Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dicatat dalam sejarah Dinasti Tang dikatakan jika di abad ke-7, pantai Timur Sumatera Selatan sudah berdiri Kerajaan Sriwijaya atau She-li-fo-she dan sumber ini diperoleh dari 6 buah prasasti yang ditemukan tersebar di wilayah Sumatera bagian Selatan dan juga Pulau Bangka dan Belitung. Dalam sumber asing dijelaskan banyak sekali tentang Kerajaan Sriwijaya seperti dari Prasasti Ligor yang di bangun pada tahun 775 Masehi di Pantai Timur Thailand bagian Selatan, Prasasti Nalanda pada abad pertengahan ke-9 dan juga prasasti Tanjore pada 1030 Masehi di India.
Artikel terkait:
- Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Lengkap
- Sejarah Kerajaan Majapahit
- Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia
- Asal Usul Nusantara
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di Palembang dan sudah banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti pendeta Tiongkok I Ching yang berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke universitas Nalanda. Ia menulis jika Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut ini kami berikan ulasan mengenai peninggalan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap, silahkan dilihat dibawah ini.
1. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
Artikel terkait:
2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada Prasasti Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai tak tersisa.
Artikel terkait:
- Candi Peninggalan Agama Hindu
- Sejarah Islam di Indonesia
- Sejarah Kota Surabaya
- Sejarah Situs Ratu Boko
3. Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.
4. Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
5. Prasasti Telaga Batu
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm.
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
Artikel terkait:
6. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29 November 1920 oleh M. Batenburg di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, lebih tepatnya di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini memiliki ukuran 45 cm x 80 cm memakai bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini menceritakan tentang seorang utusan Kerajaan Sriwijaya yakni Dapunta Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai perahu. Dalam perjalanan tersebut, ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan beberapa daerah lainnya dan prasasti tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah hilang yang seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M. Boechari diisi dengan nama bulan Asada sehingga penangalan prasasti tersebut menjadi lengkap yakni hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. George Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti ramuan bertuah namun juga bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno Zoetmulder tahun 1995 berarti sukses dalam perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti adalah Sri Baginda yang naik sampan untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan perjalanan tersebut.
Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga lalu menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan kemiripan bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan Minangkabau yaitu eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan Soekmono beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan memiliki arti temuan yaitu pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar Candi Muara Tikus.
Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan yang ada di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan jika armada yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa Sriwijaya dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan dari 2 sungai di Minanga yaitu Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap yakni sebuah daerah di Sumatera Selatan.
Artikel terkait:
- Sejarah Candi Gedong Songo
- Sejarah Kerajaan Tarumanegara
- Sejarah Kerajaan Singasari
- Sejarah Perang Kamang
7. Prasasti Talang Tuwo
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti pada 17 November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80 cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.
Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.
Artikel terkait:
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan isi mengenai kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya seperti pada Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi berdekatan dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari cerita di Dusun Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang bernama Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di tepi Batang Merangin.
Artikel terkait:
- Perkembangan Nasionalisme Indonesia
- Penyebab Terjadinya Pertempuran Ambarawa
- Sejarah Kota Pontianak
- Pahlawan Nasional Wanita
10. Candi Muara Takus
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan tersebut. Candi ini terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi kebanyakan di Jawa yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini adalah tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir kuning dan di dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu, Candi Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.
Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara Takus.
11. Candi Muaro Jambi
Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia Tenggara yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan inggris bernama S.C. Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer. Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan dari abad ke-9 sampai 12 Masehi.
Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh penduduk setempat.
12. Candi Bahal
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di indonesia.
13. Gapura Sriwijaya
Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan roboh karena kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan atau ditempel.
Baca Juga :
Demikian ulasan lengkap yang bisa kami berikan mengenai peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Masih banyak barang bersejarah lainnya dari Kerajaan Sriwijaya yang sudah ditemukan seperti perhiasan, peralatan upacara, peralatan perang dan sebagainya. Semoga bisa menambah pengetahuan kamu seputar sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia.