Masuknya Islam di Jawa Barat
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari para pedagang yang berasal dari tanah Arab. Karena para pedagang Arab selain melakukan perdagangan, mereka juga menyebarkan agama Islam di Indonesia. Bisa dibilang mereka berprofesi ganda, yaitu sebagai pedagang dan da’i.
Termasuk pula masuknya agama Islam ke Jawa Barat juga melalui jalur perniagaan. Daerah Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa merupakan pusat masuknya ajaran agama Islam di Jawa Barat. Daerah Cirebon secara geografis berada di pesisir utara Jawa, atau di tepi pantai sisi sebelah timur ibu kota Pajajaran. Sedangkan daerah Banten, memiliki pelabuhan yang sangat strategis jika dilihat dari letak geografis dan ekonominya. Pelabuhan ini menjadi mata rantai dalam perdagangan dan pelayaran di bagian barat Pulau Jawa dan di bagian selatan Sumatera.
Daerah Sunda Kelapa juga menjadi salah satu daerah masuknya agama Islam ke Jawa Barat. Hal ini dibuktikan bahwa Sunda Kelapa adalah kota pelabuhan yang indah dan ramai dikunjungi para pedagang. Awal mulanya, Sunda Kelapa merupakan pusat pelabuhan Kerajaan Sunda, kemudian Sunda Kelapa diduduki oleh pasukan kerajaan Islam yang berasal dari Cirebon dan Demak di bawah pimpinan Faletehan (1527). Setelah Sunda Kelapa berhasil diduduki oleh pasukan kerajaan Islam yang berasal dari Cirebon dan Demak, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta.
Baca juga Sejarah Kerajaan Demak
Sejarah masuknya agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari penyebaran Islam di tanah Jawa secara umum yang dilakukan oleh Sembilan Wali atau juga dikenal dengan sebutan Wali Songo. Salah satu dari kesembilan wali yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat adalah Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati adalah seorang raja dan juga seorang wali. Sunan Gunung Djati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah.Gerakan Islamisasi oleh Sunan Gunung Djati dilakukan dengan pendekatan agama, politik, ekonomi, dan secara kultural atau melalui kebudayaan. Sebelum Sunan Gunung Djati menyebarkan agama Islam di tanah Jawa Barat, ternyata sudah ada gerakan dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Gerakan ini dipelopori oleh Syekh Quro dan Syekh Nurjati.
Pada tahap awal, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dilakukan oleh dua guru agama Islam yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati yang saat ini merupakan kawasan Gunung Jati. Penyebaran agama Islam yang semulanya berlangsung dari mulut ke mulut, kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga, yaitu pesantren. Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di kawasan permukimannya masing-masing. Seiring berjalannya waktu, selain Syekh Quro dan Syekh Nurjati terdapat beberapa ulama yang ikut menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa Barat. Salah satu ulama tersebut adalah Aria Baya atau juga dikenal dengan sebutan Mbah Aria.
Mengenal Sosok Aria Baya
Aria Baya adalah keturunan dari Raden Angga Dipa. Namun sampai dengan saat ini belum ada penjelasan mengenai silsilah keturunan Raden Angga Dipa. Yang diketahui hanyalah Aria Baya merupakan anak ke-22 dari Raden Angga Dipa.
Baca juga Sejarah Wali Songo
Silsilah keluarga Aria Baya menunjukkan bahwa Aria Baya adalah keturunan keluarga Sukapura. Saat itu, Sukapura merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat. Konon terbentuknya pemerintahan di Sukapura berkaitan erat dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Pemerintahan Sukapura terbagi dalam tiga periode, yaitu:
- Periode Sukapura (1632 – 1628).
- Periode Manonjaya (1829 – 1901).
- Periode Tasikmalaya (1901 – sekarang).
