Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keadaan Indonesia belum dapat dikatakan seluruhnya tenang dan damai. Masih banyak pergolakan baik yang timbul di dalam negeri maupun ancaman dari pihak luar terutama pihak penjajah yang masih ingin menancapkan kekuasaannya akan negara kita, sebagian besar ditujukan untuk menguasai sumber daya dan kekayaan alam Indonesia yang memang sangat menggiurkan.
Hari Bela Negara yang biasa disingkat dengan sebutan HBN merupakan hari dimana para pahlawan dan pejuang mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa tersebut terjadi pada saat – saat rawan setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada saat agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. Hari bersejarah yang menjadi bagian dari peringatan khusus di Indonesia ini jatuh pada tanggal 19 Desember. Hari Bela Negara disahkan melalui Keppres no.28 tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berupa hari besar negara bukan hari libur.
Agresi Militer Belanda ke-II
Peringatan Hari Bela Negara diadakan untuk memperingati peristiwa deklarasi Pemerintah Darurat RI pada 19 Desember 1948 yang dilakukan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat. Pada tahun 1948 dalam sejarah Hari Bela Negara, ibukota negara RI bertempat di Yogyakarta. Dalam usia kemerdekaan yang masih sangat singkat, belanda melancarkan Agresi Militer ke-2. Belanda memanfaatkan upaya Sekutu untuk melucuti persenjataan Jepang pasca perang dunia kedua. Pada saat itu sejumlah peperangan dan diplomasi dilakukan untuk mencapai kesepakatan, salah satunya adalah Perundingan Hooge Valuwe dan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Tetapi dalam sejarah perjanjian Renville yang telah disepakati tersebut dilanggar oleh Belanda dengan melakukan serangan yang telah diperhitungkan dengan matang sebelumnya.
Pasukan Belanda menyerang dan menggempur Yogyakarta pada 19 Desember 1948 menggunakan pesawat DC-3 Dakota yang menerjunkan pasukannya sehingga ibukota jatuh kedalam kekuasaan Belanda. Pada pukul 05.45 pagi, sejumlah delapan pesawat Jaegers Belanda menyerang Pangkalan Udara Maguwo dan menghancurkan pasukan AURI yang hanya dilengkapi dengan senjata ringan. Pasukan tambahan dan perlengkapan bermotor Belanda juga diterjunkan hingga pukul 09.30 Brigade Tjiger yang dipimpin Kolonel Van Langen menyerbu Yogyakarta.
Untungnya pimpinan TNI dan induk pasukan tidak hancur akibat serangan tersebut. Panglima Besar Sudirman yang sedang sakit parah lolos dari serangan tersebut dan sempat mengeluarkan instruksi pada pukul 08.00 bahwa Yogyakarta diserang dan bahwa Angkatan Perang harus segera melaksanakan rencana darurat yang telah ditetapkan sebelumnya. Presiden Soekarno kemudian menyelenggarakan rapat kabinet yang memberi mandat untuk membentuk pemerintahan darurat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara. Bung Karno juga mengirimkan Radiogram kepada Soedarsono di New Delhi, India mengenai rencana pembentukan pemerintahan pelarian. Begitu juga dengan Wapres merangkan Perdana Menteri, Bung Hatta yang mengirim perintah tertulis untuk meneruskan perjuangan.
Pembentukan Pemerintahan Darurat
Beberapa waktu setelah penyelenggaraan rapat, Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Pulau Bangka untuk diasingkan. Setelah penangkapan tersebut, Belanda kemudian menyebarkan propaganda bahwa Republik Indonesia sudah bubar dan tidak ada lagi. Mr. Sjafruddin yang mendapat mandat dari Presiden lalu segera mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatra yaitu Teuku Mohammad Hasan. Beliau yang ketika itu sedang berada di Sumatra Barat kemudian melakukan rapat di Bukittinggi, yang menghasilkan solusi berupa pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pembentukan pemerintahan darurat ini dilakukan untuk menyelamatkan pemerintahan Indonesia agar tetap berdaulat. Proklamasi PDRI dilakukan pada 22 Desember 1948 dengan pemimpin Mr. Sjafruddin. Sehari kemudian, beliau berpidato dengan disiarkan melalui radio untuk memperlihatkan bahwa Republik Indonesia masih ada. Pidato tersebut menjadikan beliau musuh bagi Belanda, sehingga harus bersembunyi di hutan belantara untuk menghindari penangkapan Belanda.
