Letak kerajaan Mataram Kuno ada di sekitar Yogyakarta yang merupakan Jawa bagian tengah. Daerah ini sangat subur karena tanahnya dikelilingi oleh gunung berapi dan aliran sungai yang tidak tersumbat. Sejarah kerajaan Mataram Kuno berhubungan erat dengan sejarah kerajaan besar lain di bumi nusantara. Seperti halnya sejarah kerajaan sriwijaya yang menjadi cikal bakal Mataram Kuno.
Posisi persisnya, kerajaan Mataram Kuno sempat mengalami beberapa kali pergantian istana yang disebabkan oleh bencana alam. Namun, bagaimana pun juga di mata orang-orang awam, sejarah Mataram Kuno sering rancu dengan sejarah Mataram Islam. Padahal kedua kerajaan ini terpaut ratusan tahun dengan banyak perbedaan.
Mataram Kuno sama dengan kerajaan Medang. Pusat pemerintahannya ada di Jawa Tengah lalu pindah ke Jawa Timur. Agama yang dianut dari Hindu Syiwa menjadi Buddha Mahayana. Sistem pemerintahannya di politik istana sedikit berbeda dengan yang diterapkan pendahulunya dalam sejarah kerajaan Majapahit. Mataram Kuno juga menjadi kerajaan agraris yang meneruskan tahta kerajaan Kalingga atau Ho-Ling.
Awal Berdiri
Rajya Medang I Bhumi Mataram menjadi ungkapan petunjuk bagi kita bahwa dahulu pernah ada suatu kerajaan di bumi Mataram. Mataram sendiri diyakini sebagai nama daerah penting yang dijadikan pusat kerajaan. Alasan inilah yang kiranya membuat kerajaan Medang lebih dikenal sebagai kerajaan Mataram. Untuk lebih mengenal spesifiknya, Mataram yang dimaksud adalah Mataram Hindu atau Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno ini berdiri di atas sebuah prasasti tertulis berangka tahun 907 yang dikenal masyarakat dengan prasasti Mantyasih. Prasasti ini mengatasnamakan Dyah Balitung dan menjelaskan secara eksplisit bahwa penguasa pertama kerajaan Medang ini adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Menyandang gelar ratu bukan berarti penguasa pertama kerajaan Mataram merupakan seorang perempuan. Ratu, Rakai, dan Bhre adalah istilah asli nusantara untuk menyebut seorang penguasa. Jadi Sanjaya memiliki jenis kelamin laki-laki namun memakai gelar ratu karena pada saat itu tidak ada perbedaan yang berarti atas tafsir ratu dan raja.
Ibu Sanjaya bernama Sannaha. Sannaha ini memiliki seorang saudara bernama Sanna yang menguasai sebuah kerajaan tanpa nama. Tepat di tahun 732 Masehi, Ratu Sanjaya mengeluarkan sebuah prasasti yang menerangkan posisinya sebagai seorang raja. Ia memiliki seorang pendahulu bernama Sanna. Beliau gagal memerintah kerajaan tak bernama hingga kondisi di dalam kerajaan kacau, lalu Sanjaya datang untuk membereskan kekacauan.
Artikel Terkait :
Diketahui bahwa ternyata Sanna memiliki beberapa nama. Antara lain Senna dan Bratasenawa. Proses turunnya ia dari tahta kerajaan Galuh setelah memerintah sejak 706 – 716 Masehi dipicu oleh sebuah pemberontakan yang gagal diredam. Pemberontakan tersebut memang berniat mengkudeta Raja Sanna. Pelaku di balik kudeta itu adalah Purbasora, paman dari Sanjaya.
Setelah diturunkan paksa oleh Purbasora, Raja Sanna merasa berhak menduduki tahtanya lagi. Ia pun berlari ke sahabatnya, Raja Sunda pertama bernama Tarusbawa. Sebenarnya Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Sunda masih memiliki ikatan batin yang lebih dari persahabatan biasa. Kedua kerajaan ini adalah bagian dari sejarah kerajaan Tarumanegara yang kemudian pecah menjadi dua bagian.
