Bagi seorang prajurit, kekalahan bukanlah hal yang mudah terlebih lagi ketika menghadapi ancaman kehilangan posisinya sebagai prajurit. Para anggota KNIL di Makassar pada tahun 1949 – 1950 mengalami kegalauan ini karena kesepakatan yang dihasilkan oleh Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengembalian kedaulatan Republik Indonesia menyatakan pembubaran KNIL pada 26 Juli 1950. Pemberontakan yang dilakukan oleh seorang mantan perwira KNIL bernama Andi Azis bertujuan untuk mempertahankan keberadaan Negara Indonesia Timur (NIT) karena tidak mau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Andi Azis, gangguan keamanan di Indonesia Timur didalangi oleh pemerintah sehingga para perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) / ABRI yang berasal dari kalangan mantan KNIL (Kononklijk Nederlandsch Indische Leger) harus bertanggung jawab.
Penggabungan KNIL ke APRIS
Di Sulawesi Selatan sendiri pernah ada tiga batalyon KNIL menurut catatan buku Gedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830 – 1950 oleh P. Van Meel (1990). Batalyon INF XV ada di Pare – Pare, batalyon INF XVI di Enrekang dan batalyon INF XVII. Sebagian bahkan pernah menjadi tawanan perang Jepang. Pada masa revolusi, KNIL bertugas untuk melawan para pejuang republik. Setelah tahun 1946 banyak terjadi mutasi pasukan di tubuh KNIL. Banyak pula serdadu KNIL yang masuk menjadi tentara Belanda karena terpengaruh oleh propaganda Belanda, dan hanya mengetahui bahwa mereka harus membantu kemerdekaan tanah air daripada penindasan Jepang dan Soekarno Hatta bersama Jepang sudah menyengsarakan Indonesia. Karena itulah, ketika Soekarno Hatta memimpin, mereka menjadi sulit menerimanya.
KNIL sudah berdiri sejak 4 Desember 1830, dan kebanyakan menjadi serdadu karena turun temurun dari keluarganya. Menjelang pembubaran KNIL beredar isu bahwa mantan KNIL yang ikut masuk TNI akan disudutkan dan dicari kesalahannya karena mereka adalah musuh TNI di waktu revolusi. Mereka menganggap para perwira TNI sebagai orang yang lemah dalam ilmu kemiliteran. Misalnya Kepala Staf APRIS, Kolonel T.B. Simatupang yang merupakan mantan KNIL yang masih muda, sudah pasti ilmu serta pengalaman militernya tidak sebanding dengan perwira – perwira senior Belanda. Gaji dari TNI lebih kecil, sementara prajurit KNIL walaupun berpangkat rendah tetapi mereka memiliki jenjang karir dan gaji yang teratur.
Peristiwa Andi Azis mulai berawal dari rasa ketidak puasan para mantan KNIL tersebut. Pada Januari 1950 para anggota KNIL terutama di Indonesia Timur memberi tuntutan sehubungan dengan pemindahan mereka ke APRIS. Mereka hanya ingin masuk APRIS dengan sukarela dan hanya mau berada di bawah pimpinan mantan KNIL dan bukan perwira TNI asli. Kemudian ketika mengetahui pasukan APRIS dari TNI di Jawa bernama Batalyon Worang akan dikirimkan ke Makassar, mereka merasa lebih mampu untuk menjaga ketertiban daripada tentara dari Jawa tersebut. Ketahui juga mengenai sejarah lahirnya TNI dan sejarah hari ABRI.
Asal Mula Pemberontakan Andi Azis
Andi Azis lahir pada 19 September 1924 di Simpangbinangal, Kab. Barru, Sulawesi Selatan. Sejak usia 11 tahun ia disekolahkan di Belanda ketika diangkat sebagai anak oleh seorang mantan asisten Residen asal Belanda. Disanalah ia menjadi seorang tentara, terlibat dalam gerakan bawah tanah untuk melawan Jerman, ikut latihan pasukan komando di Inggris, dikirim ke Colombo dan Calcutta, kemudian pada 19 Januari 1946 mendarat di Jakarta bersama pasukan sekutu Inggris. Kemudian ia masuk sekolah perwira infanteri di Bandung (School Reserve Officier en der Infenterie) sebagai angkatan kedua.
