Salah satu sejarah sebagai peristiwa dan contohnya dapat kita lihat pada kerusuhan Tanjung Priok. Peristiwa Tanjung Priok adalah suatu peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta ketika sekelompok orang melakukan defile sambil melakukan perusakan pada sejumlah gedung dan berakhir pada bentrok dengan aparat. Akibat dari peristiwa ini adalah banyak korban tewas dan korban luka yang angkanya tidak bisa dipastikan, serta sejumlah gedung yang rusak karena terbakar. Sejak awal 1980an, pemerintah gencar mengkampanyekan Pancasila sebagai asas tunggal negara. Asas tunggal negara adalah kebijakan politik orde baru lainnya pada masa itu. Semua organisasi yang ada di Republik Indonesia wajib menggunakan asas Pancasila dan tidak boleh menggunakan asas yang lain.
Hal ini berarti siapapun yang tidak menggunakan asas Pancasila, tidak sejalan dengan kebijakan politik pemerintah masa itu dan akan dianggap anti terhadap Pancasila. Banyak masyarakat terutama di Jakarta menolah penetapan Pancasila sebagai asas tunggal sehingga beberapa minggu sebelum peristiwa terjadi, situasi di Jakarta Utara tegang akan isu politik dan keagamaan. Hampir setiap minggu para ulama di masjid – masjid memberikan kritik keras kepada pemerintah Orde Baru mengenai pemaksaan Pancasila sebagai satu – satunya asas. Pada saat itu di musala As- Saadah, seorang ulama bernama Abdul Qodir Jaelani juga kerap memberikan khotbah yang menentang Pancasila sebagai asas tunggal di masjid As-Saadah.
Awal Mula Peristiwa Berdarah
Latar belakang peristiwa Tanjung Priok sebagai salah satu peristiwa pada masa orde baru bermula dari tanggal 8 September 1984 ketika Sersan Satu Hermanu, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan seorang tekannya dari Koramil tiba di Masjid / musala As-Saadah, gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sesuai dengan kesaksian Abdul Qodir Jaelani di pengadilan, mereka akan membersihkan spanduk dan brosur yang isinya diangggap berupa dakwah menentang pemerintah di dalam masjid tersebut. Ketika memerintahkan jamaah untuk melakukannya, para jamaah menolak sehingga petugas melakukannya sendiri.
Tetapi berkembang isu bahwa mereka masuk area masjid tanpa melepas alas kaki, yang merupakan pelanggaran serius terhadap batas suci masjid yang sudah menjadi etika umum. Bahkan mereka membersihkan pamflet yang ditempel dengan air comberan karena tidak ada peralatan lain untuk melepasnya dengan benar. Dua hari setelah itu, terjadi pertengkaran antara beberapa jamaah di masjid atau musala tersebut dengan para Babinsa. Percekcokan sempat terhenti ketika kedua petugas dibawa masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang letaknya tidak jauh. Akan tetapi masyarakat sudah terlanjur berdatangan ke masjid karena kabar sudah tersebar.
Pengurus masjid Baitul Makmur yang bernama Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman mencoba menengahi dengan bermusyawarah, namun massa yang sudah emosimembakar motor milik Hermanu. Akibatnya aparat kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, pengurus lain bernama Ahmad Sahi, dan seorang pengangguran bernama Muhamad Nur. Pada 11 September 1984, para jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki dalam latar belakang peristiwa Tanjung Priok, seorang tokoh masyarakat yang dianggap mampu menjembatani massa dengan tentara di Kodim dan Koramil karena memiliki hubungan luas dengan para pejabat militer di Jakarta. Setelah itu Amir Biki mendatangi kantor Kodim Jakarta Utara, tempat ditahannya keempat orang tersebut.
Tetapi ia tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti dan malah terkesan dipermainkan sehingga ia mengadakan pertemuan untuk membahas persoalan tersebut. Ia mengundang para ulama dan tokoh agama, begitu juga umat Islam di Jakarta dan sekitarnya. Pertemuan itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung sekitar 3 jam. Ketahui juga mengenai penyebab peristiwa Aceh 1990 , sejarah peristiwa malari dan sejarah perang Ambon. Tanggal 12 September 1984 pada latar belakang peristiwa Tanjung Priok, sekitar 1500 massa berkumpul untuk menuntut pembebasan empat orang yang ditahan, yang merupakan jemaah Mushala As – Saadah. Mereka bergerak di arah Kodim, dan sebagian menuju Polres Tanjung Priok.
