Candi Jolotundo dibuat oleh Raja Udayana yang merupakan raja dari Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa, Bali. Raja Udayana menikah dengan seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang yaitu Putri Gunapriya Dharmapatni. Pada masanya, Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang cukup kuat di tanah Jawa. Bahkan Kerajaan Medang melakukan penaklukan di Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, dan melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 991 masehi, Raja Udayana dan Putri Gunapriya Dharmapatni memiliki seorang anak yang bernama Airlangga. Pemberian nama Airlangga memiliki arti air yang melompat.
Sejarah Candi Jolotundo
Candi Jolotundo merupakan wujud rasa cinta Raja Udayana dalam menyambut kelahiran Airlangga. Sehingga pada tahun 997 masehi, Raja Udayana membangun Candi Jolotundo. Namun terdapat sumber lain yang menyebutkan bahwa Candi Jolotundo merupakan tempat pertapaan dari Airlangga setelah mengundurkan diri dari singgasana Kerajaan Kahuripan dan digantikan oleh anaknya.
Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009 masehi. Kerajaan Kahuripan merupakan lanjutan dari Kerjaaan Medang yang telah runtuh pada tahun 1006 masehi. Sumber lainnya juga mengatakan bahwa ketika masih berusia muda, Airlangga mengunjungi daerah Jolotundo dalam rangka untuk menenangkan jiwanya. Airlangga mandi di sumber mata air tersebut dan setelah mandi Airlangga merasakan ketentraman jiwa.
Candi Jolotundo terkenal dengan petirtaannya (pemandian). Konon keberadaan petirtaan tersebut ingin menjelaskan bahwa air yang keluar dari petirtaan tersebut adalah amerta yang seolah-olah keluar dari tubuh Mahameru. Air amerta adalah air yang digunakan dalam kehidupan manusia dan juga para dewa yang berfungsi sebagai air kebaikan untuk umat manusia.
Banyak pihak yang menganggap bahwa sumber mata air yang berada pada Candi Jolotundo memiliki kualitas terbaik setelah air zam-zam yang berada di Mekah. Airnya bersih dan memiliki kandungan mineral yang sangat tinggi. Beberapa pihak percaya air dari sumber mata air Candi Jolotundo memiliki banyak khasiat, seperti dapat menyembuhkan berbagai penyakit sampai mampu membuat awet muda. Sumber mata air ini juga tidak pernah kering walaupun dilanda musim kemarau.
Pada malam satu Suro atau satu Muharam tepat bersinarnya bulan purnama, banyak masyarakat yang mengunjungi Candi Jolotundo, khususnya masyarakat Bali. Mereka datang untuk melaksanakan ritual dengan tujuan ngalap berkah, mensucikan diri, bahkan sampai memandikan pusakanya.
Mitos-mitos yang ada bisa dipercayai ataupun tidak, tergantung dari individu masing-masing. Kita harus tetap bisa menghargai sejarah Candi Jolotundo sebagai bagian dari salah satu situs bersejarah yang dimiliki Indonesia. Baca juga Artikel Terkait lainnya Sejarah Kerajaan Mataram Kuno dan Sejarah Kerajaan Sriwijaya.
Lokasi Candi Jolotundo
Sejarah Candi Jolotundo merupakan salah satu sejarah Indonesia yang didukung dengan bangunan candi. Candi Jolotundo merupakan salah satu candi di Jawa Timur dan salah satu candi di Mojokerto, tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Lokasi candi dapat ditempuh kurang lebih 55 kilometer dari kota Surabaya. Akses jalan menuju candi dapat ditempuh lewat Trawas dengan menyisiri lereng Gunung Penanggungan dengan medan yang cukup berkelok-kelok. Candi Jolotundo juga dapat ditempuh lewat Ngoro Industri Park dengan akses jalan raya yang dilanjutkan dengan melewati perkampungan penduduk.
Secara geografis, Candi Jolutundo berada pada ketinggian kurang lebih 800 meter di atas permukaan laut (Mdpl) dan berada pada bukit Bekel, lereng barat Gunung Penanggungan. Sehingga sesampainya di Candi Jolotundo, wisatawan dihadiahi pemandangan alam yang hijau dan udara khas pegunungan yang sejuk. Harga tiket masuk situs bersejarah ini adalah sebesar Rp 10.000,- untuk dewasa dan Rp 7.500,- untuk anak-anak.