Peristiwa Andi Azis tidak lepas dari penggabungan Kapten Andi Azis dan satu kompi pasukan mantan KNIL yang diterima sebagai anggota APRIS. Mereka berada di bawah komando Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta, Pejabat Panglima Teritorium Indonesia Timur. Andi Azis bukanlah seorang perwira KNIL berpangkat tinggi namun ia cukup dihormati oleh perwira lainnya setelah menjadi ajudan Wali Negara atau Presiden NIT. Sebagai serdadu KNIL ia berpangkat Letnan, namun ketika diterima sebagai prajurit APRIS pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Andi Azis kemudian menuntut untuk bertanggung jawab akan keamanan Negara Indonesia Timur dan menentang pengiriman 900 orang pasukan APRIS dari Jawa pimpinan Mayor H.V. Worang.
Tanggal 4 April 1950 malam, Andi Azis dipanggil oleh Soumokil, salah seorang petinggi NIT dan seorang tokoh pemberontakan Andi Azis di belakang layar ke rumahnya. Ketika itu di rumah itu sudah ada beberapa mantan KNIL Ambon yang menunggu, menyatakan siap tempur jika Batalyon Worang mendarat di Makassar. Pada pagi hari tanggal 5 April 1950, peristiwa Andi Azis terjadi. Andi Azis dan pasukannya menyerang perumahan perwira TNI di Makassar yaitu staf kwartier serta asrama CPM di Verlegde Klapperlaan (jalan Walter Monginsidi) dan menahan Letkol A.J. Mokoginta.
Tujuan pemberontakan Andi Azis adalah untuk meminta agar NIT tidak bergabung dengan RI dan mereka tetap bertanggung jawab akan keamanan NIT tanpa perlu adanya tambahan pasukan dari Jawa. Pasukan – pasukan dalam peristiwa Andi Azis juga diarahkan pada posisi siaga dan siap tembak ke arah kapal yang mengangkut TNI dari Jawa. Peristiwa Andi Azis bahkan juga dibantu sebuah pesawat pembom B-25 Mitchel. Azis menyuruh Mokoginta untuk mengatakan pada pasukan agar jangan mendarat. Karena situasi genting, kapal Waekelo dan Bontekoe berisi seribu prajurit TNI Batalyon Worang harus berbalik arah dan menurunkan keluarga para prajurit yang ikut di kapal ke Balikpapan.
Pemerintah RIS melalui PM Diapari di Radio Makassar pada 7 April 1950 memberi ultimatum kepada Andi Azis dan pasukannya untuk kembali ke asrama, membebaskan para tawanan dan menyerahkan senjata mereka. Pemerintah pusat juga mengeluarkan ultimatum untuk menghadap ketika terjadinya peristiwa Andi Azis dan ia diberi waktu selama 4 hari, tetapi ia tidak meresponnya dengan cepat dan terlambat datang ke Jakarta. Upaya pemerintah dalam menghadapi pemberontakan Andi Azis kemudian mendatangkan pasukan Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letkol Soeharto dan menempatkan Kolonel Alex Kawilarang sebagai komandan tertinggi operasi pemberantasan peristiwa Andi Azis. Upaya penumpasan pemberontakan Andi Azis tersebut menyertakan para prajurit bersama dengan 12 buah kapal, 2 buah tank pendarat dan 12.000 orang pasukan. Terjadi pertempuran sebagai dampak dari pemberontakan Andi Azis setelah pasukan ekspedisi mendarat pada 26 April 1950 di Makassar.
Andi Azis baru datang ke Jakarta pada 15 April 1950 setelah mendapat jaminan dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena ia sudah terlambat memenuhi ultimatum, ketika sampai di Jakarta ia langsung ditangkap sebagai pelaku pemberontakan. Pada 5 Agustus 1950 pasukan Andi Azis mendadak mengepung markas staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar. TNI berhasil memukul mundur pasukan pemberontak pada peristiwa Andi Azis setelah mereka bertempur selama dua hari dan pasukan KNIL meminta berunding dengan TNI. Perundingan dilakukan pada 8 Agustus 1950 antara Kolonel A.E Kawilarang dan Mayjen Scheffelaar dari KNIL dan menghasilkan keputusan untuk menghentikan tembak menembak, KNIL harus menyerahkan senjata dan meninggalkan Makassar dalam waktu dua hari
Setelah peristiwa Andi Azis tersebut, Andi Azis diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun. Ia sempat dipenjara di Wirogunan, Yogyakarta selama tiga tahun. Kemudian dipindahkan ke Cimahi dan sempat berusaha memberontak dengan melucuti penjaga, lalu tertangkap dan dipindahkan ke Ambarawa. Menurut keluarga dan orang – orang yang mengenalnya, Andi Azis adalah seorang tentara yang buta akan politik sehingga terpengaruh oleh propaganda yang membuatnya melakukan pemberontakan tersebut. Pada 31 Agustus 1956 ia mendapatkan grasi dan dibebaskan bersyarat.