Kerajaan – Sejarah Lengkap Sejarahwan Sat, 18 Jan 2020 05:40:43 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.8.6 Silsilah Kerajaan Demak Sebagai Kerajaan Islam Pertama /indonesia/kerajaan/silsilah-kerajaan-demak Sat, 18 Jan 2020 05:38:16 +0000 /?p=5483 Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan Islam yang pertama dan terbesar di pantai utara Jawa. Sesuai dengan tradisi Jawa, sebelumnya Demak…

The post Silsilah Kerajaan Demak Sebagai Kerajaan Islam Pertama appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan Islam yang pertama dan terbesar di pantai utara Jawa. Sesuai dengan tradisi Jawa, sebelumnya Demak adalah kadipaten dari Majapahit sebagai kerajaan hindu- budha yang muncul sebagai kekuatan baru yang mewarisi kekuatan Kerajaan Majapahit.

Demak tercatat sebagai pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Para Wali Songo disebut – sebut berjasa dalam pendirian Kerajaan Demak, karena dalam upaya menyiarkan agama Islam mereka menjadikan Demak sebagai pusatnya.

Atas dukungan para wali songo khususnya Sunan Ampel, Raden Patah ditunjuk sebagai penyiar agama Islam di Demak. Ia adalah keturunan Majapahit yang menikah dengan putri dari Campa.

Raden Patah juga membuka pesantren yang berlokasi di Glagah Wangi, yang segera saja mengundang minat masyarakat. Perlahan desa tersebut berubah menjadi pusat perdagangan, dan berkembang menjadi Kerajaan Demak.

Secara resmi Kerajaan Demak resmi berdiri beberapa waktu setelah kerajaan Majapahit runtuh, yaitu pada tahun 1481 M atau 1403 Saka. Daerah kekuasaannya mencakup kota Banjar, Palembang, Maluku dan bagian utara pantai pulau Jawa.

Silsilah Raja – Raja Kerajaan Demak

Pada awalnya Kerajaan Demak hanya terdiri dari wilayah seperti Glogoh atau Bintoro yang masih menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Majapahit runtuh, Kerajaan Demak perlahan – lahan mulai menampakkan potensinya sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan berkat usaha para Wali Songo dan menjadi bagian dari sejarah Islam di Indonesia.

Pada saat itu wilayah – wilayah Majapahit yang tersebar atas kadipaten bahkan saling serang demi klaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sementara pada saat itu Demak adalah wilayah yang mandiri, dan dianggap sebagai penerus langsung Majapahit melalui Raden Patah yang menjadi putra terakhir Majapahit.

Demak juga menjadi kerajaan di Indonesia yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur nusantara. Silsilah kerajaan Demak dimulai dari pendirinya, yaitu Raden Patah.

1. Raden Patah

Raden Patah adalah putra dari Raja Brawijaya dari Majapahit dan seorang putri dari Campa. Ia memiliki lima orang anak yaitu Pati Unus, Pangeran Sekar Seda Lepen, Sultan Trenggana, Raden Kanduwuran dan Raden Pamekas.

Raden Patah menjabat sebagai Raja Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar al Fatah atau Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama selama 18 tahun sejak tahun 1500 – 1518. Selama masa pemerintahannya, Raden Patah membangun masjid agung Demak dan alun – alun di tengah kota Demak.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, kedudukan Demak sebagai pusat penyebaran agama Islam semakin meningkat. Kekuasaan Demak melebar hingga ke Sukadana (Kalimantan Selatan), dan Jambi hingga Palembang. Kebesaran Demak yang bertambah menyebabkan ancaman terhadapnya juga semakin besar.

Raden Patah kemudian mengutus Pati Unus untuk merebut Malaka dari tangan Portugis, dibantu oleh Aceh dan Palembang. Penyerbuan itu dilakukan pada tahun 1512 dan 1513 dengan 90 buah jung dan 12000 tentara. Namun upaya tersebut gagal karena kekurangan persenjataan.

2. Pati Unus

Anak dari Raden Patah ini adalah Raja Demak yang masa pemerintahannya paling singkat yaitu mulai 1518 – 1521. Namun demikian, ia tetap mampu menggertak Portugis dengan upayanya tersebut.

