Gedung Pancasila adalah salah satu gedung bersejarah yang letaknya ada di Jakarta, Indonesia. Nama Pancasila berasal dari tema pidato yang disampaikan oleh Soekarno di gedung tersebut pada 1 Juni 1945, saat beliau menjelaskan tentang konsep Pancasila berupa falsafah yang melandasi bangsa Indonesia. Gedung ini adalah salah satu bangunan peninggalan kolonial pada abad ke 19 di Jakarta dan saat ini dimiliki oleh Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, beralamat di Jalan Pejambon no. 6, Jakarta Pusat.
Pada tahun 2017 diadakan upacara memperingati hari lahirnya Pancasila di gedung ini untuk pertama kali, karena disinilah tempat dimana Pancasila diperkenalkan untuk pertama kalinya pula. Tidak hanya menjadi saksi sejarah lahirnya Pancasila, namun hingga sekarang gedung ini terus menjadi saksi sejarah dari berbagai peristiwa penting seperti Piagam Jakarta dan Rancangan Undang – Undang yang dibuat sebelum proklamasi kemerdekaan. Gedung ini tidak terbuka untuk umum, sehingga tidak banyak orang yang dapat melihat isi di dalam gedung tersebut.
Pembangunan Gedung Pancasila
Sejarah berdirinya Gedung Pancasila dimulai dari sebuah lahan yang dulunya terletak di lingkungan Weltevreden, sisi timur Bovenstad ( kota atas) dan pada awalnya merupakan sebidang tanah yang diakuisisi oleh Cornelis Chastelein pada 6 Maret 1697. Daerah ini sekarang berada di timur jalan Medan Merdeka. Gedung ini merupakan satu dari banyaknya gedung pemerintahan yang dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, terutama di sekitar Taman Pejambon dan Lapangan Banteng. Pada tahun 1830an, gedung ini dibangun dan didesain oleh arsitek J. Tromp dengan gaya Neo Klasik , didominasi warna putih dengan tiang – tiang atau pilar penyangga yang kokoh di bagian depan gedung, juga dikelilingi lampu – lampu gantung dan jendela besar. Gedung ini awalnya dibuat untuk rumah tinggal Hertog Bernhard, yaitu seorang berkebangsaan Jerman yang menjabat sebagai Panglima Angkatan Perang Kerajaan Belanda dan merangkap sebagai Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
Alih Fungsi Sebagai Gedung Volksraad
Pada tahun 1916 Hertog Bernhard dipindah tugaskan ke Bandung seiring dengan pindahnya Departemen Urusan Peperangan Hindia Belanda, maka rumah tersebut dialih fungsikan sebagai gedung sidang untuk Dewan Rakyat. Pada tahun 1918 gedung ini diresmikan dan juga akan digunakan sebagai tempat pertemuan dewan rakyat atau Volksraad yang diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jendral J.P. Van Limburg Stirum dan Thomas Bastiaan Pleyte yang ketika itu menjabat sebagai menteri urusan koloni Belanda. Sidang – sidang dilakukan di ruangan inti yang berbentuk semacam aula di dalam gedung ini.
Menurut informasi dari katalog pameran yang ada pada acara peringatan hari ulang tahun Batavia ke 300, gedung ini juga pernah digunakan sebagai tempat untuk pertemuan anggota dewan Hindia – Belanda atau Raad Van Indie. Gedung baru untuk Raad Van Indie kemudian dibangun pemerintah Hindia Belanda di sebelah barat gedung Volksraad, alamatnya di jalan Pejambon no.2, Jakarta Pusat.
Volksraad merupakan dewan yang memiliki wewenang sangat terbatas, karena pada awalnya hanya diberi hak untuk memberi nasehat kepada pemerintah, namun pada tahun 1927 Volksraad kemudian diberikan kewenangan lebih untuk membuat undang – undang bersama Gubernur Jendral. Akan tetapi, kewenangan lebih yang didapatkan Volksraad tersebut ternyata tidak berarti banyak, karena hak untuk memveto dipegang oleh Gubernur Jendral. Disebutkan bahwa jumlah anggota Volksraad pada suatu masa secara keseluruhan pernah mencapai sebanyak 60 orang dimana 30 orang dari jumlah tersebut adalah wakil dari rakyat Indonesia. 19 orang wakil rakyat Indonesia dipilih langsung, 25 orang wakil bangsa Belanda, 4 orang dari perwakilan masyarakat keturunan Tionghoa, dan satu orang perwakilan dari keturunan Arab.
