Polri atau Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah institusi kepolisian nasional Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Motto Polri adalah Rastra Sewakottama. Dalam bahasa Sansekerta, Rastra berarti “bangsa” atau “rakyat” dan Sevakottama berarti “pelayan terbaik”. Motto ini diterjemahkan menjad “Polri sebagai pelayan dan abdi utama negara dan bangsa”. Tugas – tugas kepolisian di seluruh Indonesia merupakan tanggung jawab Polri, yaitu untuk memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Pimpinan Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kapolri. Sejak 13 Juli 2016 jabatan Kapolri diemban oleh Jenderal Polisi Tito Karnavian dan wakilnya Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto.
- Sejarah Polri di Masa Kolonial Belanda
Sejarah terbentuknya Polri bisa dirunut sejak masa kerajaan Majapahit. Pada waktu itu Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut Bhayangkara untuk melindungi Raja dan kerajaan. Karena itulah sosok Gajah Mada menjadi simbol dari Kepolisian RI dan membangun patung Gajah Mada di depan kantor Mabes Polri untuk menghormatinya. Nama Bhayangkara kemudian dijadikan nama pasukan Kepolisian. Kemudian pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pembentukan pasukan keamanan berawal dari pasukan – pasukan jaga orang pribumi di Semarang untuk menjaga aset dan kekayaan orang – orang Eropa sebanyak 78 orang pribumi.
Kepolisian modern Hindia Belanda ini terbentuk sejak 1867 – 1920. Wewenang untuk menjalankan operasional kepolisian dipegang oleh Residen yang dibantu oleh asistennya. Orang Belanda menyebut pasukan ini dengan Rechts Politie, yang dipertanggung jawabkan kepada procureur general atau jaksa agung. Pada masa itu ada berbagai macam bentuk kepolisian seperti veld politie atau polisi lapangan, stads politie atau polisi kota, cultur politie atau polisi pertanian, bestuurs politie atau polisi pamong praja. Perbedaan jabatan dalam organisasi polisi juga diterapkan antara bangsa Belanda dan pribumi, yang tidak diizinkan menjadi hoofd agent atau bintara, inspecteur van politie, dan commisaris van politie.
Dengan kata lain, pada saat itu pribumi tidak boleh memegang jabatan yang tinggi dalam kepolisian. Pribumi hanya dapat memegang jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana dan wedana polisi. Pada akhir 1920 an atau permulaan 1930, pendidikan dan jabatan yang dilarang tersebut dibuka untuk putra – putra pejabat pribumi Hindia Belanda.
- Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, mereka membagi wilayah kepolisian menjadi Kepolisian Jawa dan Madura dengan Jakarta sebagai pusatnya, Kepolisian Sumatra dengan pusatnya Bukittinggi, Kepolisian Wilayah Indonesia Timur di Makassar dan Kepolisian Kalimantan di Banjarmasin. Setiap kantor polisi di daerah dikepalai oleh seorang pejabat pribumi, tetapi selalu didampingi oleh sidookaan, pejabat Jepang yang lebih berkuasa daripada kepala polisi tersebut.
- Periode Kemerdekaan 1945 – 1950
Pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu – Gun tidak lama setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, namun polisi tetap bertugas. Sejarah terbentuknya Polri memasuki babak baru dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejak saat itu berkat makna proklamasi kemerdekaan Indonesia, institusi Polri menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh PPKI.
Inspektur Kelas I atau Letnan Satu Polisi Mochammad Jassin yang seorang komandan polisi di Surabaya memproklamasikan pasukan Polisi RI pada tanggal 21 Agustus 1945. Itu adalah langkah awal yang dilakukan selain melucuti dan membersihkan senjata dari pihak Jepang dan membangkitkan semangat serta moral rakyat serta satuan – satuan bersenjata yang mengalami kelelahan setelah perang berkepanjangan. Tanggal 29 September 1945, R.S.
Soekanto Tjokrodiatmodjo dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri secara administrasi dengan nama Djawatan Kepolisian Negara, dan secara operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Pada 1 Juli 1946 melalui Penetapan Pemerintah tahun 1946 no.11/S.D diputuskan bahwa Djawatan Kepolisian RI bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Sejak itu tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara dalam sejarah terbentuknya Polri.
