Pada tahun 1999 atau tepat 20 tahun yang lalu bangsa Indonesia mengalami suatu peristiwa yang luar biasa, yaitu kehilangan Propinsi Timor Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan RI setelah dilaksanakannya referendum di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB. Momen lepasnya Timor Timur dibarengi dengan tragedi kemanudiaan yang ditandai oleh kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan ratusan ribu orang yang mengungsi.
Referendum dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 ketika kondisi politik Indonesia masih mengalami guncangan sehabis bubarnya era Orde Baru. Timor Timur adalah wilayah bekas koloni Portugis yang bergabung dengan Indonesia secara resmi pada 17 Juli 1976, sehingga menjadi propinsi RI yang termuda yaitu propinsi ke 27. Setelah selama 22 tahun berada di bawah pemerintahan Soeharto, sebagian rakyat Timor Timur ingin lepas dari NKRI. Setelah referendum tersebut, Timor Timur resmi berubah nama menjadi Negara Timor Leste pada 20 Mei 2002.
Akibat Referendum Bagi Indonesia
Dampak peristiwa lepasnya Timor Timur sudah tentu membawa sejumlah konsekuensi pada negara Republik Indonesia dalam beberapa bidang kehidupan seperti berikut ini.
1. Dampak bagi anggaran negara
Sebagai daerah yang diistimewakan dari segi anggaran, Timor Timur menyerap sangat banyak anggaran negara. Salah satu alasan dipertimbangkannya referendum adalah ketidak seimbangan antara kontribusi bagi negara dengan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan Timtim. Dengan referendum tersebut, dampak peristiwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia justru dapat meringankan beban anggaran negara terutama setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 yang membuat negara sedang dalam keadaan terpuruk.
2. Mempengaruhi nama baik Indonesia
Tidak seperti wilayah lain di Indonesia, pendudukan Timor Timur tidak diakui oleh dunia internasional. PBB dan negara – negara barat seperti Portugal tidak memberikan pengakuan akan bergabungnya Timor Timur menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pembiaran pendudukan Timtim dilakukan karena ketakutan bahwa Timtim akan dijadikan sekutu oleh Blok Timur. Mempertahankan Timor Timur di tengah kekacauan dan penolakan rakyatnya untuk bergabung dengan RI telah membawa beban bagi citra Indonesia di mata internasional. Sebenarnya apapun hasil dari referendum tersebut, setidaknya Indonesia telah terbebas dari tekanan dan kritik internasional, juga terlepas dari beban nasional untuk membiayai pembangunan di Timor Timur yang menyedot banyak anggaran negara.
3. Tekanan diplomatik terhadap Indonesia
Dampak peristiwa lepasnya Timor Timur memberi tekanan diplomatik yang cukup menjadi beban bagi Indonesia, dan tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu alasan untuk mengadakan referendum tersebut. Walaupun referendum diadakan untuk menampung aspirasi rakyat Timor Timur, tetap ada kesan bahwa pemerintah Indonesia dapat dengan mudah tunduk pada tekanan dunia internasional dan kepentingan asing. Ketahui juga apa penyebab perang dingin dan sejarah perang dingin.
4. Mengancam keutuhan negara
Tidak mustahil bahwa setelah pelaksanaan referendum, dampak peristiwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia akan membuat RI terancam mengalami tuntutan pemisahan yang sama. Para pengamat memperkirakan bahwa nasib Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Uni Soviet. Namun hingga saat ini negara Republik Indonesia tetap berdiri, utuh dan tidak mengalami perpecahan wilayah lagi.
5. Kehilangan sumber daya alam
Dampak peristiwa lepasnya Timor Timur bagi Indonesia bisa berarti kehilangan sumber daya alam yang menyumbang besar bagi pendapatan dan sektor ekonomi. Terdapat ladang minyak di laut Timor yang sangat disayangkan karena perekonomian yang meningkat dan kebutuhan konsumsi minyak di Indonesia yang juga meningkat. Ketahui juga mengenai sejarah pengembalian Irian Barat , dan pahlawan nasional dari Maluku.