Selanjutnya, di kerajaan Galuh, Sanna beserta keluarganya diperlakukan dengan sangat baik. Setiap tingkah dari keluarga Sanna diperhatikan betul oleh Raja Tarusbawa hingga ia merasa sangat simpati dengan keponakan sahabatnya itu. Raja Tarusbawa pun memutuskan menikahkan putrinya dengan Sanjaya, anak Sannaha –adik kandung Sanna.
Setelah menikah dengan putri Raja Tarusbawa, otomatis Sanjaya lebih leluasa bermain politik antar kerajaan. Ia bermaksud membalaskan sakit hati keluarganya atas kudeta yang dilakukan keluarga Purbasora. Sanjaya menyampaikan maksudnya ini kepada mertuanya dengan tujuan mendapatkan restu sekaligus bantuan perang merebut kembali hak milik kerajaan.
Sanjaya memulai pembalasan dendamnya dengan naik menjadi raja di kerajaan Sunda terlebih dahulu. Ia memerintah di Sunda bukan atas nama besarnya langsung. Sanjaya hanya berusaha menjalankan pemerintahan di Sunda menggantikan mertuanya yang sudah berumur. Seharusnya tampuk kekuasaan jatuh ke tangan istrinya. Sayangnya sang istri kurang cakap dan lebih percaya pada kemampuan suaminya. Sehingga nantinya Sanjaya menggenggam kekuasaan 3 kerajaan sekaligus.
Baca juga :
Karena ia menjadi raja yang cakap di kerajaan Sunda yang termasuk wilayah Jawa Barat, Sanjaya ikut terlibat dalam sejarah kerajaan Kalingga. Ia menggantikan Ratu Sima yang terkenal super adil untuk menduduki tahta kerajaan Kalingga. Di abad ke-7 itu pulalah Sanjaya mengakhiri kekuasaannya di Jawa Barat dengan membagi wilayah kerajaan kepada kedua putranya.
Sanjaya kemudian pergi ke Mataram lagi sesuai dengan keinginan awalnya. Di sana ia mengambil alih kekuasaan dan menjadi raja di Mataram Kuno. Karena memulai segalanya lagi dari awal, sejarah lebih mengenal Sanjaya sebagai pendiri wangsa Sanjaya yang menguasai kerajaan Mataram Kuno.
Masa Kejayaan
- Wangsa Sanjaya
Kejayaan Mataram Kuno sudah tampak sejak awal. Semua ini berkat jiwa kepemimpinan Sanjaya yang memang layak menjadi raja. Sanjaya bukan sembarang raja yang hanya menginginkan kekuasaan semata. Sanjaya adalah seorang raja yang juga memahami isi dari kitab sucinya. Ia adalah seorang penganut Hindu Syiwa yang sangat taat.
Selama pemerintahan Sanjaya, penduduk Mataram Kuno menghasilkan komoditi pertanian berupa olahan padi yang digunakan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat di dalam maupun luar kerajaan. Sanjaya sendiri tida pernah menunggu disuruh para Brahmana untuk membangun pura-pura sebagai tempat suci peribadahan orang Hindu.
Meskipun sangat mendukung perkembangan agama Hindu, namun Sanjaya merupakan raja yang bijak. Beliau ini bercermin pada sejarah kerajaan Majapahit yang sukses menerapkan sejarah bhinneka tunggal ika sesuai yang tercantum di kitab Negarakertagama. Sanjaya menjembatani penduduk di Mataram Kuno yang ingin memeluk agama lain. Waktu itu, hanya ada 2 agama besar yang memiliki banyak pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hanya ada Hindu dan Buddha.
- Rakai Panangkaran
Sifat Rakai Panangkaran yang paling menonjol adalah pemberani. Ia telah melakukan banyak penaklukan terhadap raja-raja kecil di sekitar wilayah Mataram Kuno. Rakai Panangkaran menggantikan Ratu Sanjaya sebagai penguasa kerajaan Mataram Kuno. Di masa pemerintahannya, kaum Hindu bertempat tinggal di Mataram Kuno bagian utara. Sementara para pemeluk Buddha lebih nyaman menempati wilayah Jawa Tengah sebelah selatan.
