Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, terdapat banyak peristiwa sesudah proklamasi Republik Indonesia yang mengancam keutuhan negara. Sepuluh peristiwa sesudah proklamasi Republik Indonesia adalah:
Pembantaian Wrestling ialah sebuah peristiwa pembunuhan oleh pasukan Belanda (Depot Speciale Troepen) yang dipimpin Raymond Pierre Paul Wrestling terhadap ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan. Pembantaian ini terjadi pada bulan Desember 1946 hingga Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Akibat peristiwa ini, berapa ribu jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidaklah jelas. Delegasi Republik Indonesia, pada tahun 1947, menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa jumlah korban pembantaian sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Perundingan Linggarjati yakni perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Perundingan ini menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia dan hasilnya ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946. Perundingan ini ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Perjanjian Linggarjati diakibatkan konflik antara Indonesia dengan Belanda karena masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan ’status quo’. Berbagai macam pertempuran terjadi di berbagai daerah, seperti sejarah Peristiwa 10 November.
Pertempuran Puputan Margarana ialah salah satu pertempuran antara Indonesia dan Belanda yang terjadi pada 20 November 1946. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil, yakni Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Pasukan TKR bertempur habis-habisan demi mengusir Pasukan Belanda yang ingin menegakkan kembali Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Pertempuran ini menewaskan seluruh pasukan I Gusti Ngurah Rai yang selanjutnya dikenang sebagai salah satu Puputan di era awal kemerdekaan. Perang ini pun disebut dengan Puputan Margarana yakni perang mati-matian demi membela nusa dan bangsa.
Akibat gugurnya pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Rai, Belanda berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur. Tjokorda Gde Raka Soekawati menjadi presiden NIT melalui Konferensi Denpasar pada tanggal 18 – 24 Desember 1946. Baca juga penyebab Perang Bali, pahlawan nasional dari Bali, dan sejarah Museum Bajra Sandhi Bali.
Belanda masih terus melakukan aksinya pasca pembentukan NIT. Soeria Kartalegawa, Ketua Partai Rakyat Pasundan, berhasil dibujuk oleh Belanda untuk memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Negara baru ini sangat lemah secara militer dan sangat tergantung kepada Belanda. Negara ini baru eksis saat Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product merupakan operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Republik Indonesia. Agresi ini berlangsung mulai dari tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Agresi Militer Belanda I ini adalah istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi. Indonesia menganggap hal ini sebagai pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.
Indonesia mengadukan agresi militer ini ke PBB, karena dinilai telah melanggar suatu perjanjian internasional, yakni Perundingan Linggarjati. Atas permintaan Australia dan India, maka masalah agresi militer ini dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB pada 31 Juli 1947. PBB kemudian menanggapinya dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947. Resolusi tersebut menyerukan supaya konflik bersenjata dihentikan. PBB juga mengakui eksistensi Republik Indonesia dengan menyebut nama “Indonesia” dan bukan lagi “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan remisinya.
Agresi Militer Belanda I baru dihentikan setelah DK PBB mengeluarkan beberapa resolusi. Pada tanggal 15 Agustus 1947, atas tekanan DK PBB maka Pemerintah Belanda menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pasca Agresi Militer Belanda I, Amir Syarifudin yang sebelumnay menjabat sebagai Menteri Pertahanan kemudian naik menjadi Perdana Menteri menggantikan Sjahrir. Ia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Ia juga menawarkan S. M. Kartosoewirjo untuk duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun, S. M. Kartosoewirjo menolak hal tersebut bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Ia ingin menarik diri dari gelanggang politik pusat. Hal ini karena ia menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan Pemerintah RI dengan Belanda.
Selain itu, Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Saat Amir Syarifudin menunjukkan sepak terjangnya di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri dan merangkap Menteri Pertahanan, terlihat bahwa Amir Syarifudin berniat membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
Perjanjian Renville ialah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat. Kapal tersebut merupakan tempat netral USS Renville yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan ini dimulai pada 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh KTN (Komisi Tiga Negara), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Belgia, dan Australia.
Perjanjian Renville bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian tersebut menghasilkan batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook. Baca juga latar belakang Perjanjian Renville dan sejarah Perjanjian Renville.
Kabinet Amir pun runtuh setelah Perjanjian Renville ditandatangani. Seluruh anggota dalam kabinet yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatannya dan diikuti oleh Amir sendiri pada 23 Januari 1948. Presiden Soekarno kemudian menunjuk Moh. Hatta untuk memimpin suatu ‘kabinet presidential’ darurat (1948–1949). Seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai presiden. Baca juga biografi Mohammad-Hatta, biografi Soeharto, dan biografi Habibie.
Agresi Militer Belanda 2 diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Agresi ini terjadi pada 19 Desember 1948 yang disertai dengan penangkapan Soekarno, Moh. Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara Indonesia saat itu mengakibatkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Serangan Umum 1 Maret adalah serangan secara besar-besaran pada tanggal 1 Maret 1949 yang direncanakan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III berdasarkan instruksi Panglima Besar Sudirman. Hal ini untuk membuktikan bahwa TNI masih ada dan cukupkuat, sehingga memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsu di DK PBB.
Selain kesepuluh peristiwa sesudah proklamasi Republik Indonesia, terdapat juga peristiwa lainnya seperti Perjanjian Roem-Royen, Serangan Umum Surakarta, Konferensi Meja Bundar, hingga penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Semoga bermanfaat.
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…