Latar Belakang Referendum Timor Timur
Timor Timur bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara hukum sesuai dengan UU no,7/1976 tanggal 17 Juli 1976. Sejarah Timor Timur tidak termasuk ke dalam deklarasi kemerdekaan RI karena bergabung setelah peristiwa tersebut terjadi. Sebelumnya Timor Timur dijajah Portugis pada 1520 dan Spanyol pada 1522. Tahun 1613 Belanda menguasai bagian barat Timor Timur namun direbut oleh Inggris pada 1812 – 1815. Setelah Inggris pergi terjadi perebutan antara Belanda dan Portugis. Berdasarkan perjanjian dengan Belanda tahun 1860 dan 1893, perjanjian terakhir hanya bertahan hingga 1914 dan Jepang menguasai Tim – Tim selama perang dunia II. Setelah itu Timor Timur diduduki Portugis sampai tahun 1975.
Salah satu partai politik utama Timor Timur yaitu Frente Revolucionaria Timor Leste Independence (Fretilin) mendapat banyak kekuasaan selama masa Portugis dan mendeklarasikan kemerdekaan sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada November 1975. Pasukan Indonesia didukung Amerika dan Australia menduduki Timtim pada 7 Desember 1975 melalui Operasi Seroja, dan Timtim dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah Indonesia sebagai propinsi Timor Timur. Setelah itu terus terjadi konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste, pendukung integrasi Timtim dan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1991 terjadi peristiwa besar yang disebut pembantaian Santa Cruz. Sekitar 4000 pelayat pro kemerdekaan yang sedang mengubur siswa muda yang dibunuh tentara ditembaki oleh tentara. Peristiwa itu menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, dan rekaman yang diambil seorang jurnalis foto Inggris disiarkan di televisi negara – negara Barat sehingga Indonesia mendapat kecaman dari dunia internasional.
Pada 19 Desember 1998 atau tujuh bulan setelah Habibie menjadi Presiden RI, PM Australia John Howard mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksanaan referendum bagi rakyat Timtim. Sidang kabinet di Bina Graha digelar untuk merespons permintaan tersebut pada 27 Januari 1999. Hasil sidang diumumkan Menlu Ali Alatas bahwa Indonesia akan melepaskan Timtim jika tawaran otonomi khusus yang diperluas ditolak. Pada pembahasan lebih lanjut dengan John Howard tanggal 27 April 1999, Habibie mengungkapkan rencana jajak pendapat untuk mengetahui kemauan rakyat Timtim. Kesepakatan pelaksanaan referendum pada 8 Agustus 1999 ditandangani oleh Ali Alatas, Menlu Portugal Jaime Gama dan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Kesepakatan itu diterima secara bulat dalam Sidang Umum PBB.
Setelah dilakukan pendaftaran untuk rakyat yang memenuhi syarat mengikuti referendum dan beberapa kali penundaan oleh PBB, pada tanggal 30 Agustus 1999 referendum diselenggarakan. UNAMET (United Nations Mission in East Timor) bertanggung jawab atas pelaksanaannya sesuai dengan tujuan organisasi PBB untuk perdamaian dunia. Hasilnya diumumkan pada 4 September 1999 di Dili berupa sekitar 438.968 suara sah, sebanyak 344.580 suara atau 78,50 persen memilih opsi untuk merdeka dan 94.338 suara atau 21,50 persen memilih bergabung dengan Indonesia.
Tingkat partisipasi rakyat Timtim dalam referendum sangat tinggi mencapai 98,6 persen dari seluruh pemilih yang terdaftar sebanyak 451.792 orang. Dengan demikian Timtim resmi lepas dari kekuasaan Indonesia dan berada di bawah otoritas PBB untuk sementara hingga deklarasi resmi pada 20 Mei 2002 sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, dengan Xanana Gusmao sebagai presiden pertamanya. Tanggal 30 Oktober 1999, bendera merah putih diturunkan dalam upacara sederhana dan tanpa liputan pers. Ketahui juga mengenai apa saja organisasi regional dan global, peran Indonesia dalam perdamaian dunia dan sejarah berdirinya PBB.
Nama BJ. Habibie sebagai Presiden ketiga RI yang berjasa akan pembebasan Timtim dari Indonesia diabadikan dalam pembangunan jembatan sepanjang 540 meter di dekat Dili. Keputusan Habibie untuk memberikan jalan bagi referendum Timtim harus dibayarnya dengan tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi Presiden karena pidato pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR. Walaupun dampak peristiwa lepasnya Timor Timur menjadi ganjalan bagi Habibie, kondisi rakyat Timtim pasca referendum sangat baik. Begitu juga hubungan dengan Indonesia dalam bidang politik, pendidikan, ekonomi dan angka kunjungan penduduk antara kedua negara.