Sidang di gedung Volksraad diadakan dua kali per tahun. Tanggal 15 Mei selalu menjadi tanggal sidang pertama dan hari Selasa pada minggu ketiga Oktober adalah hari sidang kedua. Sekali sidang membutuhkan waktu selama empat setengah bulan. Sejak dibentuk pada tahun 1927, 14 tahun kemudian pada tahun 1941 Volksraad hanya bisa mengajukan enam rancangan atau hasil sidang berupa rancangan undang undang, yang dicapai hanya setelah beberapa orang anggotanya yaitu Salim, Stokvis, Soetadi dan Djajadiningrat mengeluarkan kritik pada tahun 1923. Mereka menyatakan bahwa selama perkembangan Volkstraad sejak tahun 1918, hasil – hasil yang dicapai tidak ada. Hasil sidang Volksraad yang diterima oleh pemerintah kolonial hanya tiga, itu berarti memang hampir sepanjang berlangsungnya masa sidang Volksraad, hampir tidak ada hasil yang berarti yang dicapai para anggotanya.
Pembentukan Cho Sangi In dan BPUPKI
Perang Belanda dan Jepang diumumkan oleh pemerintah Belanda sejak Jepang menyerang Pearl Harbor pada tahun 1941. Pertahanan Belanda terdesak dalam waktu singkat ketika berusaha menghadapi serangan dari Tentara Jepang ke 16 yang dipimpin Letnan Jenderal Imamura. Panglima Angkatan Bersenjata Belanda, Letnan Jendral Ter Poorten menyerah tanpa syarat atas nama tentara sekutu di Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942.Kemudian pada tahun 1943, pemerintah militer Jepang di Indonesia membentuk Cho Sangi In atau Badan Pertimbangan Pusat di Jakarta.
Pada zaman Jepang sejarah berdirinya gedung Pancasila ini memasuki lembaran baru ketika dibentuknya Cho Sangi In sebagai badan yang bertugas untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah, juga menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan pemerintah terkait masalah politik mengenai tindakan apa yang harus dilakukan pemerintah militer Jepang. Ketahuilah juga mengenai sejarah gedung sate, sejarah kota tua jakarta, dan sejarah berdirinya istana bogor.
Total jumlah anggota Cho Sangi In adalah 43 orang, terdiri dari 23 orang pilihan Saikou Shikikan (Penguasa Tertinggi Pemerintah Militer Jepang), 18 orang utusan dari tiap wilayah keresidenan dan juga Batavia, lalu 2 orang utusan yang berasal dari Yogyakarta dan Surakarta. Gedung Volksraad kembali digunakan sebagai tempat untuk sidang – sidang yang diadakan oleh badan pertimbangan buatan Jepang, sehingga nama gedung pada saat itu lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Gedung Cho Sangi In. Empat komisi dibentuk pada 16 – 20 Oktober 1943 untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan dari Saikou Shikikan yang bertujuan untuk memenangkan perang Pasifik.
Ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang Pasifik, sejarah pembentukan BPUPKI dimulai. Mereka membentuk Dokuritsu Junbi Chosakai (Badan Penyelidik Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) yang kemudian juga menggunakan gedung Volksraad sebagai tempat untuk menyelenggarakan sidang – sidang yang berkaitan dengan BPUPKI. Soekarno melayangkan kritik keras kepada BPUPKI pada 1 Juni 1945 karena tampak tidak ada niat untuk membantu merancang kemerdekaan Indonesia, yang membuat BPUPKI akhirnya mulai bekerja keras dan bersidang mengenai pembentukan dasar negara Indonesia. Rapat – rapat atau sidang BPUPKI tersebut menghasilkan bentuk awal dari Pancasila sehingga gedung Volksraad dianggap sebagai tempat kelahiran Pancasila. Maka nama gedung Volksraad berubah menjadi Gedung Pancasila pada 1 Juni 1945. Anda juga dapat menyimak sejarah lawang sewu, peristiwa bandung lautan api, dan sejarah berdirinya tugu monas.
Gedung Pancasila Setelah Kemerdekaan
Sejarah berdirinya gedung Pancasila pada periode awal kemerdekaan kemudian beralih kepemilikan kepada Departemen Luar Negeri, kemudian kembali dialihkan kepada Kementrian Luar Negeri pada awal tahun 1950. Selama periode tahun 1960an gedung Pancasila digunakan untuk mendidik para calon diplomat Indonesia. Di masa sekarang, gedung ini terutama digunakan untuk mengadakan acara – acara penting yang diselenggarakan Kementrian Luar Negeri, kegiatan – kegiatan internasional untuk kunjungan para petinggi negara asing ke Indonesia, acara penanda tanganan perjanjian dengan negara dan organisasi internasional, pertemuan bilateral antar negara, resepsi diplomatik, jamuan makan resmi dan tidak resmi kenegaraan.