Perang Aceh terjadi selama hampir tiga puluh tahun, yakni tahun 1874 – 1904. Perang Aceh ini telah memakan banyak korban jiwa. Secara garis besar, terdapat dua penyebab Perang Aceh yakni sebab umum dan sebab khusus.
Sebab Khusus Perang Aceh
Sebab khusus Perang Aceh diawali dengan Belanda yang menuntut agar Aceh mengakui kedaulatannya pada tanggal 22 Maret 1873. Tuntutan tersebut ditolak oleh Aceh. Belanda pun menyatakan perang terhadap Aceh yang ditandai dengan penembakan meriam dari kapal perang bernama Citradel Van Antwerpen ke daratan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Baca juga sejarah Partai Aceh, bangunan bersejarah di Aceh, sejarah Museum Tsunami Aceh, dan sejarah Museum Aceh.
Sebab Umum Perang Aceh
Selain sebab khusus, secara umum ada beberapa penyebab Perang Aceh. Sebab umum Perang Aceh akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini:
- Kecurigaan pihak Belanda kepada Kerajaan Aceh
Pihak Belanda mencurigai adanya kerjasama politik antara Kerajaan Aceh dengan Singapura, Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Dengan adanya Perjanjian Sumatra 1871, Aceh pun menjalin hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh pun bahkan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.Upaya diplomatik tersebut pun dijadikan Belanda sebagai alasan untuk menyerang Aceh.
2. Letak Aceh yang strategis sebagai jalur pelayaran internasional
Aceh memiliki letak yang strategis, yakni sebagai jalur pelayaran internasional yaitu di Selat Malaka. Pembukaan Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
3. Pelanggaran Perjanjian London 1824 oleh Belanda
Pelanggaran Perjanjian London tahun 1824 ialah upaya Belanda untuk menguasai Aceh. Perjanjian London adalah perjanjian bilateral antara Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini bertujuan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakukan Perjanjian Britania-Belanda 1814. Perjanjian London menjelaskan bahwa kedua negara diizinkan untuk tukar menukar wilayah pada British India, yakni Ceylon (Sri Lanka) dan Indonesia. Hal ini didasarkan kepada negara yang paling diinginkan. Namun, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang ditetapkan secara lokal. Peraturan tersebut antara lain
- pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada kapal dan barang dari negara lain
- tidak membuat perjanjian dengan negara bagian Timur yang tidak mengikusertakan atau membatasi perjanjian dagang dengan negara lain
- tidak menggunakan kekuatan militer ataupun sipil untuk menghambat perjanjian dagang.
- melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengizinkan penjualan dari barang-barang bajakan
- pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seizing dari pemerintah masing-masing di Eropa.
4. Akibat dari Perjanjian Siak 1858
Penyerahan wilayah Asahan, Deli, Serdang, dan Langkat karena adanya Perjanjian Siak 1858. Akibat perjanjian tersebut maka Sultan Ismail menyerahkan beberapa wilayah tersebut kepada Belanda. Belanda melanggar perjanian tersebut, maka berakhirlah Perjanjian London Tahun 1824.
5. Penenggelaman kapal-kapal Belanda oleh pasukan Aceh
Belanda beranggapan bahwa kapal-kapalnya sering diganggu di Selat Malaka, bahkan hingga ditenggelamkan. Aceh melakukan hal ini karena menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Aceh pun ditenggelamkan oleh Pasukan Aceh. Hal ini didukung oleh Britania.
Periode Perang Aceh
Perang Aceh secara garis besar terbagi menjadi 4 periode. Empat periode Perang Aceh yakni sebagai berikut:
- Periode Pertama (1873 – 1874)
Perang Aceh periode pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipmpin Kohler. Kohler bersama dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan. Kohler pun tewas pada tanggal 14 April 1873. Setelah sepuluh hari, perang terjadi dimana-mana. Perang paling besar adalah saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Perang terjadi di Peukah Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang berdatangan dari Pidie, Teunom, Peusangan, dan beberapa wilayah lainnya.
