Pada masa sebelum terjadinya penjajahan, terdapat dua kerajaan utama di bumi Nusantara yang memiliki andil besar dalam dunia perdagangan internasional. Kedua kerajaan tersebut adalah Sriwijaya dan Majapahit. Perniagaan yang dilakukan pada saat itu belum menggunakan mata uang yang baku sebagai standar penukaran, walaupun memang masyarakat telah mengenal mata uang sederhana yang dipakai sebagai alat pembayaran. Spanyol dan Portugis mempelopori perluasan daerah kekuasaan ke berbagai belahan dunia termasuk Asia pada abad ke 15, yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris dan Perancis dimulai sejak kejatuhan Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada 1453.
Pada abad ke 16 dan 17 berbagai paham mulai berkembang di Eropa, salah satunya Merkantilisme, yaitu sistem ekonomi yang memusatkan wewenang untuk mengatur perekonomian pada tangan pemerintah, dan mendapatkan dana untuk membiayai kegiatan penjelajahan untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada akhir abad ke 18 terjadi Revolusi Industri di Eropa yang berdampak pada pesatnya perdagangan di Eropa dan tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang kelak menjadi cikal bakal lembaga perbankan modern. Kemunculan Bank Van Leening di Belanda, Bank of England, Riskbank, Bank of France yang kemudian berkembang menjadi bank sentral di negaranya masing – masing.
Dunia Perbankan Pada Masa Penjajahan Belanda
Pendirian VOC pada masa penjajahan Belanda di Indonesia mendorong dibentuknya De Bank Van Leening pada 1746 yang dibuat untuk memperlancar aktivitas perdagangan VOC di Indonesia. Bank ini berganti nama menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada 1752, dan merupakan bank pertama yang beroperasi di Indonesia. Memasuki akhir abad ke 18, kekuasaan VOC mengalami kemunduran hingga bangkrutnya VOC dan pengambil alihan kekuasaan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda dan berakhirnya sejarah VOC belanda. Setelah masa pemerintahan Herman Willam
Daendels dan Janssen, Inggris mengambil alih Hindia Timur dan Indonesia diperintah oleh Sir Thomas Stanford Raffles yang menarik mata uang Rijksdaalder dan menggantinya dengan mata uang Real dari Spanyol. Pada tahun 1813 mata uang tersebut diganti dengan Ropij Jawa. Ketika perang melawan Perancis usai, Hindia Timur kembali diserahkan kepada Belanda.
Pemerintah Belanda menganggap kondisi keuangan di Hindia Belanda memerlukan pengaturan dalam bentuk lembaga bank, dan juga kalangan pengusaha di Batavia telah lama mendesak pendirian lembaga tersebut untuk memenuhi kepentingan bisnis yang mereka jalankan. Pada 9 Desember 1826, Raja Willem I memberikan wewenang pada Komisaris Jenderal Hindia Belanda berupa surat kuasa untuk membentuk lembaga bank lewat wewenang khusus yang disebut Oktroi. Pada tanggal 24 Januari 1828 Akte Pendirian De Javasche Bank (DJB) dikeluarkan melalui Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda no.25, dan pengangkatan Mr. C. De Haan sebagai Presiden DJB dan C. J. Smulders sebagai Sekretaris DJB. Oktroi digunakan untuk ketentuan dan pedoman dalam pelaksanaan DJB, dan berlaku setiap 10 tahun. Ketahui juga mengenai sejarah bank Islam, sejarah koperasi dan sejarah berdirinya APEC.
Sejarah Berdirinya Bank Sentral
Peran Bank Sentral di Indonesia sebelum memasuki sejarah berdirinya bank sentral dilakukan oleh De Javasche Bank. DJB pertama kali mencetak uang kertas pada 11 Maret 1828 senilai f 1000, 500, 300, 200, 100, 50 dan 25. Pengeluaran uang dengan nilai yang lebih kecil mewajibkan direksi Bank untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal yang akan diteruskan ke Belanda. Tahun kedua berdirinya, DJB membuka kantor cabang diluar Batavia yaitu di Semarang dan Surabaya. Pada masa perpanjangan Oktroi keempat, lima kantor cabang di Jawa dan di luar Jawa mulai didirikan yaitu di Padang, Makasar, Cirebon, Solo dan Pasuruan. Menjelang berakhirnya Oktroi kelima, didirikan kantor cabang di Yogyakarta.