Kegigihan PDRI dalam sejarah Hari Bela Negara pada akhirnya membuahkan hasil sehingga keberadaan Indonesia mendapat perhatian dari dunia internasional. Sementara itu, agresi Belanda yang dilakukan untuk memperoleh kekuasaan kembali pada Indonesia mendapatkan kecaman yang bertubi – tubi dari masyarakat internasional. Belanda yang tidak dapat menahan kecaman demi kecaman akhirnya memutuskan untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia pada tanggal 14 April 1949. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Belanda akan menghentikan aksinya berupa semua bentuk operasi militer, membebaskan para tawanan termasuk Soekarno dan Hatta, kemudian mengembalikan Yogyakarta pada Indonesia.
Di kemudian hari kesepakatan ini dikenal dengan Perjanjian atau Perundingan Roem-Roijen, yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Batavia. Setelah perjanjian tersebut. Sjafruddin kemudian mengembalikan mandatnya pada Soekarno-Hatta. Setelah serangkaian perundingan, melalui Konferensi Meja Bundar , Belanda akhirnya setuju untuk melepaskan Indonesia tanpa syarat.
Mengapa Memilih Bukittinggi ?
Kota Bukittinggi selain terkenal dari sejarah jam gadangnya telah menjadi lokasi berbagai peristiwa bersejarah, diantaranya menjadi tempat perang gerilya Indonesia dimana Kaum Padri melakukan perlawanan kepada Belanda. Pada awalnya kota ini adalah pasar bagi masyarakat Agam Tuo sebelum dijadikan kubu pertahanan Belanda dalam sejarah perang Padri. Belanda bahkan mendirikan benteng Fort de Kock yang sekaligus menjadi tempat peristirahatan bagi para opsir. Area ini kemudian berkembang statusnya sebagai stadsgemeente (kota) dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer Jepang di kawasan Sumatera, Singapura dan Thailand. Nama kota diganti menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho dan mengalami perluasan daerah dari nagari – nagari di sekitarnya yaitu Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Bukittinggi ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Sumatera pada 9 Juni 1947, dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan. Sejarah panjang Bukittinggi inilah yang kemudian menjadikannya sebagai ibukota PDRI dalam sejarah Hari Bela Negara.
Peringatan Hari Bela Negara
Untuk memahami mengapa sejarah Hari Bela Negara perlu diperingati, maka perlu diketahui lebih dulu mengenai istilah bela negara itu sendiri. Bela negara adalah sikap dan perilaku dari warga negara yang timbul dari rasa cintanya pada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bela negara dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya untuk mempertahankan tersebut termasuk rasa cinta tanah air, kesadaran dalam berbangsa dan bernegara, keyakinan pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga rela berkorban untuk negara dan bangsa dengan bekal kemampuan awal untuk membela negara.
Peringatan sejarah Hari Bela Negara biasanya diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan. Pada peringatah Hari Bela Negara ke 65, 21 Desember 2013 Menhan Purnomo Yusgiantoro meresmikan pembangunan Monumen Nasional Bela Negara di area seluas 40 hektar, berlokasi di Jorong Sungai Siriah, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Menurut Menhan Ryamizard Ryacudu pada kegiatan peringatan Bela Negara 2017 di Manado, peringatan sejarah Hari Bela Negara dilakukan untuk dapat membangun karakter yang disiplin, optimis, taat kepada hukum, mau bekerja keras untuk negara dan bangsanya, taat kepada Tuhan sesuai agama masing – masing untuk turut menjamin kelangsungan hidup bangsa serta negaranya sendiri.
Hingga saat ini Kementerian Pertahanan melaksanakan pendidikan bela negara secara rutin di 34 Propinsi di semua lingkungan termasuk pendidikan, lingkungan kerja dan pemukiman. Hasilnya jumlah kader bela negara mengalami peningkatan secara nasional hingga pada tahun 2017 telah mencapai 74,3 juta jiwa.