Jakarta memiliki banyak sekali bangunan cagar budaya yang gaya arsitekturnya berasal dari masa – masa penjajahan Belanda yang merupakan bagian bisu dari sejarah jakarta. Salah satunya adalah Gereja Katedral Jakarta. Gaya arsitekturnya yang sangat mengesankan dengan detil – detil yang bergaya gotik telah memikat banyak pemerhati arsitektur klasik dan juga para wisatawan yang tertarik pada sejarah kota tua jakarta. Bangunannya juga menjadi suatu keberadaan yang mencolok ditengah menjamurnya arsitektur modern yang terkadang tidak memberi kesan antik seperti arsitektur bangunan lama dan antik.
Gereja ini terletak berhadapan dengan masjid Istiqlal, masjid besar yang menjadi pusat peribadahan umat muslim di Jakarta. Di bagian atap gereja terdapat simbol salib Katolik, yang menjadi ciri khasnya. Gereja Katedral Katolik sebenarnya tersebar di beberapa tempat di Indonesia, namun gereja katedral terbesar ada di Jakarta. Arsitekturnya yang klasik bahkan kerap menjadi tempat berlangsungnya pernikahan para selebriti seperti Sandra Dewi. Sejarah berdirinya gereja katedral jakarta ini memiliki kisah yang cukup panjang, dimulai sejak tahun 1800-an.
Sejarah Berdirinya Gereja Katedral Jakarta
Gereja Katedral Jakarta merupakan bagian dari sejarah berdirinya gereja katolik di seluruh dunia dan sejarah berdirinya gereja katolik di Indonesia, juga dikenal dengan nama Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga atau dalam bahasa Belanda De Kerk van Onze Lieve Vrouwe Ten Homelopneming diresmikan pada tahun 1901. Pembangunannya menggunakan arsitektur Neo Gotik yang berasal dari Eropa dan merupakan gaya yang sangat lazim digunakan pada pembangunan gereja beberapa abad lampau. Sejarah berdiri dari gereja katedral jakarta sejak tahun 1800-an hingga kini yaitu:
Perkembangan Gereja Katedral Periode 1807 – 1826
Sejarah berdirinya gereja katedral jakarta bisa dikatakan dimulai ketika Paus Pius VII mengangkat prefek apostik bagi Hindia Belanda pada 1807, yaitu pastor Nelissen dan mengutusnya bersama pastor Lambertus Prinsen untuk datang ke Jakarta. Pengangkatan ini dilakukan setelah adanya persetujuan dari Raja Louis Napoleon untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda. Sejak itulah penyebaran misi serta pembangunan gereja Katolik di kawasan nusantara dimulai. Kedua pastor tiba pada tahun 1808 di Pelabuhan Pasar Ikan, dan menemui Dokter FCH Assmus untuk mendiskusikan pendirian gereja katolik di Batavia.
Pastor Nelissen kemudian mendapat pinjaman rumah bambu yang kini digunakan sebagai gedung Departemen Agama. Kemudian pada tanggal 2 Februari 2010 Pastor Nelissen mendapat pinjaman sebuah kapel dari Gubernur Herman Daendels di jalan Kenangan, daerah Senen. Karena kapel ini dianggap kurang layak sebagai tempat ibadah, maka kapel diserahkan kepada Tjung Sun, seorang pengusaha yang merenovasinya dengan bantuan arsitek Jongkind. Di bulan yang sama pula, gereja itu kemudian diberkati dan dinamakan Santo Ludovikus. Sayangnya pada 27 Juli 1826 terjadi kebakaran hebat di daerah Senen dan gereja tersebut juga turut terbakar beserta 180 rumah warga hingga menjadi abu.
Perkembangan Gereja Katedral Periode 1827 – 1890
Pada tahun 1825 – 1830 seorang Komisaris Jenderal bernama Du Bus de Ghisignies yang merupakan seorang Katolik Belgia membebaskan semua orang terutama di Batavia untuk memeluk agama apapun yang diyakini. Ia memberi kesempatan pada Dewan Gereja Katedral untuk membeli tempat baru. Kantor Departemen Pertahanan bekas kediaman panglima tentara bernama Jenderal de Kock dibeli dengan harga 20 ribu gulden, dimana gereja mendapat pengurangan harga 10 ribu gulden dan pinjaman dari pemerintah sebesar 8000 gulden tanpa bunga yang harus dilunasi selama 1 tahun. Gisignies kemudian mendesak Ir.Tromp untuk merancang gereja berbentuk salib yang bercorak barok, gotik dan klasisisme dengan jendela yang bercorak neo gotik, fasad bergaya barok, pilaster dan sisi kanan serta kiri bercorak klasisistis, menara yang agak pendek ditambah kubah kecil di atasnya. Ghisignies memberi hadiah berupa altar agung untuk gereja tersebut, yang diberkati pada tanggal 6 November 1829 oleh Monsigneur Prinsen lalu diberi nama Santa Maria Diangkat ke Surga.