Kabupaten Sukapura bediri setelah Perang Dipati Ukur pada tanggal 16 Juli 1632, yang tertuang dalam Piagam Sultan Mataram. Aria Baya adalah keturunan keluarga Sukapura yaitu dari Dalem Wiria Wangsa yang menjadi bupati pertama Sukapura. Bupati Sukapura I diangkat menjadi bupati oleh Sultan Mataram pada tahun 1632-1674 dan diberi gelar Raden Tumenggung Wiradadaha yang memiliki arti prajurit yang gagah perkasa, serta berani dalam membela keadilan dan kebenaran.
Setelah Bupati Sukapura I tidak menjabat lagi sebagai bupati, maka jabatan tersebut diduduki oleh Dalem Tambela. Kemudian jabatan sebagai bupati diteruskan oleh Raden Angga Dipa. Raden Angga Dipa dikenal dengan sebutan Dalem Sawidak. Sebutan ini menunjukkan bahwa Raden Angga Dipa memiliki 62 orang putra dan putri dari beberapa orang istri. Pada masanya, Sukapura pernah mengalami masa kejayaannya. Hal ini dibuktikan dengan pesatnya kemajuan dan keberhasilan Kabupaten Sukapura pada masa pemerintahan Raden Angga Dipa.
Baca juga Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia
Pada masa pemerintahan Raden Angga Dipa, Kabupaten Sukapura menjadi pusat gerakan Tarekat Satariyah di Asia Tenggara. Ulama besar pemimpin gerakan Tarekat Satariyah yang setia mendampingi Raden Angga Dipa dalam menjalankan pemerintahan yaitu Syekh Abdul Muhyi. Raden Angga Dipa mampu menjadi penopang syiar agama Islam yang berjalan tanpa menimbulkan gejolak dan konflik. Raden Angga Dipa wafat pada tanggal 9 Mei 1726 dan dimakamkan di Baganjing Sukaraja, berdampingan dengan makam Raden Tumenggung Wiradadaha I yang merupakan bupati pertama Sukapura.
Situs Makam Aria Baya
Bagi kebanyakan orang, makam merupakan tempat yang menyeramkan. Tapi beberapa situs makam yang ada di Indonesia memiliki nilai wisata religi yang tinggi. Salah satunya adalah situs makam Aria Baya. Situs makam Aria Baya berlokasi di Desa Pasir Angin, Cipayung, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Untuk mencapai lokasi situs makam Aria Baya, wisatawan dapat menempuh perjalanan dari Kota Cibinong. Kemudian jalan menuju arah selatan kurang lebih sejauh 26 kilometer. Medan yang dilalui salah satunya adalah dengan menyusuri sungai Ciburial yang berada di sebelah barat dengan alur jalan yang berliku-liku pada sebuah perbukitan.
Situs makam Aria Baya dibangun oleh ahli waris Aria Baya sendiri. Dari kejauhan, bangunan makam Aria Baya terlihat sangat indah, megah, dan mewah. Makam Aria Baya dibangun di atas tanah wakaf almarhum H. Aceng atau yang terkenal dengan nama Abuya Ciratim. Luas tanah pada bangunan makam Aria Baya adalah 700 meter persegi. Sedangkan luas bangunan makam Aria Baya berukuran 20×30 meter yang memiliki lantai keramik. Pada bangunan makam juga terdapat kuba yang menjulang tinggi. Diperkirakan kuba tersebut memiliki diameter sekitar 10 meter.
Situs makam Aria Baya juga dilengkapi fasilitas tempat parkir seluas 2000 meter persegi dan juga warung-warung yang berjajar sepanjang 100 meter. Warung-warung tersebut ada yang menjual makanan, minuman, bahkan perlengkapan ritual dan penyampaian pesan seperti buku-buku doa, seperangkat alat sholat, persesajian berupa dupa, kemenyan, air, dan lain sebagainya. Selain warung, terdapat juga tempat beristirahat bagi para wisatawan. Berdasarkan juru kunci makam Aria Baya, jenis makam ini adalah makam keramat yang selalu banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk berziarah atau melakukan ritual lainnya. Aktivitas keagamaan seperti pengajian pada hari Sabtu pagi dan membaca Al-Quran pada hari Jumat malam juga rutin dilakukan di makam Aria Baya.
Artikel terkait: