Homo floresiensis adalah manusia purba berukuran kerdil yang mendiami sebuah pulau terpencil di Negara Indonesia. Jenis manusia purba ini sering dijuluki sebagai hobbit. Julukan ini diberikan oleh peneliti yang menemukan fosil dari genus Homo ini. Kemudian bagaimanakah ciri-ciri Homo floresiensis. Homo floresiensis diperkirakan hidup antara 95.000 sampai 18.000 tahun yang lalu. Tim peneliti yang menemukan Homo floresiensis dipimpin oleh Raden Pandji (Indonesia) dan Mike Morwood (Australia). Tim peneliti tersebut melakukan penggalian sampai kedalaman 5 meter.
Sejarah Homo Floresiensis
Pada penggalian tersebut ditemukan tulang belulang manusia yang berukuran relatif pendek atau kerdil. Temuan kerangka ini selanjutnya disebut Homo floresiensis. Temuan kerangka ini belum seutuhnya mengeras dan membatu (bukan fosil) tetapi lembab dan bertekstur rapuh. Penemuan tulang belulang ini bertempat di Liang Bua yang digunakan untuk pemakaman masal. Liang Bua merupakan tempat yang digunakan untuk pemakaman masal. Pengambilan tulang belulang ini dilakukan dengan perekatan dan pengeringan pada saat pemindahan.
Temuan kerangka Homo Floresiensis yang mendekati utuh berjenis kelamin perempuan. Bagian yang ditemukan adalah bagian tengkorak kepala, tulang badan, dan tiga tungkai tanpa lengan kiri berusia kurang lebih 18.000 tahun. Namu, individu lainnya yaitu 94.000 dan 13.000 dalam penanggalan usia yang didasarkan usia lapisan tanah sekitar temuan kerangka, bukan pendugaan dari tulangnya.
Pada lokasi tersebut juga banyak ditemukan fosil manusia purba, stegodon, biawak, dan tikus yang berukuran cukup besar yang diduga menjadi makanan mereka dahulu. Tim peneliti juga menemukan peralatan yang terbuat dari batu, seperti pisau, mata panah, beliung, dan tulang yang terbakar. Baca juga artikel mengenai berbagai penemuan fosil di Indonesia berupa manusia dan hewan purba.
Ciri-Ciri Fisik Homo floresiensis
Salah satu ciri-ciri Homo floresiensis yang terlihat adalah ciri-ciri fisiknya. Ciri-ciri fisik manusia purba Homo floresiensis yakni sebagai berikut:
Berdasarkan pada ciri-ciri fisik yang telah disebutkan di atas, maka kapasitas cranical Homo floresiensis di bawah dari Homo erectus yang memiliki kapasitas cranial sebesar 1000 cc dan Homo sapiens yang memiliki kapasitas cranial sebesar 1400 cc.
Kontroversi Penemuan Kerangka Homo Floresiensis
Terdapat beberapa pihak yang menampik bahwa tulang tengkorak tersebut bukan dari kelompok manusia. Para peneliti berpendapat bahwa kerangka tersebut merupakan manusia purba yang ditemukan dalam penggalian di Liang Bua yang dahulunya mengidap penyakit microcephali (kepala kecil). Penemuan lain dari fosil Homo floresiensis dilakukan dengan penggalian di cekungan So’a di Flores Tengah. Pada penemuan tersebut ditemukan spesimen rahang dan 6 buah gigi yang dimiliki oleh 3 individu yang berbeda (2 anak kecil dan 1 dewasa).
Pendapat yang menyatakan bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, yang dimotori oleh Profesor Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada. Berdasarkan hasil temuannya, fosil dari Liang Bua berasal dari sekelompok orang katai Flores. Sekelompok orang ini sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut microcephali (kepala kecil) (kepala kecil) (kepala kecil).
Meneurut mereka, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka tersebut terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali (kepala kecil), yaitu bertengkorang kecil dan berotak kecil. Perbedaan pendapat ini sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua disekitarnya dinyatakan tertutup untuk para peneliti asing. Selepas Profesor Jacob wafat pada tahuun 2007, lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada September 2007, para ilmuwan peneliti menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan ini memperkuat bukti bahwa Homo floresiensis bukan termasuk manusia modern melainkan spesies yang berbeda. Hal ini menjadi jawaban terhadap pertentangan yang berasal dari sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuannya menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dri tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.
Selain itu, dua publikasi pada tahun 209 memperkuat pendapat bahwa specimen LB1 lebih primitif daripada Homo sapiens dan berada pada wilayah variasi Homo erectus. Publikasi yang pertama dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan specimen Homo sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri menunjukkan bahwa Homo floresiensis tidak dapat dipisahlan dari Homo erectus dan berbeda dari Homo sapiens normal maupun patologis karena microcephali (kepala kecil).
Analisis kladistika dan statistika morfometri dilakukan terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina) yang dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern microcephali (kepala kecil), beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba. Homo floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaiman dimuat dalam jurnal Significance. Namun, kedua kajian ini tidak membandingkan Homo florosiensi dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita microcephali (kepala kecil).
Kondisi Liang Bua
Karakter rumah adatnya memiliki dinding yang terbuat dari bambu. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani atau buruh proyek. Anak-anak harus berjalan kaki hingga belasan kilometer untuk bersekolah. Beberapa dari mereka memiliki tinggi kurang dari 150 cm. Warga dusun telah mendengar kisah nenek moyang manusia kerdil yang tinggal di gua secara turun-temurun.
Warga Rampasasa mulai meninggalkan kepercayaan lama karena desakan kebutuhan ekonomi. Misalnya seperti larangan mengukur tubuh. Mereka mau diukur tubuhnya demi mendapatkan uang. Selain itu, warga juga bersedia untuk diambil darah untuk uji DNA dengan imbalan uang. Menurut Wahyu Saptomo selaku Ketua Tim Penelitian Liang Bua dari Puslit Arkenas, Homo floresiensis tetap diyakini sebagai spesies berbeda dalam garis evolusi manusia. Manusia purba ini mempunyai pergelangan kaki dan tangan dengan ciri diantara manusia kera dan manusia modern.
Hal ini diperkuat dengan tulang kening yang sangat menonjol, tidak berdagu, dan volume otaknya hanya 430 cc. Hal tersebut berbeda dengan manusia modern yang bervolume otak 1400 cc. Manusia purba ini diperkirakan hidup di zaman pleistosen (2 juta – 12.000 SM). Liang Bua menurut ahli alat batu dari Arkenas, Jatmiko, mempunyai empat lapisan kebudayaan prasejarah dari masa paleolitik (batu tua), mesolitik, neolitik, dan paleometalik (logam awal). Hasil kebudayaan berupa alat batu seperti kapak perimbas mulai dari yang buatannya masih kasar sampai halus dan mata anak panah dari logam.
Masa paleolitik berciri khas berupa perkembangan alat-alat batu dan masih hidup secara berpindah-pindah (nomaden). Masa mesolitik ialah periode peralihan antara Paleolitik (zaman batu tua) dan neolitik (zaman batu muda). Masa neolitik (zaman batu muda) merupakan fase atau tingkat kebudayaan dengan ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan dari batua yang diasah, pertanian menetap, peternakan, dan pembuatan tembikar. Masa paleometalik (logam awal) ditandai dengan hasil kebudayaan berupa alat-alat yang terbuat dari logam.
Tim Arkenas meneliti temuan lain berupa peninggalan artefak batu berusia sekitar 1 juta tahun di Cekungan Sowa, Flores tengah. Berdasarkan temuan arkeologi di Pulau Flores dapat dikatakan bahwa pernah ada peradaban yang sangat tua. Peradaban tersebut setara dengan dunia lama di Pulau Jawa.
Penemuan manusia purba jenis Homo floresiensis di Liang Bua mengindikasikan adanya peradaban Pula Flores yang sudah sangat tua. Fosil ini diduga setara dengan Pithecanthropus erectus yang ditemukan di kawasan Bengawan Solo. Meskipun sempat mengguncang dunia arkeologi, penemuan Homo floresiensis masih menjadi perdebatan hingga kini. Baca juga berbagai jenis artefak ataupun artefak kuno dan macam-macam artefak dari zaman pra sejarah (zaman dimana manusia belum mengenal tulisan).
Inilah penjelasan mengenai ciri-ciri homo floresiensis. Manusia purba yang berasal dari Flores ini memang cukup mengundang kontroversi karena ciri-ciri fisik yang dimilikinya. Selain Homo floresiensis, terdapat juga jenis-jenis manusia purba di Indonesia seperti Homo robustus (baca juga ciri-ciri homo robustus), Meganthropus paleojavanicus (baca juga cara hidup Meganthropus paleojavanicus) yang merupakan manusia pendukung zaman paleolitikum, Pithecanthropus mojokertensis, Pithecantropus soloensis, dan Homo sapiens.
Anda juga dapat mempelajari sejarah manusia purba untuk mengenal zaman prasejarah di Indonesia dengan berkunjung ke Museum Gedung Arca Medan (baca juga sejarah Museum Gedung Arca Medan). Semoga penjelasan ini dapat menambah wawasan Anda mengenai kehidupan manusia purba zaman pra sejarah. Semoga artikel ini bermanfaat.
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…