Jenderal TNI Anumerta adalah komandan Tentara Nasional Indonesia yang lahir di Purworejo provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 dan meninggal di Sejarah Lubang Buaya kota Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 tepat pada umur 43 tahun karena dibunuh oleh anggota PKI di peristiwa G30SPKI (Gerakan 30 September) ketika mencoba untuk menculik sang Jenderal dari rumahnya. Menjadikan dia sebagai salah satu dari sepuluh pahlawan revolusi yang menjadi korban keganasan komunisme.
Kelahiran Jenderal Ahmad Yani
Biografi Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Dia merupakan anggota keluarga Wongsoredjo. Wongsoredjo ini mendapatkan penghasilan di pabrik gula yang dikendalikan oleh pemilik Belanda. Tahun 1927, Yani kemudian pindah bersama keluarganya menuju ke Batavia karena tempat kerja ayahnya yang kini bekerja untuk General Belanda. Pada tahun 1940 ketika perang dunia masih berkecamuk, Yani memutuskan untuk menjalani program wajib militer di tentara Hindia Belanda. Dia mempelajari topografi militer di Kota Malang Provinsi Jawa Timur.
Sayangnya pendidikannya harus terganggu ketika pasukan Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942. Di waktu yang sama, Yani sekeluarganya harus kembali lagi ke Jawa Tengah. Jepang pun meraih kemenangan di Indonesia dan berhasil meruntuhkan Hindia Belanda. Pada tahun 1943, Yani bergabung dengan satuan tentara bernama PETA yang disponsori Jepang dan latihan militernya berada di Magelang. Setelah pelatihan ini selesai, Yani segera mengikuti pelatihan sebagai pemimpin peleton PETA dan dipindahkan ke Bogor provinsi Jawa Barat. Setelah pelatihan selesai, Yani dikirim lagi ke Magelang menjadi instruktur.
Pengalaman dan Prestasi Militer Ahmad Yani
Sesudah perang Kemerdekaan selesai, Yani bergabung tentara dan berperang melawan Belanda. Di beberapa bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Yani menciptakan dan memimpin sebuah batalion untuk menghadapi Inggris di Magelang. Dan Yani pun berhasil menghancurkan Inggris. Tidak berhenti di situ, Yani juga berhasil mempertahankan Magelang ketika Belanda mencoba untuk mengambil alih Magelang. Kepahlawanannya di Magelang ini membuat Yani mendapat julukan Juruselamat Magelang.
Selain itu, karier Yani yang menonjol selama periode mempertahankan kemerdekaan ini adalah melakukan serangan gerilya yang dikerahkan pada awal 1949. Serangan ini berguna unutk mengalihkan perhatian Belanda agar mereka lengah. Selagi mereka lengah, Letnan Kolonel Soeharto mempersiapkan pasukannya untuk Serangan Umum 1 Maret yang mengarah langsung pada Yogyakarta. Peperangan terus berlangsung hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Setelah perang mempertahankan Indonesia selesai, Yani pindah ke Tegal provinsi Jawa Tengah. Yani beraksi lagi pada tahun 1952 ketika dia dipercaya untuk menghadapi Darul Islam. Darul Islam adalah pemberontak yang mencoba untuk mendirikan sistem pemerintahan teokrasi di Indonesia. Yani membentuk satuan pasukan khusus yang bernama The Banteng Raiders. Banteng Raiders menghajar Darul Islam selama 3 tahun ke depan dan terus menderita kekalahan satu demi satu. Perang melawan Darul Islam selesai pada tahun 1955.
Setelah menyelesaikan kasus Darul Islam, Yani berangkat ke Amerika Serikat pada Desember 1955. Dia harus belajar ilmu Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth di Kansas. Yani baru kembali pada tahun 1956 dan dia dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. Di Markas Besar ini, Yani menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Selain itu juga menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk urusan Organisasi dan Kepegawaian.
Yani sangat gigih mempertahankan keutuhan negara yang baru lahir ini. Mulai dari ancaman dari luar maupun dalam. Pada Agustus tahun 1958, dia meluncurkan Operasi 17 Agustus untuk menyelesaikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak di Sumatra Barat. Pasukan Yani berhasil menguasai kembali Bukittinggi dan Padang. Setelah misi berhasil jabatannya diangkat pada tanggal 1 September 1962 dia diangkat menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2. Baru pada tanggal 13 November 1963, Yani diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal Nasution. Di masa itu, sistem pemerintahan sedikit berbeda dengan sekarang. Sehingga ketika diangkat, Yani juga sekaligus menjadi anggota kabinet.
Peran Ahmad Yani Pada Peristiwa G 30 S PKI
Ketika masih berkuasa di awal tahun enam puluhan, gerakan politik Bung Karno cenderung lebih condong ke Partai Komunis Indonesia atau biasa disebut PKI. Yani adalah orang yang sangat anti-komunis dan tentunya Yani mulai waspada pada perkembangan PKI yang sangat pesat di waktu itu. Kebenciannya terhadap komunis semakin bertambah ketika PKI memberikan dukungan untuk membentuk angkatan kelima. Angkatan kelima adalah angkatan setelah tiga angkatan TNI dan polisi yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Terlebih lagi Bung Karno, di sisi ideologi, mencoba untuk memaksa ideologi Nasionalis-Agama-Komunis atau biasa disebut dengan Nasakom sebagai doktrin di militer.
