Bagi bangsa Indonesia, bulan Mei menyimpan satu peristiwa sejarah yang besar. Peristiwa Trisakti 21 tahun yang lalu atau lebih dikenal sebagai Tragedi Trisakti terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Tragedi Trisakti adalah salah satu peristiwa pada masa orde baru, suatu peristiwa penembakan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya. Serangkaian aksi demonstrasi memang telah terjadi sebelumnya bertempat di dalam kampus, namun aksi itu adalah aksi mahasiswa terbesar yang mengambil tempat di luar kampus. Aksi damai yang dilakukan para mahasiswa untuk menentang pemerintahan Soeharto kemudian berubah menjadi suatu peristiwa berdarah dan brutal, mengakibatkan sejumlah korban luka serta empat korban jiwa mahasiswa.
Peristiwa kerusuhan mei 1998 berbau rasial kemudian terjadi pada tanggal 13 – 15 Mei 1998 atau sehari setelah sejarah peristiwa Trisakti tersebut. Peristiwa ini hingga sekarang dikenang sebagai simbol perlawanan para mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Tragedi pada bulan Mei 1998 mengakibatkan korban beberapa mahasiswa yang sedang berdemonstrasi menuntut reformasi di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Korban tewas sebagai dampak tragedi Trisakti sebanyak empat orang mahasiswa. Ketika terjadi penembakan keempatnya diketahui sedang berada di dalam kampus. Para korban bernama Elang Mulia Lesmana , Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Hasil autopsi yang dilakukan setelahnya mengungkap bahwa keempat mahasiswa tersebut mengalami luka tembak sangat mematikan di dahi yang tembus sampai ke belakang kepala, leher, punggung dan dada. Berikut ini adalah sekelumit cerita mengenai para korban tragedi Trisakti 1998.
1. Elang Mulia Lesmana
Korban tragedi Trisakti 1998 ini lahir di Jakarta pada 5 Juli 1978 dan meninggal pada 12 Mei 1998 di usia 19 tahun, Elang adalah mahasiswa Fakultas Arsitektur Universitas Trisakti angkatan. Sahabat karib Elang bernama Arfianda Bachtiar atau Frankie, lulusan Fakultas Teknik Industri mengingat dengan jelas urutan kejadian pada peristiwa yang merenggut nyawa Elang menjadi korban tragedi Trisakti 1998. Sehari sebelum peristiwa terjadi, mereka akan mengerjakan tugas kelompok untuk dikumpulkan keesokan harinya. Minggu itu juga akan diadakan ujian tengah semester, sehingga Frankie menginap di rumah Elang untuk belajar bersama. Keesokan paginya mereka berangkat ke kampus, namun ujian tengah semester dibatalkan karena mahasiswa diharapkan untuk berpartisipasi dalam demonstrasi. Mereka memang sudah berniat untuk ikut dan menyiapkan jaket almamater, namun Elang lupa membawanya.
Ketika hari menjelang sore semua mahasiswa kemudian bergerak keluar kampus untuk pergi ke gedung DPR, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan. Selama tiga jam para mahasiswa menanti negosiasi dengan aparat keamanan yang berjalan alot, dan suasana mulai memanas. Frankie berjanji dengan Elang dan Adhy, temannya yang lain untuk bertemu di pos satpam depan kampus jika terpisah. Tidak lama aparat mulai menyerang para demonstran dengan gas air mata dan peluru karet, juga tembakan peringatan ke arah atas.
Ribuan mahasiswa kemudian lari menuju kampus, namun Frankie dan Elang yang berada di barisan paling belakang merasa tidak ada peluang karena polisi jaraknya semakin dekat. Frankie terkena peluru karet di bagian perut. Ketika berhasil memanjat tembok pembatas kampus Tarumanegara dan Trisakti yang bersebelahan, Frankie menuju pos satpam untuk menemukan kedua temannya. Ia mendapat kabar bahwa Elang tertembak di bagian dada. Ketika mendatangi RS Sumber Waras, ia menemukan temannya sudah terbujur kaku dengan luka tembak menembus jantung hingga ke punggung. Peluru tajam yang menjadi penyebab kematian Elang ditemukan di dalam tas punggungnya.
