Banten adalah nama satu wilayah di pulau Jawa yang letaknya berbatasan dengan Jakarta, dan pernah menjadi salah satu pusat perdagangan besar di Indonesia pada abad ke 16 setelah penguasaan Malaka pada tahun 1511 M. Letaknya di dekat Selat Sunda menjadi pintu gerbang alternatif untuk jalur pelayaran dari Barat sejak awal abad ke 17 M. Ketika itu pelabuhan Banten semakin ramai dikunjungi pedagang dari daerah Barat dan Timur, salah satunya adalah bangsa Portugis. Belanda mengikuti dengan mendarat di Banten pada tahun 1596 M dengan dipimpin Cornelis de Houtman.
Pada awalnya penguasa Banten yaitu Maulana Muhammad menerima baik kedatangan Belanda, namun karena Belanda bersikap kurang bersahabat dan ingin memonopoli perdagangan, maka rakyat Banten melawan dan mengusir Belanda dari Banten. Setelah itu Belanda mengirimkan ekspedisi kedua ke Indonesia yang terdiri dari delapan buah kapal, yang kali ini diterima dengan baik karena pada saat itu Banten sedang dalam peperangan dengan Portugis di Malaka. Para pedagang Belanda juga bersikap lebih bersahabat dan pandai mengambil hati raja Banten sehingga tujuan mereka untuk membawa rempah – rempah bisa dikatakan berhasil.
Banten Melawan Monopoli VOC
Sejarah perang Banten berawal dari perdagangan rempah – rempah yang seringkali diangkut dari Maluku ke Banten terutama oleh pedagang dari Jawa. Di Banten juga terdapat koloni bangsa Arab, Turki, Gujarat, Siam dan Parsi, juga perkampungan Melayu, Ternate, Banda, Bugis, Banjar, Makassar dan perkampungan lainnya. Dalam sejarah berdirinya Banten juga menjadi pelabuhan untuk pelayaran dari Utara terutama Cina, maka pedagang Cina juga memiliki pengaruh yang tidak sedikit di pelabuhan Banten dengan memberi pinjaman untuk jual beli komoditi, berdagang atau menjadi pengecer. Mereka mendatangkan barang – barang sutra dan porselen sampai Banten menjadi penguasa pasar di seluruh Nusantara, dan penguasa Banten tidak menginginkan adanya monopoli perdagangan dari siapapun yang berdagang di pelabuhannya.
Pesatnya perkembangan Banten sebagai kota pelabuhan terbesar Nusantara menarik keinginan VOC untuk menguasainya. Mereka melakukan cara kotor dengan memblokade kapal – kapal Cina dan juga kapal yang datang dari Maluku yang akan masuk ke Banten. Karena sering mendapat pertentangan dari rakyat Banten, Belanda kemudian membangun kota pelabuhan di Sunda Kelapa atau Jayakarta. Pelabuhan itu kemudian dinamakan Batavia oleh Belanda pada tahun 1619 M, sejak itu terjadi perebutan posisi sebagai bandar perdagangan internasional antara Banten dan VOC. Ketahui juga silsilah kerajaan Banten Islam, sejarah VOC Belanda, dan sejarah berdirinya VOC.
Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Ketika Pangeran Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada 1651 M, beliau berusaha memulihkan Banten sebagai pusat perdagangan internasional dengan melakukan beberapa langkah berikut:
- Mengundang para pedagang dari Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis untuk ikut melakukan perdagangan di Banten.
- Memperluas hubungan perdagangan dengan Cina, India dan Persia.
- Mengirimkan kapal – kapal untuk mengganggu armada VOC
- Membangun saluran irigasi dari Sungai Ujung Jawa hingga ke Pontang sebagai persiapan untuk lalu lintas suplai ketika terjadi perang dan juga untuk mengaliri padi.
VOC membangun benteng – benteng di Batavia untuk menghadapi Banten yang diharapkan dapat membendung serangan yang datang dari darat dan laut. Pada 1671 Sultan Ageng mengangkat Sultan Haji sebagai Sultan Muda yang bertugas untuk mengurus masalah dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya mengurusi masalah yang berhubungan dengan luar negeri. Pembagian dalam tata pemerintahan Kesultanan Banten ini membuka peluang bagi Belanda untuk menghasut Sultan Haji agar tidak memisahkan urusan pemerintahan di Banten dan mereka juga mempengaruhi Sultan Haji yang ambisius mengenai kemungkinan Pangeran Purbaya yang akan diangkat sebagai Raja dan pemimpin Kesultanan Banten. Sejarah perang Banten dimulai dari hasutan Belanda tersebut.