Gelar Pangeran Sabrang Lor (Pangeran yang pernah menyeberang ke Utara) diberikan kepadanya karena keberanian dalam melawan Portugis untuk merebut Malaka. Pati Unus juga dikenal dengan nama Yat Sun atau Adipati Unus, selain nama aslinya yaitu Raden Surya.

Pada tahun 1521 Pati Unus memimpin penyerbuan kedua ke Malaka untuk melawan Portugis dan gugur dalam pertempuran tersebut. Ia digantikan oleh Sultan Trenggana, adik kandungnya karena tidak memiliki keturunan. Peninggalan kerajaan demak ada pada peninggalan kerajaan Islam di Indonesia dalam sejarah kerajaan Banten.

3. Sultan Trenggana

Sultan Trenggana dalam silsilah Kerajaan Demak dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan membawa Demak mengalami masa kejayaan dibawah pemerintahannya. Wilayah kekuasaan Demak juga meluas hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ia mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Fatahillah pada 1522 untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Pada saat itu Portugis sedang berusaha menjalin hubungan dengan Kerajaan Sunda, dan Sultan Trenggono berusaha mencegah agar Portugis tidak menguasai wilayah Sunda Kelapa dan Banten yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda.

Keberhasilan mengusir orang – orang Portugis juga membuat Fatahillah berhasil mengusasai Banten dan Cirebon. Setelah itu, satu persatu daerah kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa Timur juga ditaklukkan seperti Wirosari pada 1528, Tuban pada 1528, Madiun pada 1529, Lamongan, Blitar dan Pasuruan serta Wirosobo pada 1541 – 1542.

Mataram, Madura , Blambangan dan Pajang akhirnya juga jatuh kepada kekuasaan Demak. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana akhirnya menikahkan putrinya dengan Pangeran Langgar yang menjadi Bupati Madura.

Kemudian putra dari Bupati Pengging yang bernama Tingkir juga dijadikan menantunya dan diangkat sebagai Bupati Pajang. Fatahillah juga dinikahkan dengan adiknya, dan Pangeran Pasarehan (Raja Cirebon) dinikahkan dengan salah satu putrinya yang lain. Masa kekuasaannya dalam silsilah Kerajaan Demak berakhir ketika Sultan Trenggana meninggal pada 1546 ketika sedang bertempur di Pasuruan.

4. Sunan Prawoto

Setelah wafatnya terjadi perselisihan mengenai penerus kerajaan Demak. Perseteruan ini dimulai sejak wafatnya Pati Unus yang tidak memiliki keturunan dan digantikan oleh Trenggana. Walaupun setelah Pati Unus ada Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin), ia bukanlah putra dari permaisuri Raden Patah.

Seda Lepen adalah putra dari selir, putri dari Bupati Jipang. Perebutan tahta dimenangkan oleh Trenggana. Prawoto membunuh Raden Kikin untuk mendukung ayahnya.

Oleh karena itu dalam silsilah Kerajaan Demak seharusnya yang menggantikan Sultan Trenggana adalah Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawoto sebagai putra tertuanya karena ia adalah keturunan permaisuri. Sunan Prawoto sempat memerintah selama beberapa saat, namun ia lebih nyaman hidup sebagai ulama daripada sebagai raja.

Karena kesibukannya sebagai ulama, satu persatu daerah kekuasaan Demak berhasil berkembang bebas tanpa bisa dihalangi. Dibawah pemerintahannya, pusat pemerintahan Demak dipindahkan ke Prawoto dari Bintoro. Ia bercita – cita untuk mengislamkan seluruh Jawa dan ingin memiliki kekuasaan seperti Sultan Turki, menutup jalur beras ke Malaka.

5. Arya Penangsang

Masa pemerintahan Sunan Prawoto berjalan singkat karena ia dibunuh oleh suruhan  Arya Penangsang. Arya Penangsang yang merupakan putra Pangeran Sekar Seda Lepen, saudara Sultan Trenggono kemudian mengambil alih tahta.

Ia juga membunuh putra Pangeran Prawoto, Pangeran Hadiri dan istri Sunan Prawoto melalui orang suruhannya, Rungkud. Pusat pemerintahan dipindahkan oleh Arya Penangsang ke Jipang, dekat Cepu. Walaupun Arya Penangsang yang sudah menjadi Bupati Jipang didukung Sunan Kudus, namun keluarga kerajaan tidak merestuinya.

Ia dikalahkan oleh Ratu Kalinyamat dan Aria Pangiri berkat bantuan dari Jaka Tingkir (Hadiwijaya). Hadiwijaya bersama Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi berhasil menaklukkan Arya Penangsang. Arya Penangsang dibunuh oleh Danang Sutawijaya, anak angkat Hadiwijaya pada 1549 berkat taktik dari Ki Juru Martani.

Sejak itu wilayah kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang pada 1586. Ini adalah akhir dari kekuasaan Kerajaan Demak dan akhir dari silsilah Kerajaan Demak. Sebagai gantinya, mulailah sejarah dari Kerajaan Pajang pimpinan Joko Tingkir. Kerajaan Demak juga masuk pada sejarah berdirinya Banten yang menjadi salah satu kerajaan Islam terkuat di Nusantara.

The post Silsilah Kerajaan Demak Sebagai Kerajaan Islam Pertama appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah Perang Bali Melawan Belanda /indonesia/kerajaan/sejarah-perang-bali-melawan-belanda Sat, 18 Jan 2020 05:03:10 +0000 /?p=5479 Bali merupakan salah satu pulau di Kepulauan Sunda yang terletak di bagian Timur pulau Jawa. Jarak bentang pulau Bali sepanjang 105 mil. Pulau Bali pernah dikunjungi oleh Cornelis de Houtman…

The post Sejarah Perang Bali Melawan Belanda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Bali merupakan salah satu pulau di Kepulauan Sunda yang terletak di bagian Timur pulau Jawa. Jarak bentang pulau Bali sepanjang 105 mil. Pulau Bali pernah dikunjungi oleh Cornelis de Houtman secara baik – baik, namun dalam perkembangannya hubungan dengan Bali justru memburuk.

Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan setempat di Bali mengadakan perjanjian pada 1841 dan 1843 namun tidak berjalan dengan baik. Raja Buleleng berkali – kali melanggar perjanjian dan pemerintah Hindia Belanda mempersoalkan tradisi tawan karang, yaitu tradisi Bali yang mengklaim kapal beserta isinya yang karam dan terdampar di pesisir Bali.

Pemerintah Hindia Belanda menganggapnya tidak dapat diterima dalam hukum internasional dan tidak dapat membiarkan perlawanan yang dilakukan rakyat Bali karena akan memancing wilayah lain juga ikut melawan.

Latar Belakang Perang Puputan Bali

Pada masa lampau, berbagai kerajaan di Bali masing – masing memiliki kekuasaan sendiri atas wilayahnya. Terdapat Kerajaan Buleleng dan Karangasem di daerah pantai utara yang memanjang sampai timur laut.

Sedangkan Kerajaan Klungkung dan Gianyar berada di pantai sebelah timur, Kerajaan Badung berkuasa di ujung selatan pulau Bali, Jembrana dan Mengwi berada di sepanjang pantai barat dan barat daya. Masih ada Kerajaan Bangli yang terletak di tengah – tengah pulau Bali.

Kontak antara kerajaan Bali dengan Belanda sebenarnya sudah terjadi sejak abad ke 17, ketika para pedagang Belanda telah berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja – raja Bali. Usaha itu tidak berhasil.

Belanda pada waktu itu mendekati para raja Bali dengan motif perdagangan. Usaha Belanda untuk mengikat perjanjian dengan raja – raja Bali baru mengalami keberhasilan pada 1841. Raja Klungkung, Badung, Buleleng, dan Karangasem mengikuti perjanjian tersebut.

Melalui isi perjanjian, tampak jelas bahwa VOC sedang berusaha memperluas daerah kekuasaannya berdasarkan PAX Netherlandica. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa para raja Bali mengakui bahwa mereka berada di bawah kekuasaan Belanda, mereka tidak akan menyerahkan kerajaannya kepada bangsa Eropa yang lain, dan bendera Belanda diizinkan untuk dikibarkan di wilayah – wilayah kerajaan tersebut.

Belanda terutama keberatan dengan hukum tawan karang yang telah menimpa armadanya yang menjadi penyebab perang Bali. Pada tahun 1843 raja – raja Bali kemudian menandatangani perjanjian untuk menghapus tawan karang, namun mereka tidak sungguh – sungguh menepatinya sehingga perselisihan dengan Belanda mulai muncul.

Pada tahun 1845 Belanda menekan Raja Buleleng, Klungkung dan Karangasem untuk menghapus tawan karang namun ditolak. Raja Buleleng merasa gelisah karena Belanda menuntut penggantian atas kapal – kapal yang dirampas, biaya perang dan mengakui kerajaannya menjadi bagian dari wilayah Belanda.

Patih Buleleng I Gusti Ketut Jelantik mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak dapat diterima. Ia kemudian menggalang kekuatan pasukan kerajaan, melatih prajuritnya berperang dengan lebih intensif dan menambah perlengkapan serta persenjataan.

Begitu pula dengan kerajaan lain yang diam – diam menggiatkan kegiatan pasukannya. Belanda kemudian mengultimatum pada 14 Juni 1846 yang berlaku selama 3 x 24 jam agar Bali memenuhi semua tuntutan. Sekarang peninggalan belanda ada pada candi di Bali, museum di Bali dan koleksi museum Bali.

Perang Buleleng (Ekspedisi Belanda Pertama)

Pada Juni 1846 Belanda mengerahkan pasukan dan kapal yang dipimpin oleh Engelbertus Batavus van den Bosch. Pasukan Belanda terdiri dari 1700 prajurit, diantaranya ada 400 prajurit Eropa dipimpin oleh Letkol Gerhardus Bakker. Ultimatum kepada Raja Buleleng berakhir pada 17 Juni dan pada hari berikutnya pasukan Belanda dibawah Abraham Johannes de Smit van den Broecke tiba dengan perlindungan senapan laut.

Prajurit Bali sejumlah lebih dari 10000 orang mencegah pendaratan tersebut namun mereka mengalami kegagalan. Pasukan Belanda dapat maju ke pesawahan yang dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Walaupun mendapatkan perlawanan sengit, pada hari berikutnya ibu kota Buleleng yaitu Singaraja berhasil dikuasai Belanda.

Pantai Buleleng diblokade dan Belanda menembaki istana raja dengan meriam dari arah pantai. Satu persatu wilayah berhasil diduduki dan istana jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng berpura – pura mengalah dan sebagai patih, I Gusti Ketut Jelantik melanjutkan perlawanannya.

Perang Jagaraga I (Ekspedisi Belanda Kedua)

Dalam sejarah perang Bali, perang ini juga dikenal sebagai Perang Jagaraga yang berlangsung di tahun 1848. Pasukan Belanda berjumlah 2400 prajurit yang sepertiganya adalah orang Eropa sementara sisanya adalah orang Jawa dan Madura.

Pasukan ditambahkan lagi dengan satu kompi prajurit kulit hitam Afrika yang kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (Pantai Emas). Mereka mendarat di Sangsit, Buleleng pada 7 Mei 1848 dengan dipimpin Mayjen van der Wijck. Orang Bali kemudian menarik diri ke Jagaraga setelah orang Belanda mendarat.

Benteng Jagaraga terletak di atas bukit, bentuknya merupakan “Supit Urang” yang dikelilingi parit dan ranjau untuk menghambat gerakan musuh. Selain laskar Buleleng yang ada disana, kerajaan lain seperti Karangasem, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga pasukan Bali seluruhnya berjumlah 15000 orang.

Istri patih Jelantik bernama Jero Jempiring juga menggerakkan para wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang berperang. Dalam serangan tersebut Belanda mengalami kekalahan.

Perang Jagaraga II (Ekspedisi Belanda Ketiga)

Pada tahun 1849 dalam sejarah perang Bali, Belanda kembali mengerahkan pasukan yang lebih besar lagi yaitu sebanyak 4.177 orang sehingga terjadi perang Jagaraga II. Perang antara rakyat Bali dan Belanda berlangsung selama dua hari dua malam yaitu pada 15  – 16 April 1849.

Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang dibagi menjadi tiga kolone. Kolone 1 dipimpin Van Swieten, kolone kedua dipimpin La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin Poland. Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda setelah terjadi pertempuran sengit.

Belanda kemudian berlayar ke Bali Selatan dan mendarat di Padang Bai untuk menyerang Klungkung. Sementara itu Belanda juga bersekutu dengan Kerajaan Lombok untuk melawan Karangasem yang sudah lama bermusuhan dengan Lombok.

Pasukan Lombok ikut ke kapal Belanda dan turut menyerang para pemimpin kerajaan Buleleng. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik terbunuh dalam pertempuran ini, sedangkan penguasa Karangasem melakukan ritual bunuh diri. I Gusti Ketut Jelantik menjadi salah satu dari para pahlawan nasional dari Bali.

Belanda melanjutkan serangan ke Klungkung, menduduki Goa Lawah dan Kusamba. Disana pasukan Belanda terkena wabah disentri sehingga kekuatan pasukan menurun. Mayjen Michiels tewas ketika Dewa Agung Istri Kanya memimpin serangan pada malam hari terhadap Belanda di Kusamba.

Belanda mundur ke kapal mereka ketika menghadapi kekuatan 33.000 orang dari Badung, Gianyar, Tabanan dan Klungkung. Kerajaan Karangasem dan Buleleng menawarkan penyerahan diri sehingga akan disepakati perjanjian baru. Van Swieten kemudian kembali ke Padang Cove dan pada tanggal 12 Juni tercapai persetujuan dimana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia Belanda dan Kerajaan Bangli digabung dengan Buleleng.

Perjanjian tersebut kemudian menjadi dasar dari kekuasaan Belanda atas Bali. Setelah itu masih terjadi berbagai perlawanan dalam sejarah perang Bali. Tahun 1858 I Nyoman Gempol mengangkat senjata untuk berperang melawan Belanda, dan tahun 1868 terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Ida Made Rai, tetapi keduanya gagal.

The post Sejarah Perang Bali Melawan Belanda appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran /indonesia/kerajaan/sejarah-perang-bubat-antara-majapahit-dan-pajajaran Sat, 18 Jan 2020 03:00:14 +0000 /?p=5474 Perang Bubat merupakan perang singkat yang terjadi pada tahun 1357 M di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Perang Bubat terjadi karena adanya perselisihan antara Gajah Mada sebagai…

The post Sejarah Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perang Bubat merupakan perang singkat yang terjadi pada tahun 1357 M di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Perang Bubat terjadi karena adanya perselisihan antara Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda.

Dalam perang yang bertempat di Pasanggrahan Bubat tersebut, seluruh rombongan Kerajaan Sunda tewas dan merupakan kesalahan terbesar dari Gajah Mada selama menjabat sebagai Mahapatih. Peristiwa Bubat dalam catatan resmi Majapahit kurang diuraikan, kurang lebih mungkin karena Majapahit ingin mengubur kenangan pahit dari peristiwa tersebut.

Tidak ada tulisan mengenai Perang Bubat dalam naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun 1365 M atau satu tahun setelah Gajah Mada wafat. Akan tetapi desa Bubat diceritakan sebagai desa yang memiliki lapangan luas dan pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.

Nama Bubat sendiri bisa jadi berarti berasal dari kata “Butbat” yang berarti “Jalan yang Lega dan Lapang”. Hingga kini lokasi desa Bubat sendiri tidak dapat dipastikan oleh para ilmuwan, dan masih terdapat berbagai versi mengenai letak desa Bubat yang benar.

