Gerilya merupakan salah satu dari sekian banyak strategi perang yang telah dikenal luas terutama dikalangan militer, hal tersbut karena strategi perang gerilya telah digunakan selama perang merebut kemerdekaan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1950-an. A.H. Nasution mantan panglima TNI-AD menuliskannya dalam buku bertajuk “Pokok-pokok Gerilya”. Strategi perang gerilya sangat efektif untuk menipu, mengecoh dan juga melakukan serangan tak terduga pada lawan yang tak menguasai medan pertempuran.
Latar Belakang
14 Desember 1948 pasukan Belanda yang berada di Indonesia, di terutama di Pulau Jawa melancarkan agresi militer 2 dengan sandi Operation Kraai. Serangan militer tersebut dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda di Indonesia, yakni Jenderal Simon Spoor. Serangan militer tersebut merupakan Aksi Polisional (Politionele Acties) merupakan sebuah upaya melumpuhkan aksi-aksi perlawanan bangsa Indonesia yang terus berlangsung dimulainya Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka Jakarta pada 15 Desember 1946. Yang kemudian berlanjut disepakatinya perjanjian damai di atas kapan USS Renville, seperti yang sering diingat dalam sejarah perjanjian Renville.
Operation Kraai yang dilancarkan militer Belanda di pulau Jawa dan Sumatra memiliki tujuan untuk melumpuhkan dan menghancurkan semangat militer Indonesia serta menawan para pemimpin bangsa. Yogyakarta sebagai ibukota negara yang juga menjadi markas Tentara Kemanan Rakyat (TKR) menjadi sasaran utama penyerbuan tersebut. Serangan yang terjadi menggunakan operasi yang bersifat cepat dan sulit diperhitungkan oleh tentara Indonesia, operasi tersebut dikenal dengan blitzkrieg yaitu serangan dalam tempo kilat dengan meminimalisir korban pada pihak penyerang.
Serbuan di Yogyakarta diutamakan di Pangkalan Udara Andir, Bandung yang dikomandani oleh Jenderal Meyer. Kekuatan pasukan militer Belanda yang menyerbu Yogyakarta waktu itu terdiri dari.
- 800-900 pasukan Para Komando dengan dukungan
- 23 pesawat transpor Douglas DC,
- Pesawat pembom B-25 Mitchell,
- Pesawat tempur P-51 dan Mustang, serta
- P-40 Kittyhawk.
Serbuan udara dimulai pagi hari pukul 05.45, serangan pertama Lapangan Udara Maguwo. Kondisi BKR Udara saat penyerangan tersebut terjadi, belum memiliki sumber daya manusia maupun peralatan terbang. Sebab Badan Keamanan Rakyat (BKR) Udara baru saja dibentuk pada 5 Oktober 1945 yang dikomandoi oleh Komodor Udara Suryadarma. Saat serbuan udara oleh pesawat tempur Militaire Luchtvaart (ML)-KNIL berlangsung, di pangkalan tersebut hanya ada beberapa pesawat Zero bekas Jepang dan sekitar 150 pasukan dalam keadaan yang tidak siap untuk tempur. Sebab hanya ada beberapa senjata saja yang dimiliki, yakni senapan biasa dan senapan antiserangan udara kaliber 12.7 mm.
Seluruh pesawat MI-KNIL terbang dari Lanud Andir, untuk mengelabui bangsa Indonesia semua pesawat tersebut terbang di atas Lautan Samudra Hindia. Kemudian menuju pangkalan udara Maguwo, menyerbu pangkalan udara dengan bom serta tembakan. Serbuan yang terjadi sekitar 25 menit tersebut, lantas melumpuhkan pertahanan bangsa Indonesia yang berada di pangkalan Maguwo. Pada pukul 06: 45, Belanda mulai menerjunkan pasukannya , untuk mengambil alih pangkalan udara Maguwo dan Yogyakarta secara keseluruhan.
Artikel terkait:
Awal Mula
Serangan pasukan militer Belanda pada pangkalan udara Maguwo yang kemudian berlanjut dengan serangan darat tersebut, segera diketahui oleh Jenderal Sudirman. Menanggapi serangan Belanda tersebut, kemudian dikeluarkan Perintah Siasat yang bertujuan supaya pasukan BKR melakukan serangan balik melalui gerilya. Jenderal Sudirman pun meminta presiden, wapres, dan para staf untuk segera meninggalkan ibukota Yogyakarta, namun usulan tersebut ditolak. Kemudian dibuatlah rapat terbatas kabinet sempat diadakan guna menentukan langkah bangsa Indonesia selanjutnya. Berikut hasil dari rapat tersebut.
- Ditunjuknya Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat (PDRI) di Bukittinggi Sumatera.
- Presiden maupun wakil beserta staf berada didalam kota demi tetap dapat berhubungan dengan KTN yang berresiko ditahan pihak Belanda.
- Pemimpin militer mengmankan diri keluar kota dan menyusun strategi serta membentuk wilayah komando di Jawa serta Sumatra.
19 desember 1948, Belanda melumpuhkan ibukota Yogyakarta, lantas tak perlu waktu lama para pemimpin pun diterbangkan keluar jawa untuk diasingkan. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat lalu kemudian ke Bangka. Dan wakil presiden Hatta langsung diterbangkan ke pulau Bangka. Belanda kemudian mengabarkan jatuhnya ibukota Yogyakarta melaui pidato di radio keseluruh penjuru dunia, dan mengatakan bahwa pemerintah RI sudah tidak ada lagi serta perlawanan dari TNI tak berpengaruh apapun.
