Masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia mulai mencapai penurunan ketika pada pertengahan tahun 1960an kondisi ekonomi negara terpuruk. Perhatian besar pada bidang politik membuat kondisi ekonomi mengalami imbas dari kebijakan – kebijakan politik Soekarno pada saat itu. Salah satunya adalah kebijakan untuk memutuskan hubungan dengan negara – negara barat yang mempengaruhi tiadanya bantuan asing yang dibutuhkan. Selain itu juga terjadi hiperinflasi dan defisit keuangan negara. Semua itu ditambah dengan terjadinya peristiwa G30S PKI dengan para Tokoh G30S PKI yang menyulut kemarahan rakyat sehingga menuntut Soekarno untuk mundur sebagai pemimpin negara.
Melalui Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966 (Supersemar) yang memberi makna orde baru , akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan mandat kepemimpinan negara kepada Jendral Soeharto. Sejak itulah era pemerintahan yang dikenal dengan nama Orde Baru dimulai. Melalui tangan Presiden Soeharto, berbagai kebijakan orde baru dibuat untuk memulihkan kondisi negara dalam berbagai bidang yang saat itu kacau balau. Untuk mencapai tujuan Orde Baru, ada beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Presiden Soeharto dalam berbagai bidang, antara lain:
Kebijakan Bidang Politik
Beberapa kebijakan politik pada masa orde baru yang ditetapkan oleh pemerintah orba dan Presiden Soeharto yaitu:
- Dibubarkannya Partai Komunis Indonesia dan semua organisasi – organisasi pendukungnya yang berbasis di masyarakat dan di dalam kabinet pemerintahan yang diperkuat melalui surat Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS no. 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 sebagai realisasi dari Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura.
- Memperbaharui kabinet Dwikora dengan mengamankan 15 orang menteri yang dinilai terkait dengan gerakan 30 September 1965 melalui Keputusan Presiden no.5 tanggal 18 Maret 1966. Juga membersihkan lembaga legislatif termasuk MPRS dan DPRGR dari para tersangka G30S PKI.
- Mengembalikan peran dan kedudukan MPRS yaitu diatas Presiden agar sesuai dengan UUD 1945. Soeharto juga melakukan kebijakan orde baru dengan memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak diberi kedudukan sebagai menteri lagi.
- Pelaksanaan pemilihan umum yang lebih sederhana pertama kali pada masa orde baru di tahun 1971 dengan penyederhanaan partai politik dari sejumlah 10 partai menjadi tiga partai saja berdasarkan kesamaan program partai. Partai politik pada masa orde baru yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai – partai nasionalis dan Kristen, lalu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai – partai Islam. Ketiga partai ini sangat dibatasi aktivitas politiknya termasuk pada masa kampanye singkat di masa pemilu.
- Militer diberikan hak secara resmi untuk ikut berperan dalam pemerintahan dengan istilah Dwifungsi ABRI.
- Diwajibkannya pendidikan dan penataran P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila untuk seluruh lapisan masyarakat dan memberlakukan Asas Tunggal Pancasila untuk partai – partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
- Irian Barat dan Timor Timur bergabung dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia walaupun tidak dengan usaha yang mulus.
- Indonesia menjadi pelopor dalam pendirian ASEAN dan juga melakukan beberapa kebijakan politik luar negeri seperti mengakui negara Singapura, memperbaiki hubungan dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB pada tahun 1967.
Kebijakan Bidang Sosial
Untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat pada waktu itu yang berada dalam keadaan terpuruk, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pada orde baru yang menjadi ciri pokok orde baru seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Program Keluarga Berencana dengan slogan “Dua Anak Cukup”, transmigrasi, dan gerakan wajib belajar 9 tahun.
Kebijakan Bidang Ekonomi
Beberapa hal yang menjadi bagian dari kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan orde baru yaitu:
1. Repelita
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah kebijakan orde baru dalam bidang ekonomi yang dimulai pada tahun 1969 sampai tahun 1994. Upaya pemerintah orde baru untuk meningkatkan ekonomi secara nasional berhasil dengan menggunakan Repelita, diantaranya terwujudnya swasembada pangan nasional pada tahun 1984. Repelita dibagi menjadi beberapa tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun) seperti berikut ini:
- Pelita I yang dimulai pada 1 April 1969 – 31 Maret 1974 untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan menekankan pembangunan pada bidang pertanian.
- Pelita II dimulai pada 1 April 1974 – 31 Maret 1979 yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebanyak rata – rata 7 persen setahun.
- Pelita III sejak 1 April 1979 – 31 Maret 1984 yang menekankan tujuan Trilogi Pembangunan.
- Pelita IV sejak 1 April 1984 – 31 Maret 1989 berhasil melaksanakan keluarga berencana dan swasembada pangan serta perumahan.
- Pelita V dimulai pada 1 April 1989 – 31 Maret 1994 menyasar sektor pertanian dan industri untuk ekspor.
- Pelita VI yang bertujuan untuk membangun sektor pertanian dan industri ekspor.
2. Trilogi Pembangunan
Selain itu juga adanya wacana pembangunan nasional dalam istilah Trilogi Pembangunan yang dijadikan landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi dan sosial dalam pelaksanaan pembangunan negara. Ada tiga aspek dalam trilogi pembangunan yaitu:
- Stabilitas ekonomi nasional yang sehat dan dinamis
- Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
- Pemerataan pembangunan serta hasil – hasilnya yang menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.
3. Pemulihan di Bidang Ekonomi Mulai 1966 – 1973
Tujuan dasar dari kebijakan orde baru adalah pembangunan ekonomi negara dengan bergabung kembali ke dalam jajaran ekonomi dunia yaitu menjadi anggota IMF (International Monetary Fund), menjadi anggota PBB kembali dan anggota Bank Dunia pada kurun waktu akhir tahun 1960an. Langkah ini akhirnya memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara Barat dan juga Jepang ke Indonesia. Kemudian untuk mengatasi hiperinflasi, Soeharto mengandalkan para teknokrat ekonomi yang sebagian besar dididik di Amerika Serikat untuk membuat rencana guna memulihkan ekonomi.
Pada akhir 1960an penciptaan stabilitas harga dilakukan melalui kebijakan yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk hutang atau pencetakan uang. Juga membebaskan kontrol pasar untuk memulihkan mekanisme pasar bebas, menerapkan UU Penanaman Modal Asing pada 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968. Penetapan kedua UU ini mengundang investor sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 10% di tahun 1968.
4. Pertumbuhan Ekonomi dan Intevensi Pemerintah (1974 – 1982)
Kebijakan orde baru tetap menjaga pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat diatas angka 5%. Indonesia saat itu juga mendapat keuntungan secara signifikan dari perdagangan minyak di tahun 1970an sehingga sektor publik mampu berperan besar dalam perekonomian dengan berinvestasi dalam pembangunan daerah, sosial, infrastruktur dan mendirikan industri dalam skala besar. Namun sebagai akibat dari rakyat yang merasa diabaikan dari keuntungan ini terjadi sejarah peristiwa Malari pada tahun 1974, yang berawal dari protes terhadap banyaknya pemodal asing di Indonesia. Sejak itu aturan mengenai investasi asing diperketat dan diganti dengan kebijakan memberi perlakuan khusus terhadap pribumi.
5. Ekspor dan Deregulasi sejak 1983 – 1996
Hutang luar negeri bertambah dengan jatuhnya harga minyak sejak awal 1980an dan reposisi mata uang pada tahun 1985 sehingga pemerintah harus melakukan berbagai kebijakan orde baru untuk memulihkan kondisi makroekonomi. Berbagai tindakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi didorong oleh ekspor, seperti pembebasan bea cukai termasuk impor dan pengulangan devaluasi rupiah. Selain itu pemerintah juga mengizinkan berbagai pendirian bank swasta baru, kebebasan bank asing beroperasi di luar Jakarta, yang kemudian justru menjadi masalah yang menambah krisis di Indonesia pada akhir 1990an, selain dari berbagai penyimpangan pada masa orde baru yang juga menjadi faktor penyebab runtuhnya orde baru dan akhir masa pemerintahan Orde Baru.