannya. Gunung Lawu yang eksotis selalu menarik orang ramai untuk terus datang berziarah dan menikmati aroma mistisnya. Biasanya pada tanggal satu bulan suro banyak orang beramai – ramai datang ke tempat ini untuk berziarah.
Baca juga:
Sejarah Gunung Lawu
Cerita ini dimulai dari Raja Brawijaya V yang memeluk agama Budha. Raja ini pernah menyatakan Islam saat bertemu dengan Raja Campa dan Syech Maulana Malik Ibrahim. Raja Campa membawa serta putrinya yang cantik bernama Dara Petak. Saat itu Raja Brawijaya bersedia masuk islam dan menjadi mualaf jika diizinkan menikahi Dara Petak yang saat itu sudah beragama Islam dan memakai kerudung. (Baca juga: Sejarah Olahraga di Indonesia)
Namun rupanya Prabu Brawijaya yang masuk Islam hanya semata – mata ingin menikahi putri tersebut membuat Syech Maulana Malik Ibrahim tidak suka. Ulama yang waktu itu merupakan salah satu ulama besar dari Turki tersebut menasehatinya dan melarangnya masuk Islam karena terpaksa demi bisa menikahi putri tersebut. Menurut ulama besar tersebut, seharusnya Islam dapat diterima dengan hati yang iklash dan tulus bukan karena ada maksud tertentu. Namun nasehat tersebut rupanya tidak didengarkan Raja. Sehingga akhirnya ulama tersebut pun pamit dan meninggalkan Raja tanpa membawa hasil. (Baca Juga : Sejarah Kerajaan Mataram Kuno)
Akhirnya prabu Brawijaya V memang berhasil menikahi Dara Petak dan masuk Islam. Namun ia masih menggenggam Budha dalam hatinya. Setelah menikah, para anggota kerajaan yang sudah beragama Islam berupaya membujuk raja agar masuk Islam yang sebenar – benarnya. Bahkan ratunya yang bernama Dara Jingga dan selir – selirnya yang lain pun ikut membujuknya namun selalu gagal.
Baca juga:
Prabu Brawijaya memiliki seorang penasehat spiritual yang bernama Ki Sabdo Palon. Dalam mitologi Jawa, nama Ki Sabdo Palon menduduki posisi yang sangat penting seperti halnya Raja Brawijaya itu sendiri. Menurut cerita Ki Sabdo Palon memiliki ilmu tinggi dan sangat dekat dengan Sang Raja. Karena kesaktiannya inilah ia berhasil menguasai seluruh makhluk yang ada di pulau Jawa. Dalam kesusastraan Jawa, Ki Sabdo Palon merupakan sosok yang sama dengan tokoh wayang yang bernama Semar. Nama lain Semar adalah Bagawan Manik Maya yang sudah mendiami tanah Jawa ribuan tahun yang lalu. (Baca Juga : Sejarah Kerajaan Samudera Pasai)
Pada suatu hari Raja Brawijaya sangat sedih hatinya karena memiliki pemahaman yang berbeda dengan keluarganya. Suatu malam, raja tersebut bermeditasi memohon petunjuk pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam semedinya tersebut ia mendapatkan petunjuk jika kerajaan Majapahit sudah saatnya memudar kejayaannya. Kini wahyu Kedaton akan di pindahkan ke kerajaan Demak. Raja Demak yang bernama Raden Fatah sebenarnya adalah anak Prabu Brawijaya dan Dara Petak. Namun pemahaman agama yang berbeda di antara mereka membuat hubungan mereka menjadi kurang baik. Raden Fatah beragama Islam, sementara Prabu Brawijya tetap beragama Budha. (Baca juga: Sejarah Jembatan Ampera)
Kesedihan itu membuatnya memutuskan keluar dari istana bersama abdinya yang setia, Ki Sabdo Palon. Ia melanglang praja menuju ke puncak gunung lawu. Sebelum sampai puncaknya, kedua orang ini bertemu dengan dua orang kepala dusun yang bernama Dipa Manggala dan Wangsa Manggala. Mereka mengikuti Raja Brawijaya bersama-sama karena tidak tega melihat rajanya sendirian dalam kesedihannya. Mereka terus berjalan menuju ke puncak Hargo Dalem. (Baca Juga : Sejarah Kerajaan Tarumanegara)
Di tengah perjalanan Sang Raja berkata pada abdinya yang setia bahwa sudah saatnya ia mundur dari permasalahan dunia ini. Sang Raja mengangkat Dipa Menggala menjadi penguasa Gunung Lawu karena kesetiannya. Ia diberi kekuasaan untuk membawahi semua makluk gaib yang ada di barat sampai gunung Merbabu, dari timur sampai ke Gunung Wilis, dari selatan sampai ke Pantai Selatan dan dari Utara sampai ke Pantai Utara. Abdi ini diberi gelar Sunan Gunung Lawu. Sementara abdinya yang lain yang benama Wangsa Manggala diangkat sebagai patihnya dan diberi gelar Kiai Jalak. (Baca juga: Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah)
Sang Prabu bertitah kepada orang-orang setianya, “Wahai para abdiku yang setia, sudah saatnya aku harus mundur. Aku harus moksa, dan meninggalkan dunia ramai ini.”
Bersamaan titah Sang Prabu, orang-orang setia itu pun mendapatkan gelar terhormat dari Sang Prabu di antaranya:
- Dipa Menggala, menjadi penguasa Gunung Lawu dan membawahi semua makhluk gaib dari wilayah Barat hingga Gunung Merbabu, dari wilayah Timur hingga Gunung Wilis, dari Selatan hingga Pantai Selatan, dan dari Utara hingga Pantai Utara. Dengan kata lain, Dipa Menggala mendapat julukan sebagai ‘Sunan Gunung Lawu’.
- Wangsa Menggala, menjadi patih Sunan Gunung Lawu dengan julukan ‘Kyai Jalak’.
Dengan keputusan yang menyedihkan tersebut, Sabdapalon tak kuasa menahan kesedihan Sang Prabu, ia pamit untuk berpisah dengan Sang Prabu dan naik ke Harga Dumiling.
Ki Sabdo Palon yang sangat bersedih hati berkata pada Sang Raja jika ia pun ingin pamit meninggalkan dunia ini. Ia ingin pergi moksa ke puncak Hargo Dumiling dan meninggalkan prabu di sini. Namun Ki Sabdo Palon bersumpah akan kembali lagi lima ratus tahun kemudian. Sabdo Palon menjadi pelindung dan penjaga raja – raja tanah Jawa dan bisa menitis pada seseorang.
Baca juga:
Setelah itu Sang Prabu Brawijaya pun Moksa di puncak gunung Lawu yang bernama Hargo Dalem. Sekarang hanya tinggal dua orang penguasa Gunung Lawu, Sunan Gunung Lawu dan Ki Jalak. Mereka tetap melaksanakan tugasnya menjaga Gunung Lawu. Ilmu mereka yang tinggi mampu mengubah Sunan Gunung Lawu menjadi makluk gaib dan mengubah Kiai Jalak menjadi seekor burung jalak yang sesekali muncul. Burung jalak ini berwarna gading. Banyak yang meyakini jika para pengunjung menjumpai burung ini, maka sebenarnya ia berniat baik ingin memberi petunjuk jalan agar tak tersesat. Namun jika para pendaki memiliki perangai yang buruk maka Kiai Jyang tak menyukainya akan membuatnya bernasib buruk. (Baca Juga : Sejarah Kerajaan Sriwijaya)
Dengan demikian ketiga puncak