Sultan Haji yang terhasut kemudian bersekongkol dengan VOC untuk menguasai kerajaan Banten seluruhnya dengan beberapa syarat yang menguntungkan VOC, yaitu agar perdagangan lada di Banten menjadi dibawah kekuasaan VOC, mengusir pedagang dari Cina, India dan Persia, Cirebon harus diserahkan kepada VOC, dan menarik kembali pasukan Banten yang menguasai pantai. Pada 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya yaitu Sultan Ageng dari tahta kesultanan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Banten.
Perang Banten Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa
Tindakan Sultan Haji menimbulkan reaksi dari rakyat Banten yang tidak mengakuinya sebagai Sultan, dan berperang melawan VOC serta Sultan Haji demi kesetiaan mereka pada Sultan Ageng Tirtayasa. Pasukan Sultan Ageng berhasil menguasai seluruh Banten kecuali istana Sultan Haji karena memiliki benteng pertahanan yang kuat. Pada tanggal 12 Februari 1682 perang saudara di Banten pecah ketika pasukan Sultan Ageng menyerbu Surosowan, tempat kediaman Sultan Haji. VOC yang dipimpin Caeff mempertahankan tempat tersebut dengan Sultan Haji. Ketika bantuan dari Batavia datang, mereka menyerang bailk hingga pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan dan Jasinga. Kemudian pada tanggal 28 Desember pasukan VOC yang dipimpin Jonker, Tack dan Michielsz menyerang Pontang, Tanara dan Tirtayasa sehingga Sultan Ageng terpaksa menyelamatkan diri ke pedalaman.
Sejak itu ia diburu VOC agar mau menyatakan diri takluk pada kuasa VOC dalam sejarah perang Banten. Sultan Ageng beserta Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf, menantunya mendirikan markas di Lebak atau yang sekarang dikenal sebagai Rangkasbitung. Sultan Ageng melancarkan pertempuran dengan Belanda selama setahun, namun sering menderita kerugian hingga Syeikh Yusuf tertangkap. Akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada Belanda dan ditawan di Batavia hingga kematiannya pada 1695. Syeikh Yusuf dibuang ke Ceylon, lalu ke Afrika Selatan hingga wafatnya, sementara Pangeran Purbaya meneruskan perjuangan di daerah Periangan dengan bergerilya namun akhirnya terpaksa menyerah juga.
Akhir Kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
Belanda kemudian membuat perjanjian kembali dengan Sultan Haji untuk mengembalikan semua budak milik Belanda yang lari ke Banten, mengembalikan orang – orang Belanda yang membelot ke Banten, melarang Banten ikut campur dalam masalah – masalah politik di daerah yang berada di bawah wewenang Kerajaan Mataram, semua kerugian akibat aksi bajak laut Banten dan sabotase diganti rugi, dan melarang orang asing lain untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten kecuali untuk orang Belanda. Ketahui juga mengenai masa kolonial Eropa di Indonesia dan silsilah kerajaan Mataram kuno.
Dengan demikian Sultan Haji memang mendapatkan posisinya sebagai Sultan Banten namun ia hanya berperan sebagai Sultan boneka dan bawahan Belanda dengan mengorbankan ayahnya, saudara – saudaranya dan juga rakyatnya sendiri. Setelah ia wafat pada 1687, putra Sultan Haji yaitu Abu Fadl Muhammad Yahya menggantikan hingga wafat juga pada 1690. Adiknya yaitu Abu Mahasin Zainal Abidin menggantikan. Setelah bubarnya VOC pada 1798, daerah – daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda. Sejak itu dimulailah masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Setelah itu dalam sejarah perang Banten ada beberapa pemberontakan lagi di Banten terutama pada masa Daendels yang memaksa ribuan rakyat untuk kerja paksa membangun pelabuhan perang Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja yang menolak mengorbankan rakyatnya kemudian dikejar oleh pasukan militer Belanda, kemudian menghukum Sultan dengan memindahkan istana ke Anyer, mengirim 1000 orang pekerja setiap harinya, dan menangkap Patih Wargadireja. Perlawanan yang berlanjut akhirnya membuat Patih Wargadireja tertembak dan Sultan dibuang ke Ambon, Belanda merampas seluruh daerah kesultanan. Ketika Daendels membangun proyek jalan raya Anyer – Panarukan, Banten dibawah pimpinan Sultan Ahmad juga melawan dengan melibatkan sebagian rakyat Lampung, namun pada akhirnya perlawanan tersebut juga gagal.