- Periode Kemerdekaan 1950 – 1959
Pembentukan negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan berlakunya UUDS 1950 dengan sistem parlementer, Kapolri tetap dijabat oleh R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri atau presiden. Kedudukan Polri kembali ke Jakarta menempati bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie, lalu Kapolri merencanakan markas besar di Jalan Trunojoyo 3, Jakarta Selatan yang disebut Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI hingga sekarang. Status kepolisian ada diantara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan mengenai gaji tersendiri. Anggota Polri masuk dalam Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI), tidak ikut Korpri, dan bagi istri polisi telah ada organisasi wanita Bhayangkari sejak zaman revolusi dan tidak mengikuti Dharma Wanita atau Dharma Pertiwi. Ketahui juga mengenai sejarah hari ABRI , peristiwa G30SPKI dan sejarah lahirnya TNI.
- Masa Orde Lama
Sejarah terbentuknya Polri kembali menuju arah yang baru dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Konstituante gagal dan Indonesia kembali kepada UUD 1945. Ketika Presiden Soekarno hendak membentuk ABRI dengan menggabungkan Angkatan Kepolisian dan Angkatan Perang, R.S. Soekanto keberatan dengan alasan menjaga profesionalisme Kepolisian. Ia kemudian mengundurkan diri pada 15 Desember 1959 setelah menjabat selama 14 tahun. Pada 19 Juni 1961, UU Pokok Kepolisian no.13/1961 disahkan oleh DPR-GR berisi kedudukan Polri sebagai salah satu unsur yang sederajat dengan TNI AD, AL, AU dalam ABRI. Keppres no.155/1965 menyamakan pendidikan AKABRI untuk Angkatan Perang dan Polri di Magelang selama satu tahun. Dalam rentang waktu 1964 – 1965, politik NASAKOM Soekarno memungkinkan pengaruh PKI membesar dan menyusup diantara anggota ABRI.
- Masa Orde Baru
Peristiwa G30SPKI mencerminkan tidak adanya integrasi antara unsur – unsur ABRI dalam sejarah terbentuknya Polri. SK Presiden no.132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 menetapkan Pokok – Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Hankam yang menyatakan bahwa ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam termasuk AD, AL, AU dan AK yang masing – masingnya dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab kepada Menhankam/Panglima ABRI, dimulai oleh Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Panglima ABRI pertama. Jabatan Menhankam/Panglima ABRI diserahkan kepada Jenderal M.Panggabean setelah Soeharto dipilih sebagai Presiden.
- Masa Reformasi Hingga Sekarang
Sejarah terbentuknya Polri juga melewati reformasi 1998 yang menandai jatuhnya pemerintahan orde baru dan digantikan oleh pemerintahan reformasi dengan BJ. Habibie sebagai Presiden. Muncul tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan agar dapat menjadi lembaga profesional dan mandiri, jauh dari ikut campur pihak lain dalam bidang penegakan hukum. Maka terbit Instruksi Presiden no.2 Tahun 1999 yang memisahkan Polri dari ABRI. Sejak tanggal 1 April 1999, Polri berada di bawah Dephankam.
Lalu terbit TAP MPR no.VI.2000 dan Tap MPR no.VII/MPR/2000 mengenai peran TNI dan Polri, menyatakan bahwa Polri berada di bawah Presiden secara langsung. Kemudian dalam sejarah pembentukan Polri, keluar UU no.2 tahun 2002 mengenai Kepolisian RI oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menguatkan pertanggung jawaban Kapolri kepada Presiden, pengangkatan Kapolri yang harus disetujui DPR, pembentukan Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden dalam pembuatan kebijakan dan pemilihan Kapolri.
Polri dilarang terlibat dalam politik praktis dan hak pilihnya dihilangkan, begitu juga dengan hak memilihnya, harus tunduk kepada peradilan umum setelah melalui peradilan militer. Reformasi internal juga dilakukan dengan menghilangkan corak militer, merubah paradigma menjadi institusi sipil penegak hukum profesional, penerapan Hak Asasi Manusia, penarikan fraksi ABRI dan Polri dari DPR, merubah doktrin, pelatihan dan juga tanda kepangkatan Polri, dan sebagainya yang diatur dalam Perpres no. 52 tahun 2010 mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI.