Indonesia jika ditinjau dari segi iklim sangat memungkinkan adanya keanekaragaman tumbuhan yang hidup di berbagai kawasannya. Indonesia juga sangat bervariasi dalam kategori suku bangsa, sub suku bangsa, kelompok sosial, komunitas kecil dan lain sebagainya yang memiliki kebudayaan berbeda, adat dan tatanan hidup yang berbeda pula. Keberagaman tersebut juga tercermin dari cara memperlakukan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Etnobotani merupakan cabang dari ilmu tumbuhan yang mempelajari mengenai hubungan antara suku – suku asli dengan berbagai tumbuhan di sekitar lingkungan hidup mereka, juga bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan sehari – hari.
Etnobotani dibedakan menjadi dua suku kata yaitu ‘Etno’ yang artinya etnik atau etnis, dan ‘Botani’ yang berarti rerumputan dalam bahasa Yunani. Istilah etnobotani pertama kali diperkenalkan oleh John William Harshberger, antropolog Amerika pada 1895. Etnobotani dapat memberi bantuan bagi aspek botani dalam menentukan asal mula tumbuhan, penyebarannya, penggalian potensi sebagai sumber kebutuhan hidup, apa makna tumbuhan dalam suatu kebudayaan dan tanggapan masyarakat mengenai satu jenis tumbuhan tertentu. Perkembangan teknologi modern yang pesat seringkali juga dapat mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan suku – suku bangsa di Indonesia, yang bisa berakibat terkikisnya pengetahuan mengenai tumbuhan secara tradisional.
Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya
Pendirian museum Etnobotani berangkat dari keprihatinan dan kekhawatiran akan kehilangan ilmu pengetahuan tradisional tersebut. Gagasan untuk mendirikan museum pertama kali dicetuskan oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo sebagai Ketua LIPI pada saat itu. Ide tersebut dikemukakan bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung baru Herbarium Bogoriense pada tahun 1962. Akan tetapi tindak lanjutnya baru dipikirkan dan dimantapkan kembali ketika pada tahun 1973 Dr. Setijati Sastrapradja menjadi Direktur LBN (Lembaga Biologi Nasional).
Beliau mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh permuseuman, ahli ilmu sosial, kemasyarakatan dan ilmu antropologi, juga dengan para pakar botani. Melalui proses panjang, museum akhirnya berdiri dan diresmikan pada 18 Mei 1982 oleh Menristek B.J. Habibie. Tema dari Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya adalah ‘Pemanfaatan Tumbuhan Indonesia’. Museum didirikan untuk menjadi tempat penyimpanan berbagai artefak atau peninggalan materi dari alam terutama tumbuhan dan bagaimana peranannya dalam kehidupan berbagai suku bangsa asli di Indonesia. Adapun tugas dan fungsi didirikannya museum adalah:
- Menjadi pusat informasi mengenai berbagai bentuk pemanfaatan tumbuhan oleh berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
- Melestarikan kekayaan flora dan budaya di Indonesia yang sangat beragam.
- Mendorong kreativitas dan daya cipta mengenai pemanfaatan berbagai jenis tumbuh – tumbuhan.
- Menginformasikan mengenai lingkup kegiatan dalam penelitian etnobotani.
Lokasi museum di Bogor ini terletak di Jalan Juanda nomor 22 – 24, Bogor, di seberang Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi pusat penelitian biologi, dan dekat dengan Istana serta Kebun Raya Bogor. Gedung yang sekarang digunakan dalam Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya dulu dikenal sebagai gedung Herbarium Bogoriense, pusat penelitian mengenai tanaman yang dibentuk oleh para pengelola Lands Platentuin yang menjadi cikal bakal Kebun Raya Bogor pada tahun 1834. Herbarium Bogoriense kemudian dipindahkan lokasinya ke Cibinong agar mampu menampung lebih banyak spesimen dan menjadi herbarium terbesar ketiga di dunia. Ketahui juga mengenai sejarah museum kepresidenan, sejarah istana Bogor, dan koleksi museum Zoologi Bogor.
Koleksi Museum Etnobotani Bogor
Dalam Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya, koleksi yang dipamerkan berjumlah sekitar 1700 buah yang berasal dari semua propinsi di Indonesia. Koleksi dari museum dikumpulkan oleh para peneliti khususnya para peneliti dari LBN (Puslit Biologi). Penataan artefak lumayan apik dengan penomoran dan pada setiap koleksi dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai informasi. Pameran koleksi tidak dibagi berdasarkan wilayah asalnya tetapi berdasarkan jenis tumbuhan dan bagaimana pemanfaatannya.