2. Hafidhin Royan
Lahir di Bandung pada 28 September 1976, Hafidhin adalah mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti angkatan 1995. Anak keempat dari lima bersaudara dan anak laki – laki satu – satunya dari Ir. H. Enus Yunus dan Ir. Sunarmi itu meninggal pada usia 21 tahun sebagai korban tragedi Trisakti 1998. Menurut cerita ibunya Sunarmi, Hafidhin dimakamkan di belakang rumahnya Jl. Sirnagalih Bandung pada Rabu 13 Mei 1998 pukul 06.00 WIB setelah diotopsi dan disemayamkan di kampus Trisakti. Konon Hafidhin tertembak di bagian dahi dan tidak dapat diselamatkan ke rumah sakit. Yang tersisa dari Hafidhin hanya diktat kuliah bernoda darah yang terakhir dibawanya, dan kamar yang berisi piagam – piagam penghargaan serta kliping berita dan barang lain milik Hafidhin yang disusun oleh ayahnya. Shock dan guncangan karena kehilangan anak lelaki satu – satunya juga sangat mempengaruhi sang ayah hingga meninggal dunia pada usia 64 tahun pada tahun 2006 lalu.
3. Heri Hertanto
Korban tragedi Trisakti 1998 ini lahir pada 5 Februari 1977 dan meninggal pada usia 21 tahun sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Industri Universitas Trisakti semester enam. Putra sulung dari Sjahrir Mulyo Utomo, pensiunan letnan dua TNI AD dan Lasmiati ditembak di bagian punggung dan peluru bersarang di bagian dadanya hingga meregang nyawa di depan Gedung M Rektorat Universitas Trisakti. Ia dikenal sebagai mahasiswa baik – baik dan bukan aktivis yang kerap berdemo turun ke jalan, dan lebih suka menekuni hobinya balap mobil. Sehari sebelum tragedi, Heri menginap di rumah temannya yang bernama Aji untuk belajar menjelang ujian. Setelah ujian selesai pada jam dua siang, Heri menolak ikut temannya pulang karena ingin melihat orasi dan demo di kampusnya. Setelah tewas, Heri dimakamkan di Tanah Kusir pada pukul 12 siang setelah sebelumnya disemayamkan di kampus bersama korban lainnya.
4. Hendriawan Sie
Hendriawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Trisakti adalah anak satu – satunya dari Hendrik Sie dan Karsiah Sie yang masih merupakan keturunan Suku Dayak Kenyah. Karsiah dan Hendriawan Sie keduanya beragama Islam. Lahir pada 3 Maret 1978 di Balikpapan, ketika ayahnya yang seorang pegawai swasta sedang bertugas di luar kota. Ketika terjadi penembakan, ia bermaksud menutup pintu gerbang kampus dan berdiri di samping pos satpam, dekat perbatasan Universitas Tarumanegara dan Trisakti.
Ketika itulah bagian leher di dekat rahangnya ditembus peluru, juga satu peluru lagi di pinggangnya. Hendriawan dibopong oleh Kepala UPT Otorita Universitas Trisakti, Arri Gunarsa. Ia meninggal di rumah sakit Sumber Waras karena kehilangan banyak darah. Ia dimakamkan di Pemakaman Al Kamal, Kebon Jeruk, Jakarta pada 13 Mei 1998 ketika sedang berlangsung kerusuhan rasial di ibukota. Sepeninggal Hendriawan, ibu dan ayahnya bercerai, ibunya pun mengalami gangguan kesehatan secara fisik dan mental. Karsiah kemudian ditawari oleh Rektor Trisakti, Thoby Mutis untuk tinggal di kamar kos milik Universitas Trisakti hingga sekarang. Karsiah diberi pekerjaan sebagai staf bagian umum di koperasi Universitas Trisakti.
Walaupun korban berjatuhan dalam usaha memperbarui era pemerintahan dan menegaskan perbedaan orde baru dan era reformasi, hingga kini belum ada titik terang pengusutan tragedi tersebut. Belum diketahui secara pasti dan jelas apa penyebab penembakan dan siapa persisnya yang menembak dalam latar belakang tragedi Trisakti yang turut menjadi faktor penyebab runtuhnya orde baru. Untuk keempat mahasiswa korban tragedi Trisakti 1998, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Bintang Jasa Pratama pada hari Senin pagi tanggal 15 Agustus 2005. Penghargaan diberikan di Istana Negara dalam upacara penghormatan karena dianggap berjasa sebagai pejuang reformasi. Pengorbanan mereka dianggap turut mendorong terjadinya perubahan besar dalam kehidupan bernegara dan bangsa Indonesia.