- Periode Kedua (1874 – 1880)
Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874. Sultan beserta keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Leungbata. Keraton pun akhirnya dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Jenderal van Swieten pada 31 Januari 1874 mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Sultan Mahmud Syah yang wafat pada 26 Januari 1874 digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood. Beliau dinobatkan sebagai Sultan di Masjid Indrapuri. Perang Aceh pada periode pertama dan keuda merupakan perang total dan frontal. Pemerintahan Aceh masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
- Periode Ketiga (1881 – 1896)
Periode ketiga dari Perang Aceh dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Sistem perang gerilya ini dilangsukan sampai tahun 1903. Pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar, Panglima Polim, dan Sultan. Belanda menduga perang telah usai karena telah berhasil menduduki istana. Namun, di luar sana para ulama dan bangsawan tetap siap bertempur. Mereka bersama-sama terus berjuang menggembelng pasukan jihad yang dipimpin oleh Tengku CIk Ditiro.
Rakyat Aceh bangkit kembali dengan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya yakni Cut Nyak Dhien. Teuku Umar menyerang pos-pos Belanda dan berhasil menguasai Meulaboh pada tahun 1882. Teuku Umar juga menyerang kapal Hok Canton pada tanggal 14 Juni 1886 yang berlabuh di Rigarh. Belanda merasa kewalahan menghadapi perjuangan rakyat Aceh yang menggelora. Pihak Belanda pun menerapkan berbagai strategi untuk meredam hal tersbeut. Merekea menerapkan strategi seperti konsentrasi stelsel dan adu domb. Namun, kedua siasat tersebut mengalami kegagalan.
Belanda akhirnya mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kehidupan dan struktur masyarakat Aceh. Dr. Snouck menyamar dengan nama Abdul Gofar dan berhasil menyelidiki kelemahan masyarakat Aceh. Hal ini kemudian dituangkan dalam sebuah buku berjudul De Aljehers. Saat terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen tahun 1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur dalam peperangan. Namun, Cut Nyak Dhien yang merupakan istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komanda perang gerilya.
- Periode Keempat (1896 – 1910)
Periode keempat dari Perang Aceh dilakukan dengan perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan. Selain itu, perang pun dilakukan dengan penyerbuan, penghadangan, dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan. Baca juga peninggalan Kerajaan Aceh, sejarah Kerajaan Aceh, silsilah Kerajaan Aceh, dan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Akhir Perang Aceh
Akhir Perang Aceh ditandai dengan Belanda yang meniru taktik perang gerilya Aceh. Taktik perang gerilya ini ditiru oleh Van Heutz. Beliau membenuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik selanjutnya yang diterapkan oleh Belanda adalah dengan cara menculik anggota keluarga gerilyawan Aceh. Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten pun melakukan penawanan terhadap Sultan Tuanku Ibrahim. Sultan pun menyerah pada 5 Januari 1902 ke Sigil dan berdamai.
Van der Maaten secara diam-diam menyergap Tangse kembali. Panglima Polim dapat melarikan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu yakni saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Panglima Polim pun menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah itu, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik lainnya adalah dengan pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh. Hal ini dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Pembunuhan ini mirip seperti yang terjadi di Kuta Reh (14 Juni 1904), yakni sebanyak 2.922 orang dibunuh yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir adalah dengan menangkap Cut Nyak Dhien yang masih melakukan perlawanan secara gerilya. Pada akhirnya, Cut Nyak Dhien pun dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Baca juga pahlawan nasional wanita, biografi Cut Nyak Dhien, dan pahlawan nasional dari Sumatera.
Van Heutz telah menciptakan surat pendek atau korte verklaring atau Traktat Pendek. Surat pendek ini adalah tentang penyerahan yang harus ditandatangani ole para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Surat pendek ini berisikan bahwa:
- Raja atau Sultan mengakui daerahnya sebagai bagian dari Hindia Belanda
- Raja berjanji bahwa tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri
- Raja berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda
Perjanjian pendek ini pun menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang panjang dan rumit dengan para pemimpin setempat. Namun, tidak semua wilayah Aceh dikuasai oleh Belanda seluruhnya. Perlawanan terhadap Belanda tetap saja terjadi meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Perlawanan tersebut terus berlanjut hingga Belanda pergi dari Nusantara dan digantikan oleh kedatangan penjajah baru, yakni Jepang atau Nippon.
Inilah penjelasan mengenai penyebab perang Aceh secara khusus dan umum. Pemaparan mengenai sejarah Perang Aceh melawan Belanda mulai dari penyebab, periode peperangan, dan akhir Perang Aceh dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Semoga bermanfaat.