Secara garis besar pembagian koleksi dibagi dalam dua jenis, yaitu koleksi pameran yang menggambarkan jenis tumbuh – tumbuhan dan berbagai barang yang bisa dihasilkan dari pemanfaatan tumbuhan tersebut. Di bagian lain memperlihatkan koleksi yang menunjukkan bagaimana suku – suku Indonesia memanfaatkan tumbuhan tersebut. Misalnya diorama yang memperlihatkan bentuk rumah suku Batak di masa lampau dengan atap rumah terbuat dari rumbia. Di lokasi lain juga terdapat diorama tema permainan anak – anak. Setidaknya terdapat sekitar 50 buah diorama dengan berbagai tema yang ditempatkan berjejer dalam 5 lajur pajangan dengan topik yang berbeda – beda.
Ada juga beberapa koleksi yang disatukan berdasarkan daerahnya masing – masing, seperti pada pemanfaatan daun lontar yang menjadi primadona diantara suku – suku di Nusa Tenggara Timur dan sering dibuat menjadi aneka kerajinan dari mulai wadah air hingga sasando, alat musik khasnya. Di area pameran tenun dipamerkan beragam alat tenun dari kayu, pakaian yang terbuat dari kulit kayu, area replika rumah adat yang dibuat menggunakan tumbuhan.
Ada juga pajangan kencur, beras, kunir, asam, jahe, biji kedawung, lempuyang dan berbagai rempah – rempah serta tumbuhan herbal lainnya. Juga dipamerkan berbagai perlengkapan rumah tangga dan peralatan kerja yang terbuat dari rotan dan lontar, berbagai jenis topi, bubu untuk menangkap ikan, tampah, macam – macam bentuk keranjang dari bahan dasar bambu. Juga ada peralatan dari berbagai kerajinan tradisional seperti cangkul sagu, topi, anyaman langit – langit rumah, atap, dinding, peralatan pertanian dan alat rumah tangga dari bahan sagu.
Kemudian dalam Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya juga dipamerkan luku atau bajak dalam ukuran aslinya yang dipakai para petani untuk membalik tanah di sawah sebelum ditanami dengan padi. Bajak ditarik oleh kerbau atau sapi pada zaman dulu tetapi sekarang banyak diganti dengan traktor. Begitu juga dengan koleksi garu dalam ukuran yang asli, biasanya dipakai untuk menandai baris yang akan ditanami padi setelah sawah dibajak. Beberapa spesimen tanaman yang sudah diawetkan juga dipajang dalam toples kaca tertutup, yang diambil dari seluruh Indonesia dan lalu dikeringkan, disimpan dan diberi label. Ada juga spesimen yang tidak dikeringkan, disimpan dalam botol kaca dan diberi larutan pengawet.
Alamat dan Waktu Buka Museum
Untuk menyaksikan Sejarah Museum Etnobotani Bogor dan Koleksinya, pengunjung bisa datang mulai hari Senin – Kamis pukul 08.00 – 16.00 WIB. Khusus hari Jumat, museum buka mulai pukul 08.00 – 11.00, 13.00 – 16.00 WIB. Untuk hari Sabtu dan Minggu museum tutup. Harga tiketnya per orang hanya 5000 rupiah saja. Sayangnya, museum ini tampak sepi karena akses masuknya tersembunyi tanpa adanya petunjuk yang jelas, sehingga mungkin saja banyak orang yang tidak menyadari keberadaannya. Sejak tahun 2016, LIPI mengubah konsep museum menjadi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia.
Gedung museum akan menempati lima lantai termasuk lantai dasar yang masih digunakan sebagai museum Etnobotani. Rencananya, lantai semi basement akan menjadi tempat untuk fasilitas pendukung permuseuman seperti kantor, perpustakaan, gudang, penyimpanan dan lain – lain. Lantai 1 untuk ruang informasi umum, lantai 2 untuk pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat di Indonesia, lantai 3 untuk pameran ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, lantai 4 untuk perkembangan teknologi pemanfaatan terkini, lantai 5 akan menjadi kafetaria dan vertical garden. Ketahui juga mengenai sejarah berdirinya istana Bogor dan sejarah museum zoologi Bogor.