Hari Sumpah Pemuda berawal dari pembentukan organisasi kepemudaan Budi Utomo yang memberi inspirasi bagi banyak pemuda lain untuk turut bangkit dan berbuat bagi Indonesia. Sekitar tujuh tahun setelah berdirinya Budi Utomo, para pemuda mulai menunjukkan kebangkitan pergerakan walaupun masih sebatas kegiatan yang berlangsung dalam suasana kesukuan di daerah. Seorang pemuda bernama Satiman menjadi motor bagi pergerakan para pemuda dengan semangatnya yang berkobar. Satiman mempelopori wadah awal perhimpunan pemuda berupa organisasi Tri Koro Dharmo, perkumpulan para pelajar yang berdiri pada 7 Maret 1915. Anggotanya adalah para pelajar tanah air dari seluruh perguruan dan sekolah Pulau Jawa dan Madura.
Tri Koro Dharmo diartikan sebagai Tiga Tujuan Mulia yaitu Sakti, Bukti dan Bakti. Tujuan tersebut artinya menginginkan perubahan cara pandang para pemuda akan situasi yang terjadi di Indonesia. Keanggotaan Tri Koro Dharmo kemudian diperluas karena berbagai desakan. Setelah itu nama perkumpulan diganti menjadi Jong Java sehingga seluruh pelajar yang berasal dari Jawa, Bali, Madura dan Lombok bisa bergabung. Berbagai kongres diadakan setelah itu untuk menyebarkan pentingnya peran para pemuda ke berbagai kalangan, juga menyasar pemberantasan buta huruf agar para pemuda bisa melihat dunia luar dengan lebih bebas.
Perhimpunan Sebelum Tri Koro Dharmo
Dalam sejarah peristiwa sumpah pemuda sebenarnya sudah ada perkumpulan mahasiswa bernama Perhimpunan Indonesia yang dibentuk pada tahun 1908. Namun organisasi ini hanya bersifat sebatas perkumpulan mahasiswa di Belanda dan belum berperan aktif di Indonesia. Kondisi ini kemudian berubah sejak masuknya beberapa tokoh ke dalam Perhimpunan Indonesia, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 1913. Kelak juga menyusul nama – nama terkenal seperti Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang berasal dari Perhimpunan Indonesia.
Setelah para pelajar tersebut kembali ke Indonesia, mereka baru mulai berhimpun lagi dan melakukan pergerakan demi kemerdekaan Indonesia. Pergerakan tersebut dimulai karena mereka menyadari adanya tujuan bersama dan untuk mengurangi perpecahan yang diakibatkan oleh keragaman aneka suku bangsa dan agama di Indonesia. Pada akhirnya setelah berdirinya Jong Java, muncul berbagai organisasi pemuda lainnya seperti Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamiten Bond, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar – Pelajar Indonesia (PPPI) dan banyak lagi organisasi pemuda lainnya.
Kongres Pemuda I
Hari Sumpah Pemuda memasuki babak baru dalam sejarahnya dengan adanya inisiatif untuk menggabungkan semua perhimpunan pemuda ke dalam sebuah kegiatan musyawarah besar. Kongres Pemuda I diadakan pada 30 April hingga 2 Mei 1926 berupa rapat seluruh organisasi pemuda yang bertempat di Jakarta. M. Tabrani sebagai ketua kongres ini berusaha mencapai tujuan kongres yaitu untuk membentuk organisasi pemuda tunggal untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Beberapa tokoh pemuda menyampaikan gagasannya dalam kongres pertama ini antara lain Sumarto yang membicarakan gagasan mengenai persatuan Indonesia, Bahder Djohan dan Nona Adam berbicara tentang kedudukan wanita, Djaksodipoero tentang Rapak Lumuh, Paul Pinontoan tentang tugas agama dalam pergerakan nasional, dan pembahasan mengenai perkembangan bahasa serta kesusasteraan Indonesia di masa datang oleh pembicara Muhammad Yamin.
Beberapa keputusan yang dihasilkan saat penutupan Kongres Pemuda I antara lain untuk mengakui cita – cita persatuan dan mendorong penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang merupakan gagasan dari Moh. Yamin. Setelah kongres ini, dalam sejarah sumpah pemuda juga terbentuk organisasi baru pada tanggal 15 Agustus 1926 yang menjadi gabungan dari beberapa organisasi Indonesia seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Minahasa, Sekar Rukun dan Jong Sumatranen Bond dengan nama Jong Indonesia atau Pemuda Indonesia. Kemudian dibentuk juga organisasi Perhimpunan Pelajar – Pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai Soegondo Djojopuspito pada September 1926.