Ketika usia DJB memasuki 52 tahun atau pada periode Oktroi keenam, dasar pendiriannya diperbarui dengan Akte Pendirian tahun 1881. Dalam akte tersebut, status DJB berubah menjadi Naamlooze Vennotschaap (N.V) dan dianggap sebagai perusahaan baru. Pada masa ini tidak ada penambahan kantor cabang baru, namun kantor cabang Pasuruan ditutup karena selalu merugi. Oktroi DJB terakhir adalah Oktroi kedelapan sebelum berlakunya DJB Wet pada 1922, dan banyak dikeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda.
Ketika Oktroi kedelapan berakhir, pada 31 Maret 1922 dibuat undang – undang untuk De Javasche Bankwet yang berlaku hingga 15 tahun dengan otomatis perpanjangan selama 1 tahun dengan syarat tidak ada pembatalan yang dilakukan Gubernur Jenderal atau pihak direksi bank. Pada masa ini juga terjadi perubahan struktur – struktur jabatan dalam DJB. Perkembangan DJB pada periode ini semakin pesat dengan penambahan 16 kantor cabang dalam sejarah berdirinya bank sentral di Indonesia
Peralihan DJB menjadi Bank Indonesia
Sejarah berdirinya bank sentral di Indonesia memasuki fase baru setelah sempat melewati masa penjajahan Jepang dan kembali direbut oleh Belanda. Adanya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949 menjadi tonggak pendirian bank sentral Indonesia. KMB menghasilkan banyak keputusan penting, salah satunya adalah penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada Desember 1949 sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat atau RIS yang tidak berlangsung lama karena Indonesia kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peralihan ini tidak mengubah kedudukan DJB yang tetap sebagai bank sirkulasi. Simak juga mengenai perundingan Roem Roijen, perjanjian Linggarjati dan sejarah konferensi meja bundar.
Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki peran aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana untuk kegiatan perbankan. Pada saat itu banyak jenis mata uang yang beredar sehingga pemerintah harus melakukan penyeragaman mata uang. Untuk waktu singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan mata uang Oeang Republik Indonesia dan beragam jenis mata uang lainnya. Acuan hukum peredaran uang di Indonesia yang bernama Indischa Muntwet 1912 diganti dengan Undang – Undang Mata Uang 1951. DJB kemudian dinasionalisasi dengan Undang – Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, sehingga menjadi sebuah bank sentral bernama Bank Indonesia.
Tugas Bank Indonesia dalam sejarah berdirinya bank sentral dan sejarah bank Indonesia adalah pada tiga bidang utama yaitu moneter, perbankan dan sistem pembayaran, juga berhubungan dengan pemerintah dan melanjutkan fungsi bank DJb sebagai bank komersial. Undang – Undang Bank Sentral pada tahun 1968 diterbitkan untuk mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral dan terpisah dari bank lain yang memiliki fungsi komersial. Selain itu Bank Sentral juga bertugas membantu kelancaran tugas pemerintah sebagai agen pembangunan, mendorong kelancaran produksi, kelancaran pembangunan dan memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia.
Terbitnya Undang – Undang no.23 tahun 1999 memberikan status sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah bagi Bank Indonesia sehingga memiliki otonomi penuh dalam melaksanakan tugas serta wewenang tersendiri tanpa dicampuri pihak luar, juga wajib mengabaikan mengabaikan intervensi dari pihak manapun juga. Dengan demikian, Bank Indonesia memiliki status dan kedudukan khusus yang tidak sama dengan lembaga negara manapun dalam sejarah berdirinya bank sentral, agar lebih leluasa untuk menjalankan fungsinya dalam otoritas moneter secara independen, efektif dan efisien.