Latar Belakang Perang Bubat

Sejarah Perang Bubat berawal dari dua kerajaan besar di Pulau Jawa pada masa itu yang menjadi bagian dari asal usul nusantara sebelum masehi, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Sunda yang juga dikenal dengan nama Kerajaan Sunda Galuh atau Kerajaan Pasundan berdiri pada tahun 932 dan mengalami keruntuhan pada 1579 M.

Dalam sejarah Kerajaan Pajajaran merupakan gabungan dari dua kerajaan yaitu Kerajaan Sunda yang berpusat di kota Bogor sekarang dan Kerajaan Galuh yang pusatnya sekarang berada di Kabupaten Ciamis. Kedua kerajaan sepakat bergabung untuk membentuk kerajaan baru dengan wilayah kekuasaan yang sekarang melipuuti Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.

Ibu kota kerajaan Sunda berada di Bogor. Kerajaan Majapahit berdiri pada 10 November 1293 M dan mengalami keruntuhan pada 1478 M atau 1522 M. Sejarah kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara yang berasal dari Keraajaan Singosari. Majapahit berdiri setelah Singosari dihancurkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.

Kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai putri kerajaan Sunda pada waktu itu sangat tersohor hingga mencapai Majapahit dan menjadi awal dari sejarah perang Bubat. Lukisan wajah Dyah Pitaloka yang digambar oleh seniman Majapahit bernama Sungging Prabangkara dilihat oleh Hayam Wuruk, yang kemudian mengirim surat berisi lamaran kepada Dyah Pitaloka.

Apabila lamaran tersebut diterima, maka pesta pernikahan akan diselenggarakan di Majapahit. Pada awalnya kerajaan Sunda merasa keberatan terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati, karena hal tersebut tidak lazim jika pengantin perempuan menyerahkan diri ke pihak pengantin laki – laki. Selain itu juga dikhawatirkan bahwa lamaran pernikahan ini adalah sebuah jebakan dari Majapahit untuk menguasai wilayah Sunda.

Pada akhirnya Raja Linggabuana mengalah karena mempertimbangkan dampak positif dari persekutuan dengan Majapahit yang sedang naik daun. Terlebih lagi ada kabar bahwa Hayam Wuruk sebenarnya masih berdarah Sunda dari ayahnya yaitu Rakeyan Jayadarma. Kabar tersebut adalah versi lain dari ayah Hayam Wuruk yang berdarah Jawa, yaitu Bhre Tumapel.

Dengan serombongan kecil pasukan pengawal bernama Pasukan Balamati, beberapa orang menteri, pelayan wanita, Maharaja Linggabuana dan permaisuri serta Dyah Pitaloka berangkat ke Majapahit. Mereka melalui jalan darat ke Pelabuhan Cirebon dan melanjutkan dengan kapal laut kerajaan. Setelah kapal berlabuh, mereka kemudian menuju ke Desa Bubat, beristirahat dan membangun perkemahan.

Ketika itulah persoalan yang memicu sejarah perang Bubat muncul karena Gajah Mada meminta Kerajaan Sunda untuk takluk kepada Kerajaan Majapahit. Ia juga menyatakan bahwa pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka akan menjadi tanda penyerahan kedaulatan tersebut.

Tindakan Gajah Mada ini sama sekali diluar persetujuan dan pengetahuan Hayam Wuruk.Sebelumnya Gajah Mada sudah meminta Hayam Wuruk tidak menganggap Dyah Pitaloka sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda penaklukan negeri Sunda, namun Hayam Wuruk belum memberi jawaban karena ragu.

Gajah Mada bahkan nekat membawa sejumlah besar pasukan ke Desa Bubat, yaitu Pasukan Bhayangkara yang terdiri dari para prajurit pilihan. Pasukan Bhayangkara memiliki tugas utama untuk mengawal Raja dan kerabat istana yang lain, dan mereka mampu melakukan operasi militer dengan kesulitan tinggi, berbeda dari prajurit biasa.

Pihak kerajaan Sunda yang merasa tertipu sangat marah dan tidak mau menerima syarat Gajah Mada sehingga ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan Sunda yang hanya sedikit. Karena kekuatan tidak seimbang, pasukan Sunda kemudian kalah dan semua lelaki dalam rombongan termasuk Raja Linggabuana terbunuh. Segera seluruh wanita dalam rombongan melakukan bunuh diri untuk menjaga kehormatan mereka.

