Sejarah Candi ratu boko merupakan salah satu candi populer yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini terletak di Desa Dawing dan Desa Sambireja. Letaknya ada di 19 km sebelah timur dari Kota Yogyakarta dan 3 km sebelah selatan dari Candi Prambanan. Candi Ratu Boko merupakan jenis candi dengan corak hindu dan memiliki letak yang tidak jauh dengan candi candi Hindu lainnya seperti Candi Palosan, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sambisari dan candi lainnya.
Candi Ratu Boko juga terletak di atas puncak bukit dengan tinggi sekitar 200 m. Candi ini memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Hindu di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Meski pun bernama Candi Ratu Boko, situs ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai candi utuh karena merupakan reruntuhan sebuah istana atau keraton. Oleh sebab itu, Candi Ratu Boko kadang juga dikenal sebagai Keraton Ratu Boko.
Baca juga:
- Sejarah Candi Mendut
- Sejarah Kerajaan Majapahit
- Peristiwa Bandung Lautan Api
- Sejarah Istana Al Hamra
Sejarah Candi Ratu Boko
Penemuan dari sejarah Candi Ratu Boko ini dimulai oleh orang Belanda bernama H.J. De Graff. Beliau pada saat itu (sekitar abad ke 17) mendapat informasi dari orang orang Eropa yang berkunjung ke Jawa bahwa ada peninggalan sejarah yang menarik di Bokoharjo. Mereka mengatakan bahwa ada reruntuhan keraton atau istana yang terletak di Bokoharjo tersebut. (Baca Juga : Sejarah Kota Pontianak)
Nama Candi Ratu Boko diambil dari nama seorang raja Mataram bernama Ratu Boko. Candi ini diyakini merupakan reruntuhan istana atau keraton Ratu Boko. Raja Ratu Boko ini diyakini pula sebagai ayah dari Roro Jonggrang yang kita kenal dalam legenda populer Roro Jonggrang. Bila kita melihat sejarah Mataram Kuno pada abad ke delapan, Ratu Boko telah dipergunakan oleh dinasti Syailendra jauh sebelum Raja Samaratungga (yang merupakan pendiri Borobudur) dan Rakai Pikatan (yang membangun Prambanan).
Keturunan dinasti Syailendra yang telah memakai Ratu Boko saat itu adalah Rakai Panangkaran. Meski begitu, ada kisah lain yang cukup terkenal yakni kisah Prabu Boko yang menerangkan bahwa reruntuhan bangunan keraton ini telah ada saat masuknya agama Hindu ke tanah Jawa. Kisah ini cukup populer di kalangan cerita rakyat kuno Jawa. (Baca juga: Candi Peninggalan Agama Hindu)
Sejarah Ratu Boko Berdasarkan Prasasti
Sumber lainnya yang menerangkan tentang sejarah Candi Ratu Boko adalah Prasasti Abhayagiri Wihara tahun 792. Prasasti ini ditemukan di lokasi Candi Ratu Boko. Dalam prasasti Abhayagiri Wihara ini disebutkan bahwa ada seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau dikenal sebagai Rajai Panangkaran dan bangunan wihara di atas bukit yang bernama Abhyagiri Wihara. Abhyagiri Wihara sendiri memiliki arti biara di bukit yang bebas dari bahaya. (Baca Juga : Sejarah Kota Semarang)
Dikasisahkan bahwa Raja Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja pada saat itu untuk mencari ketenangan batin dan memfokuskan diri pada masalah keagamaan. Salah satu caranya adalah dengan membangun wihara yang dinamakan Abhayagiri Wihara di tahun 792. Diketahui bahwa Rakai Panangkaran bergama Budha dan Wihara tersebut digunakan sebagai tempat ibadah agama Budha. (Baca juga: Candi Peninggalan Budha). Dapat dilihat pula warisan corak Budha di Candi Ratu Boko dengan adanya Arca Dyani Budha. Meski begitu, terdapat pula corak agama Hindi di Candi Ratu Boko seperti Arca Durga, Ganesha dan Yoni.
Baca juga:
Arsitektur Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko ini berada di suatu kawasan dengan luas 250.000 meter persegi. Sebagaimana disebutkan di atas, Candi Ratu Boko terletak diatas puncak bukit dengan ketinggian 300 m. Candi atau Istana Ratu Boko ini memiliki cukup banyak bagian bangunan, namun saat ini kawasan tersebut hanya berupa reruntuhan dengan sisa beberapa bekas reruntuhan bangunan keraton atau istana. Berikut adalah bagian bagian dari arsitektur Candi Ratu Boko yang menarik untuk disimak. (Baca Juga : Sejarah Candi Kalasan)
1. Gerbang Utama Candi Ratu Boko
Gerbang masuk ke Candi Ratu Boko terletak di bagian barat situs candi ini. Gerbang masuk sendiri terdiri dari 2 jenis gerbang yakni gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang luar memiliki ukuran yang lebih kecil sedangkan gerbang dalam merupakan gerbang utama Candi yang berukuran lebih besar.
Terdapat gapura luar yang disusun oleh 3 buah gapura paduraksa yang disusun berjajar. Sedangkan di bagian dalam candi, terdapat gapura utama yang memiliki 5 buah hapura paduraksa.
Di gapura dalam atau gapura utama ini, terdapat tulisan Panabwara. Panabwara ini merujuk pada Rakai Panabwara yang merupakan keturunan dari Raja Rakai Panangkaran. Bila melihat dari sejarahnya, Rakai Panangkaran adalah salah satu penguasa Keraton Ratu Boko yan kini menjadi situs Candi Ratu Boko ini.
Baca Juga :
2. Candi Batu Kapur, Candi Pembakaran dan Sumur Suci
Terdapat beberapa candi dalam kompleks Istana Ratu Boko ini. Terdapat Candi Batu Kapur atau Candi Batu Putih yang terletak di bagian timur laut situs ini. Candi ini dinamakan Candi Batu Kapur karena memiliki fondasi dari batu kapur. Bagian atas dari candi ini sudah tidak bersisa.
Sejarawan berpendapat bahwa bagian atas candi ini terbuat dari material kayu yang mudah hancur sehingga tidak bersisa saat ini. Selain Candi Batu Kapur, di dalam Istana Ratu Boko juga terdapat Candi Pembakaran dan Sumur Suci. Candi Pembakaran adalah bangunan yang terletak dibagian depan situs ini sehingga Anda akan melihat bangunan Candi Pembakaran saat pertama kali Anda memasuki gerbang Candi Ratu Boko. Candi Pembakaran terbangun dari bahan batu andesit. Bangunan ini memilki luas 22,6 x 22,33 x 3,82 meter. Dinamakan Candi Pembakaran karena di dalam Candi ini ditemukan abu bekas pembakaran. Di bangunan Candi Pembakaran Anda juga bisa melihat sumur suci yang berukuran 2,3 x 1,8 meter. (Baca Juga : Sejarah Hari Valentine)
Pada musim kering, kedalaman air di sumur ini bisa mencapai 2 meter. Dikisahkan dalam sejarah Ratu Boko, masyarakat menggunakan air di sumur suci ini untuk upacara keagamaan yang berlangsung di Candi Pembakaran. Air dari sumur suci ini d