Meskipun fisik Jenderal Sudirman melemah yang diakibatkan penyakit TBCnya, namun tetap saja memutuskan untuk meninggalkan Kota Yogyakarta untuk bergerilya. Pada 22 Desember 1948, Kolonel A.H. Nasution kemudian mengumumkan berdirinya Pemerintah militer di jawa. Kapten Tjokropranolo seorang anggota staf Sekretariat Markas Panglima Besar, segera menghubungi Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, mantan Menteri Muda Pertahanan masa Kabinet Sjahrir III (1946-1947).
Pasukan yang semula hijrah akibat dari perjanjian Renville kemudian dibangkitkan kembali untuk melakukan wingate (menyusup dibarisan musuh). Seperti pasukan Siliwangi yang mulai pergerakan dari wilayah Jawa Tengah menuju wilayah kantong gerilya yang telah sebelumnya telah disiapkan di Jawa Barat. Perjalanan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Long March Siliwangi. Perjalanan gerilya tersebut amat jauh, sungai diseberangi, gunung, lembah, demi sbuah tujuan untuk kemerdekan segla aral melintang tak jadi halangan.
Diluar kota pasukan TNI kemudian membentuk kantong-kantong pertahanan yang disebut Wehrkreise. Setelah pasukan TNI berhasil melakukan konsolidasi dengan pasukan-pasukan diwilayah-wilayah, yang kemudian melakukan gerilya terhadap pihak Belanda. Sasaran utama penyerangan dari pasukan Indonesia yakni memutus garis komunikasi, sebagaimana berikut:
- Pemutusan kawat sambungan telepon milik Belanda
- Merusak jalur kereta Api
- Penyerbuan mendadak pada konvoi-konvoi pasukan Belanda
Serangan dari pasukan Indonesia yang mulai teroganisir tersebut mulai membuat milter Belanda kewalahan. Serangan gerilya yang dijalankan memiliki tujuan agar memecah konsentrasi militer Belanda yang akhirnya memusatkan kekuatan pada pos-pos kecil untuk saling berhubungan karena alat komunikasi telah di rusak oleh pasukan gerilya. Hal tersebut menjadikan wilayah pos tersebut menjadi medan perang yang luas dan menguntungkan pasukan gerilya, karena lebih menguasai keadaan dan kondisi alam.
Perang gerilya merupakan salah satu strategi perang yang tidak tertulis dan secara resmi tidak terikat didalam peraturan perang. Perang yang di gunakan bangsa Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan perang pada umumnya. Berikut diantaranya.
- Perang terbuka dihindari
- Serangan dilakukan dengan cepat dan tidak terduga serta tak terlihat
- Menggunakan lingkungan disekitar untuk melakukan kamuflase (penyamaran), seperti hutan dan situasi malam yang gelap
- Melakukan penyamaran menjadi orang biasa agar tidak mencolok dan tetap mengawasi pergerakan musuh tanpa disadari
Keadaan mulai berbalik arah, yang dulunya pasukan Indonesia hanya bertindak mempertahankan diri (defensif). Kini mulai lebih berani melakukan penyerangan (ofensif), serngan yang tadinya hanya pada pos-pos jaga kecil dan juga konvoi militer Belanda, selanjutnya pasukan Indonesia lebih berani melakukan serangan pada kota-kota besar yang diduduki oleh militer Belanda. Serangan yang merupakan salah satu puncak dari serangan gerilya tersebut adalah serangan yang dilakukan untuk merebut kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan tersebut hingga sekarang dikenal dengan serangan umum satu maret.
Serangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto, dalam serangan tersebut pasukan militer Indonesia berhasil menguasai dam mengambil alih ibukota dari tangan militer Belanda hanya dengan waktu enam jam. Selain merebut kembali ibukota, serangan tersebut juga membuktikan pada pemerintah dunia bahwa negara republik Indonesia msih ada dan militernya masih bisa melakukan perlawanan.
Artikel terkait:
Akhir Perang
Agresi militer yang dilancarkan oleh militer Belanda kemudian dikethui Dewan keamanan PBB yang bermarkas di Paris. 24 januari 1949 diadakan sidang Dewan Keamanan PBB, dalam sidang tersebut dikeluarkanlah resolusi yang didukung pemerintah Amrika Serikat. Berikut isinya:
- Hentikan segera pertikaian
- Bebaskan segera Presiden beserta pemimpin lainnya yang ditawan sejak 19 Desember 1948
- Memberikan perintah pada Komisi Tiga Negara untuk memberikan laporan tentang suasana di Indonesia sejak peristiwa 19 Desember 1948
Tekanan bukan hanya berasal dari DK PBB namun juga dari masyarakat Internasional lainnya. Dan bahkan negara federasi buatan Belanda pun tak mendukung aksi tersebut. Pihak Amerika serikat pun memberikan ancaman pada pihak Belanda akan menghentikan dukungannya terhadap Marshal Plan Belanda. Hingga tercetuslah sebuah perundingan Roem-Roijen, yang dilakukan demi menghentikan pertikaian senjata diantara kedua belah pihak, yaitu Belanda dan Indonesia.