Yani bersama Nasution terus menunda ketika Bung Karno memerintahkan mereka untuk membuat rencana angkatan kelima pada tanggal 31 Mei 1965. Yani di malam hari tanggal 30 September itu menemui beberapa tokoh. Salah satunya adalah Jendral Basuki Rahmat yang merupakan komandan divisi di provinsi Jawa Timur. Jendral Basuki Rahmat mengungkap laporan dan keprihatinan akan adanya peningkatan aktivitas kaum komunis di Jawa Timur. Yani memuji laporan dari Jendral Basuki Rahmat. Sambil mengakhiri pertemuan, Yani meminta agar Jendral Basuki Rahmat menemani dirinya di pertemuan esok hari untuk membahas hal ini dengan presiden.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Sejarah PKI pun memulai aksinya. Gerakan 30 September dimulai dan mendatangi rumah tujuh anggota staf umum Angkatan Darat untuk menculik mereka. Ahmad Yani termasuk staf Angkatan Darat yang ada di daftar para penculik. PKI mengirim satu tim dari sekitar dua ratus orang ke rumah Yani yang berada di Jalan Latuhahary No. 6 di daerah Menteng di Jakarta Pusat. Yani memiliki sebelas tentara yang menjaga rumahnya. Istri Yani lalu memberitahu bahwa seminggu yang lalu ada tambahan sebanyak enam orang ditugaskan kepadanya. Para tentara ini di bawah pimpinan Kolonel Latief. Sepengetahuan Yani, Latief merupakan salah satu dari beberapa komplotan utama dalam Gerakan 30 September.
Meskipun kabarnya sudah ada orang tambahnya, istri Yani berkata bahwa dia tidak melihat kemunculan para tentara tambahan. Kondisi rumah cenderung sepi. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumah. Istri Yani tidak ada di rumah karena dia sedang ada pesta ulang tahunnya dengan para teman dan kerabat. Istri Yani bercerita bahwa ketika dia keluar rumah di pukul 23.00, dia menangkap ada seorang yang duduk-duduk di seberang jalan. Seperti sedang mengawasi seakan menjaga rumah. Istri Yani tidak memikirkan apapun atau tidak curiga sedikitpun pada saat itu. Baru setelah peristiwa tragis itu istri Yani mulai curiga. Selain itu yang mencurigakan adalah adanya beberapa panggilan telepon jam 9 pada malam 30 September yang diiringi oleh keheningan aneh. Panggilan telepon aneh itu terus berbunyi hingga pukul satu dini hari dan istri Yani merasakan adanya firasat yang sangat buruk di malam 30 September itu.
Para penculik yang datang ke rumah harus membawa Yani karena Bung Karno memanggil. Yani menyanggupi dan mengatakan bahwa dirinya membutuhkan waktu sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Pasukan penculik yang datang disebut dengan Pasukan Pasopati. Penculik menolak permintaan Yani dan tentu Yani sangat marah atas sikap mereka yang kurang ajar lalu menampar salah satu penculik dan menutup pintu rumahnya. Salah seorang penculik kemudian menembak dan berhasil membunuh Yani. Tubuh Yani diangkut ke daerah Lubang Buaya di pinggiran Jakarta. Sang Jendral diseret bersama dengan para jenderal yang diculik lalu disembunyikan di sebuah sumur yang sudah tidak terpakai.
Meninggalnya Ahmad Yani
Tubuh Yani dan para korban Gerakan 30 September yang lain diangkat dari sumur pada tanggal 4 Oktober dan tanggal 1 Oktober dijadikan sebagai sejarah hari kesaktian pancasila. Pada 5 Oktober dilakukan upacara khas kenegaraan lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Yani dan para korban Gerakan 30 September resmi dinyatakan sebagai pahlawan Revolusi pada hari yang sama sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965. Secara anumerta, pangkatnya dinaikkan dari Letnan Jenderal ke Jenderal Bintang Empat.
Istri Yani mengajak para anaknya pindah rumah setelah suaminya gugur di peristiwa Gerakan 30 September. Istri Yani juga berkontribusi untuk mengubah rumah mereka menjadi museum publik yang membahas banyak hal khususnya penyerangan terhadap Yani pada malam yang mencekam tahun 1965 itu. Bahkan hingga kini, lubang peluru di dinding dan pintu masih ada. Keadaan interior rumah dan perabotannya masih sama dengan kondisi waktu itu. Ini untuk mengenang Jenderal Ahmad Yani sang pahlawan revolusi. Selain diangkat sebagai pahlawan revolusi dan didirikan museum, banyak jalan di kota yang dinamai Jalan Ahmad Yani. Tidak hanya jalan, nama sang pahlawan revolusi juga diabadikan menjadi nama dari Bandar Udara Internasional di Semarang.
Demikian informasi tentang Biografi Ahmad Yani. Biografi Ahmad Yani perlu diketahui agar orang memahami cara hidup, dedikasi dan prestasinya di dunia militer serta kepahlawanan sang Jenderal ketika akhir hayat dimana dia menjadi korban keganasan komunisme. Seperti yang kita tahu, komunisme adalah ideologi yang sangat brutal dan bahkan mereka tidak ragu untuk memfitnah dan membunuh orang-orang yang dianggap lawan politiknya. Selain Ahmad Yani, ada banyak pahlawan di Indonesia. Contohnya adalah biografi Cut Nyak Dhien, biografi Mohammad Hatta, biografi Pangeran Diponegoro, biografi W. R. Supratman, biografi Soeharto dan biografi Ki Hajar Dewantara.