Perbedaan tempat ini sengaja dilakukan agar kedua agama dapat hidup berdampingan, menjalankan ibadahnya masing-masing, dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama. Keimanan akan semakin kuat karena seringnya bergaul dengan orang seagama. Namun di luar urusan agama, setiap penduduk Mataram Kuno tetap menjalin hubungan dagang dan pekerjaan lain seperti biasanya.
Rakai Panangkaran merubah agamanya sendiri menjadi Buddha Mahayana. Sejak Rakai –sebutan Raja- Panangkaran beralih agama, ia mendirikan wangsa baru yang dinamai Syailendra. Dengan itu berarti ada wangsa kedua yang menguasai kerajaan Mataram Kuno.
Uniknya, para penganut Hindu dan Buddha di Mataram Kuno selalu hidup aman dan nyaman. Para penganut Hindu mendirikan candi peninggalan agama hindu seperti candi Dieng dan Gedong Songo. Di belahan Mataram Kuno bagian selatan juga membangun candi peninggalan buddha semacam Mendut, Prambanan dan Borobudur yang pernah masuk ke dalam 7 keajaiban dunia.
Baca juga :
Memang pada perkembangannya, kedua wangsa dan agama yang berbeda tersebut sempat berkelahi. Permasalahannya ada pada hak meneruskan kekuasaan raja. Namun konflik klasik ini dapat diatasi dengan keberanian Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu menikahi Pramodhawardhani, putri Samarattungga yang memulai pembangunan Borobudur dari Dinasti Syailendra. Akhirnya otomatis pula kedua wangsa ini sama-sama kembali duduk di istana kerajaan. Kedua agama yang sempat tak akur akhirnya kembali berbaikan.
Mataram Kuno terus berkembang maju hingga kekuasaannya jatuh ke tangan Dyah Balitung. Dyah Balitung bahkan mampu membalikkan keadaan yang semula tidak stabil menjadi lebih baik. Ialah raja Mataram Kuno yang kembali mempersatukan Jawa di bawah tundukan satu kerajaan. Kekuasaannya pun menyentuh hingga pulau Bali.
Masa Keruntuhan
Keruntuhan Mataram Kuno dipicu oleh perseteruan anggota keluarga. Semuanya bermula sejak Samarattungga meninggal dunia. Istrinya yang bernama Dewi Tara memiliki anak, Balaputeradewa. Balaputeradewa sebenarnya tidak terima atas kepemimpinana Rakai Pikatan sebagai Raja Mataram Kuno.
Balaputeradewa yang memang tidak berada di posisi bagus nekad menunjukkan sikap perlawanan kepada kepemimpinan Rakai Pikatan. Kontan saja Rakai Pikatan mengusir Balaputeradewa. Lelaki tersebut mencoba bertahan di dekat Candi Prambanan dengan mendirikan Candi Boko. Sayangnya pertahanan tersebut tidak dapat bertahan lama. Keadaan memaksanya melarikan diri ke luar pulau Jawa. Ia memilih pulau Sumatera sebagai tempat pelariannya. Pada waktunya nanti, Balaputeradewa malah menjadi raja di kerajaan Sriwijaya.
Lewat ketangguhan kerajaan Sriwijaya, Balaputeradewa mencoba membalaskan sakit hatinya dulu. Di masa pemerintahan sesudah Dyah Balitung, Mataram Kuno berkembang ke bawah. Serangan dari kerajaan Sriwijaya semakin memperparah keadaan yang sebenarnya sudah keteteran dengan adanya bencana alam yang menimpa kerajaan Mataram Kuno.
Mpu Daksa yang merasa keturunan asli Sanjaya mengkudeta Dyah Balitung. Selanjutnya Mataram Kuno semakin goyah dari dalam maupun luar. Peristiwa Mahapralaya yang memporak-porandakan istana Mataram Kuno memaksa Mpu Sindok yang saat itu berperan sebagai Rakryan I Hino memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Diperkirakan kota tepatnya adalah Jombang dan Madiun.
Setelah perpindahan pusat kerajaan itu, Sriwijaya semakin parah menginjak-injak kekuasaan Mataram Kuno. Melalui sekutunya di Jawa, Sriwijaya mengakhiri kekuasaan Mataram Kuno di tahun 1016 Masehi sebagaimana yang disebutkan prasasti Pucangan.