Gereja tersebut mulai mengalami banyak kerusakan seiring dengan pertambahan usia bangunannya sedangkan perbaikan yang dilakukan tidak menyeluruh. Pada tahun 1859 dilakukan renovasi yang cukup besar untuk gereja tersebut, dan diketahui bahwa menara yang berada di bagian tengah atap merupakan sumber penyebab kerusakan dan kebocoran karena terlalu berat bagi struktur atap gereja, menekan tembok dan menimbulkan kebocoran. Renovasi dilakukan dengan membongkar menara tersebut dan menggantinya dengan menara baru yang letaknya diatas pintu masuk sebelah barat. Setelah selesai direnovasi, pada 31 Mei 1880 gereja mulai difungsikan kembali.
Sekitar 10 tahun kemudian kembali ditemukan bagian – bagian gereja yang mulai rusak, dilihat dari penumpukan pasir dan kapur di dekat sebuah pilar yang membuat para imam cemas, terutama Pastor Kortenhorst. Pada hari yang sama, beliau dan Pastor Luypen memeriksa gereja dan menemukan ada salah satu pilar yang tampak mengkhawatirkan kondisinya serta banyak kapur yang rontok. Ketika para pastor memasuki sakristi, bangunan gereja ambruk pada pukul 10.45 pagi dengan kondisi sangat parah sehingga tidak mungkin digunakan untuk penyelenggaraan misa sehingga untuk sementara waktu, misa diadakan di dalam garasi kereta kuda. Simak juga sejarah berdirinya tugu monas, sejarah berdirinya gedung pancasila dan sejarah patung pancoran.
Perkembangan Gereja Katedral Periode 1891 – 1901
Pendirian gereja baru kemudian diupayakan dengan penandatanganan kontrak antara Monseigneur Claessens dan seorang pengusaha bernama Leykam pada 1890 tentang pembelian batu bata sejumlah tiga juta, dengan ukuran sesuai contoh yang dilampirkan dan berharga 2,2 hingga 2,5 sen setiap batanya. Pembangunan gereja kali ini dilakukan dengan lebih profesional, terbukti dengan adanya berbagai ketentuan mengenai bahan bangunan tersebut. Misalnya, jumlah batu bata yang retak atau pecah dalam setiap pengiriman tidak boleh melebihi 10%. Pemrakarsa pembangunan gereja dan perancangnya adalah Pastor Antonius Djikmans, seorang ahli pembangunan yang pernah mempelajari kursus mengenai gereja di Paris dan Cuypers di Belanda. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Carolus Wenneker, seorang pro vikaris. Sayangnya ketika pembangunan sudah berjalan kurang lebih setahun, kurangnya biaya kemudian membuatnya terhenti.
Djikmans kemudian tidak bisa melanjutkan pekerjaan pembangunan ini pada tahun 1894 karena sakit dan ia kemudian pulang ke Belanda. Pembangunan yang macet membuat misa tetap dilakukan di garasi pastoran, lalu Uskup Mgr E.S.Luypen SJ mengumpulkan dana di Belanda. Sejarah berdirinya gereja katedral jakarta kemudian diambil alih oleh Cuypers Hulswit hingga diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Uskup Mgr E.S.Luypen SJ., Vikaris Apostolik Jakarta. Sejak saat itu Gereja disebut Katedral karena terdapat Tahta Uskup atau Cathedra di dalamnya.
Perkembangan Gereja Katedral 1901 – Masa Sekarang
Tahun 1924 dilakukan pentahbisan seorang Uskup untuk pertama kalinya di gereja ini, yaitu Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, kemudian diadakan sidang pertama Majelis Wali – Wali Gereja Indonesia pada tahun berikutnya. Kemudian pada tahun 1961, diumumkan bahwa gereja di Indonesia bukan lagi merupakan daerah misi melainkan telah menjadi gereja bagian yang dapat berdiri sendiri setelah kedatangan Kardinal Agaginian pada 1959. Pada tahun 1988 dilakukan pemugaran untuk memperbaiki kerusakan dan membersihkan lumut yang mulai tumbuh dan juga mengecat ulang gereja, membangun gedung pastoran serta gedung pertemuan baru di belakang gereja.
Kunjungan Paus Paulus VI pada 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 juga turut menorehkan cerita tersendiri pada sejarah berdirinya gereja katedral jakarta. Pemugaran gereja kemudian diresmikan pada 13 Agustus 1988 oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Soepardjo Rustam yang mewakili Presiden Soeharto. Kemudian pada tahun 2002 sempat pula dilakukan pembersihan dan juga pengecatan ulang dinding luar gereja untuk kembali membersihkan lumut yang tumbuh di dindingnya dengan cara merambat. Keberadaan gedung gereja ini hingga berusia 187 tahun tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya gereja katedral jakarta yang menggunakan material terbaik pada pembangunannya dulu.