Kongres Pemuda II
Dalam sejarah latar belakang Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda II adalah tombak terciptanya hari sumpah pemuda. Pada Juni 1928, diadakan rapat oleh PPPI yang bertujuan untuk merealisasikan seluruh gagasan dari organisasi pemuda dengan membentuk panitia kongres. Hasil rapat tersebut menghasilkan struktur panitia kongres yaitu Soegondo Djojopuspito sebagai ketua, Moh Yamin sebagai Sekretaris dan Djoko Marsaid sebagai Wakil Ketua. Kongres ini kelak dikenal dengan nama Kongres Pemuda II, dilakukan di Jakarta pada 27 – 28 Oktober 1928.
Kongres Pemuda II berlangsung dalam tiga tahap, tahap pertama berlangsung di gedung Katholike Jongelingen Bond di Waterlooplein (Lapangan Banteng), rapat tahap kedua di Oost Java Bioscoop, Konigsplein Noord (Jalan Medan Merdeka Utara), dan Gedung Kramat 106 untuk rapat ketiga sekaligus penutupan. Lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Soepratman pertama kali dimainkan pada kongres ini menggunakan permainan biolanya. Di kemudian hari, lagu Indonesia Raya dipublikasikan pada tahun 1928 oleh surat kabar Sin Po dengan cantuman teks yang menjelaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan.
Kongres ini juga menjadi momen penetapan merah putih sebagai warna bendera pusaka Indonesia. Ikrar dalam sejarah Hari Sumpah Pemuda tersebut merupakan puncak dari bersatunya golongan pemuda di masa – masa pergerakan nasional. Menjelang penutupan kongres, Muhammad Yamin memberikan secarik kertas kepada tokoh Sumpah Pemuda lain yaitu Soegondo Djojopoespito yang kemudian diedarkan ke peserta rapat lainnya. Yamin menulis rumusan pada secarik kertas ketika utusan Kepanduan, Mr. Sunario sedang berpidato di sesi terakhir kongres. Kertas itu berisi ikrar dalam sejarah Hari Sumpah Pemuda dan isi Sumpah Pemuda dan maknanya yang terkenal tersebut yaitu:
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jumlah peserta rapat pada saat itu mencapai tujuh ratus orang tetapi yang tercatat dalam daftar hadir hanya sebanyak 82 orang. Pemerintah kolonial waktu itu meremehkan arti sumpah pemuda dan hasil keputusannya. Bahkan seorang pejabat kolonial bernama Van Der Plass menertawakan keputusan kongres untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia menganggapnya lucu karena sebagian pembicara dalam kongres tersebut justru masih menggunakan bahasa Belanda dan bahasa daerah. Soegondo sebagai pimpinan sidang bahkan masih berusaha keras untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Sebagian pemuda lainnya masih berbahasa Belanda dalam penyampaian pidatonya, salah satunya adalah Siti Soendari.
Walaupun demikian penerimaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atau bahasa Indonesia nyaris tidak mengalami penentangan. Siti Soendari sendiri kemudian mulai belajar menggunakan bahasa Indonesia seperti diinformasikan oleh Dr. Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia yang bekerja di Universitas Sydney, Australia. Sejarah telah membuktikan bahwa dampak peristiwa Sumpah Pemuda 1928 menjadikan saat yang kelak dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda ini telah menjadi tonggak sejarah pergerakan para pemuda.
Suatu pergerakan yang tidak dapat dibendung lagi dari para pemuda untuk membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia sebagai makna Sumpah Pemuda. Hari peringatan Sumpah Pemuda ditetapkan untuk diperingati pada tanggal 28 Oktober. Pengesahan Hari peringatan Sumpah Pemuda dilakukan pada 16 Desember 1959 melalui Keputusan Presiden nomor 316 tahun 1959. Untuk mengetahui mengenai sejarah Sumpah Pemuda, Anda bisa menyaksikannya sekaligus pada sejarah museum Sumpah Pemuda yang terletak di Gedung Sekretariat PPI, Jl Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.