Massa yang menuju Polres dihadang pasukan militer bersenjata lengkap, bahkan juga alat berat seperti panser. Karena massa terus maju, tentara langsung menembak dengan senapan otomatis. Walaupun sudah jatuh korban dan ribuan orang lari dengan panik, aparat terus menembak dengan beringas. Dua truk besar berisi pasukan tambahan juga datang dengan kecepatan tinggi dan melindas massa yang sedang tiarap di jalanan. Rombongan Amir Biki yang menuju Kodim juga mengalami nasib serupa. Aparat meminta beberapa orang untuk mendekat sebagai perwakilan, namun ketika mereka mematuhinya tentara langsung menembak hingga korban berjatuhan. Amir Biki juga tewas dalam peristiwa penembakan tersebut.
Situasi Sesudah Peristiwa Tanjung Priok
Keesokan harinya pemerintah orde baru melalui Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Tri Soetrisno didampingi Pengkopkamtib Jenderal TNI L. B. Moerdani serta Menteri Penerangan Harmoko memberi pernyataan mengenai latar belakang peristiwa Tanjung Priok. Mereka menyatakan bahwa peristiwa Tanjung Priok adalah hasil rekayasa orang – orang yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politiknya. Pemerintah juga memberikan data korban luka dan korban jiwa yang berbeda jauh dengan keterangan para saksi di lokasi peristiwa.
Abdul Qadir dijemput aparat untuk ditahan dan diadili serta divonis pada akhir 1985. Vonis yang diberikan kepada mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia itu berupa hukuman penjara selama 18 tahun dengan dakwaan tindak pidana subversif lewat ceramah, khotbah dan tulisan – tulisannya. Selain itu, persidangan pada peristiwa Tanjung Priok juga menyeret beberapa tokoh Islam lainnya seperti A. M Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya yang dituduh menjadi aktor intelektual pada peristiwa tersebut. Dalam serangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan tersebut setidaknya ada 28 orang yang diadili dan diberi vonis yang bervariasi setelah dinyatakan bersalah.
Pelanggaran hak asasi yang sangat serius sudah pasti terjadi dalam latar belakang peristiwa Tanjung Priok tersebut. Selain penangkapan, juga terjadi penghilangan paksa dalam kurun waktu tiga bulan tersebut sejak peristiwa. Korban langsung ditangkap dan ditahan tanpa ada pemberitahuan resmi kepada keluarga dan tanpa ada alasan yang jelas. Pada Maret 2000, Kontras menerbitkan laporan investigasi kasus Tanjung Priok dan membentuk Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T). KP3T kemudian menyebutkan nama – nama yang dianggap terlibat dan turut bertanggung jawab dalam pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa itu yaitu Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara dan juga beberapa orang perwira tinggi yang menjabat pada waktu terjadinya peristiwa.
Pada saat itu Tanjung Priok adalah salah satu area basis Islam yang kuat, namun wilayahnya cenderung padat dan kumuh. Sebagian besar penduduk tinggal di rumah sederhana dan bekerja sebagai buruh galangan kapal atau buruh serabutan. Kondisi sosial ekonomi penduduk rendah dan tingkat pendidikan juga minim sehingga Tanjung Priok sangat mudah terpapar isu dan gejolak dari luar wilayahnya. Sehingga isu atau provokasi sekecil apapun akan sangat mudah menyulut emosi dan pergerakan massa. Jika aparat tidak menanggapi secara berlebihan yang merupakan ciri pokok orde baru dalam mengatasi pihak oposisi, sangat mungkin tidak akan terjadi kerusuhan dan korban jiwa serta harta benda pada latar belakang peristiwa Tanjung Priok ini. Kendati demikian, sekarang kasus ini dianggap sudah selesai setelah melalui proses mediasi dan islah yang sangat panjang.