Arsitektur dan Relief Candi Jolotundo
Candi Jolotundo atau juga sering disebut dengan Candi Jalatunda memiliki aritektur dan bangunan yang sangat megah. Pada bagian dinding kanan candi terdapat pahatan yang bertuliskan angka 997 masehi, lalu pada bagian dinding kiri candi terdapat pahatan yang bertuliskan tahun 899 saka atau 977 masehi, dan dibagian dinding kiri belakang candi terdapat tulisan Gempeng. Menurut tafsiran para ahli, tulisan Gempeng tersebut memiliki arti lebur. Jika dilihat dari arsitektur keseluruhan Candi Jolotundo, maka kata Gempeng dapat diartikan sebagai melebur atau memotong. Hal ini memiliki arti, candi yang juga merupakan pemandian ini dibangun dengan memotong lereng Gunung Penanggungan, sehingga situs bersejarah ini seolah-olah melebur menjadi satu kesatuan dengan Gunung Penanggungan.
Dahulu di bagian puncak batur utama terdapat deretan panil relief yang juga memiliki fungsi sebagai jaladwara. Namun saat ini panil-panil relief tersebut sudah tidak lengkap lagi di Candi Jolotundo. Sebagian panil disimpan di Museum Nasional Jakarta, dan sebagian panil lagi hilang. Pahatan pada panil relief menceritakan adegan-adegan dalam kisah Mahabharata, seperti Bhima yang sedang mengamuk dalam kaitan kisah sayembara Dewi Drupadi, kisah Dewi Mrgayawati dengan Raja Udayana dan penggambaran garuda dalam rentetan kisah Kathasaritsagara.
Bangunan Candi Jolotundo
Bangunan Candi Jolotundo berukuran panjang 16,85 meter dan lebar 13,52 meter. Candi Jolotundo disusun dari batu andesit yang dipahat halus. Candi Jolotundo memiliki dua sendang (tempat pemandian) yang berdindingkan batu di sisi kiri dan sisi kanan. Dua sendang tersebut berukuran 2×2 meter menghadap ke Barat. Sumber air atau mata air berada di sisi Timur dan keluar dari lubang yang berada di tengah batu dinding. Jumlah pancuran air pada candi ini adalah 52 pancuran air, dan pancuran ini selalu mengalirkan air disepanjang musim. Kemudian di bagian tengah terdapat kolam bertingkat dan di bawahnya juga terdapat kolam berukuran 6×8 meter yang berisikan ikan-ikan dengan ukuran yang besar. Konon jika mengambil ikan tersebut, maka yang mengambil akan terkena musibah.
Tingkat pertama yang teratas merupakan tempat mata air utama yang condong ke luar dari lereng Gunung Penanggungan. Ketika dulu lapik arca masih ada, pernah bertahta arca dari seorang dewa. Di belakang lapik tersebut terdapat sisa prabhamandala yang berbentuk lingkaran. Tahta tempat lapik arca tersebut berada di batur yang lebih tinggi dari permukaan air kolam tingkat pertama. Pada bagian puncak batur terdapat panil relief layaknya simbar besar yang melebar, kemudian di bagian tengah terdapat lubang untuk mengalirkan air keluar. Tampak pula di sudut-sudut batur jaladwara yang berbentuk mulut makara yang juga berfungsi sebagai pancuran air.
Dari keterangan salah satu pengelola Candi Jolotundo, dua sendang yang ada pada Candi Jolotundo merupakan tempat pemandian para petinggi dan kerabat kerajaan untuk mensucikan diri. Kolam di sisi kiri candi digunakan sebagai tempat mandi laki-laki, sedangkan kolam di sisi kanan candi digunakan sebagai tempat mandi wanita. Dulunya kolam di sisi kiri candi tersebut digunakan oleh sang raja untuk mandi atau berendam, dan kolam di sisi kanan candi digunakan oleh sang ratu untuk mandi atau berendam. Kolam pemandian yang ada pada Candi Jolotundo memiliki kedalaman 5,2 meter.
Di sekitar Candi Jolotundo, terdapat pendopo dan gazebo untuk bersantai menikmati suasana tenang dan sejuknya udara di lereng pegunungan. Kawasan Jolotundo juga dijadikan titik awal menuju 17 candi lainnya yang tersebar di sepanjang jalur pendakian Gunung Penanggungan. Sekitar 1 kilometer sebelum Candi Jolotundo terdapat Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), Seloliman.