Tindakan semacam itu disebut dengan istilah Bela Pati, usaha bunuh diri yang dilakukan untuk membela kehormatan negara dan menghindarkan diri dari penghinaan dan kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, perbudakan atau penganiayaan.

Akibat Perang Bubat

Hayam Wuruk, walaupun marah besar atas peristiwa sejarah perang Bubat namun tidak bisa berbuat banyak. Ia sulit menjatuhkan hukuman kepada Gajah Mada yang telah berbuat banyak bagi Majapahit sejak zaman Raden Wijaya, kakeknya. Gajah Mada telah menjadi salah seorang tokoh besar dari kerajaan di Indonesia pada saat itu dengan jasa – jasanya kepada Majapahit.

Sebagai dampak perang Bubat, hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada merenggang. Begitu juga dengan popularitas Gajah Mada yang menurun karena para pejabat dan bangsawan Majapahit menyalahkan tindakannya tersebut. Walaupun masih menjabat sebagai Mahapatih sampai kematiannya tahun 1364 M, pamor Gajah Mada secara politik terus merosot dan terkucilkan di kalangan istana.

Hayam Wuruk kemudian menganugerahkan tanah luas di Madakaripura atau Probolinggo kepada Gajah Mada sebagai sindiran halus agar ia segera pergi dari Majapahit. Jarak antara Probolinggo dan pusat Majapahit di Trowulan, Mojokerto sangat jauh sehingga bisa disimpulkan bahwa hadiah tersebut memang dimaksudkan untuk menjauhkan Gajah Mada dari istana.

Hubungan antara kedua negara juga rusak sebagai akibat peristiwa Bubat. Pangeran Niskalawastu sebagai atu – satunya keturunan Raja Linggabuana yang masih hidup, adik Dyah Pitaloka dan anak lelakinya yang tidak ikut dalam rombongan karena masih terlalu kecil naik tahta sebagai Prabu Niskalawastu Kancana. Salah satu kebijakan yang dilakukannya adalah untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit.

Kemudian diberlakukan peraturan setelah sejarah perang Bubat di seluruh wilayah Kerajaan Sunda yaitu berupa larangan untuk menikahi orang Majapahit. Peraturan ini kemudian berkembang sebagai larangan bagi seluruh orang Sunda untuk tidak menikah dengan orang Jawa, yang terus diikuti oleh masyarakat Sunda walaupun Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda telah berakhir selama ratusan tahun.

Selama beratus – ratus tahun akan sangat sulit menemukan pernikahan antara kedua suku karena mitos tersebut. Bahkan berkembang isu jika wanita Sunda atau lelaki Sunda yang menikah dengan orang Sunda maka rumah tangganya tidak akan bahagia. Setiap kasus yang mirip dan berujung perceraian selalu dihubungkan dengan cerita tersebut, terlebih lagi orang Jawa dicitrakan bertabiat buruk dan senang menipu seperti Gajah Mada dulu.

Nama jalan juga mengalami imbas dari sejarah perang Bubat ini, dampak perang bubat membuat sejak zaman dulu tidak ada nama jalan Majapahit, jalan Hayam Wuruk dan jalan Gajah Mada di wilayah Jawa Barat kecuali Jalan Majapahit Raya yang ada di Bogor.

Akhirnya pada hari Jumat tanggal 11 Mei 2018 lalu diresmikan nama jalan Majapahit dan jalan Hayam Wuruk di Bandung sebagai upaya untuk rekonsiliasi budaya yang telah retak karena perang bubat dan kesalahan besar Gajah Mada dahulu.

Satu – satunya sumber utama dari Majapahit mengenai perang Bubat adalah “Kidung Sunda”, sesuai dengan janji Hayam Wuruk melalui utusan dari Bali yang menemui Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menggantikan Raja Linggabuana sementara.

Melalui utusannya Hayam Wuruk menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk memuat seluruh peristiwa dalam Kidung Sunda sebagai peninggalan kerajaan Majapahit agar generasi yang akan datang dapat mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Sebaliknya dalam naskah – naskah kuno Sunda, Tragedi itu banyak disebutkan antara lan pada Carita Parahyangan dan Wangsakerta, bahkan pada naskah kuno di Bali bernama Geguritan Sunda.

The post Sejarah Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah Perjanjian Jepara yang Mengalahkan Trunojoyo /indonesia/kerajaan/perjanjian-jepara-yang-mengalahkan-trunojoyo Thu, 26 Dec 2019 03:58:21 +0000 /?p=4848 Perjanjian Jepara adalah perjanjian kesepakatan yang dilakukan oleh Sultan Amangkurat II dari Kerajaan Mataram dengan pihak VOC dengan tujuan untuk membasmi pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Trunojoyo. Raden Trunojoyo yang…

The post Sejarah Perjanjian Jepara yang Mengalahkan Trunojoyo appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perjanjian Jepara adalah perjanjian kesepakatan yang dilakukan oleh Sultan Amangkurat II dari Kerajaan Mataram dengan pihak VOC dengan tujuan untuk membasmi pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Trunojoyo. Raden Trunojoyo yang bergelar Panembahan Maduretno lahir di Madura, tahun 1649  dan wafat di Payak, Bantul pada 2 Januari 1680 adalah seorang bangsawan Madura yang memberontak terhadap kekuasaan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pemberontakan tersebut dilakukan karena pemerintahan yang dipimpin oleh mereka dianggap terlalu keras dan berpihak kepada VOC. Sultan Amangkurat I dan II khususnya tidak disukai rakyat karena sifatnya yang kejam, sewenang – wenang dan sangat dekat dengan VOC. Sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan tersebut, banyak ulama dan santri yang ditangkap serta dihukum mati di Mataram. Hal – hal itulah yang membuat Trunojoyo memberontak kepada kepemimpinan Sultan Amangkurat I dan II.

Latar Belakang Penaklukan Madura

Pulau Madura pada tahun 1924 ditaklukkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 – 1645), raja terbesar Mataram Islam yang merupakan keturunan dari silsilah Kerajaan Mataram Kuno. Selain Madura dan Surabaya, dalam sejarah kerajaan Mataram kuno yang pusatnya di Yogyakarta kemudian menaklukkan pesisir timur Pulau Jawa termasuk Tuban dan Gresik. Sultan Agung menawan Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura. Karena kelakuan dan ketampanannya, Raden Prasena disukai oleh Sultan Agung sehingga dijadikan menantu dan penguasa wilayah Madura Barat dibawah Kerajaan Mataram. Beliau diberi gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I.

Akan tetapi ia lebih banyak berada di Mataram daripada di Madura, sehingga anaknya yang berasal dari selir bernama Raden Demang Melayakusuma yang menjalankan pemerintahan di Madura Barat. Keduanya adalah panglima perang bagi Mataram. Setelah Sultan Agung wafat, Amangkurat I memegang pemerintahan di Mataram. Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Raden Mas Sayidin memiliki gaya yang berbeda dengan ayahnya yang selalu melawan Belanda. Ia justru mendekati Belanda untuk melindungi kepentingannya.

Sifatnya yang sewenang – wenang membuat banyak pihak yang merasa tidak puas dan berniat memberontak, termasuk Pangeran Alit, adiknya yang memberontak pada 1648. Cakraningrat dan Demang Melayakusuma ditugaskan untuk memberantas pemberontakan Pangeran Alit tetapi tewas dalam tugas. Pangeran Alit mengalami kekalahan dan ribuan ulama pendukungnya dibantai oleh Amangkurat I. Pemerintahan Madura kemudian beralih kepada Raden Undagan, adik dari Melayakusuma dengan gelar Panembahan Cakraningrat II, yang juga lebih sering berada di Mataram.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Amangkurat I juga tidak puas dan ingin memberontak karena mendengar bahwa statusnya sebagai putra mahkota Mataram akan dicabut dan digantikan ke anak lelaki Amangkurat I yang lain.  Akan tetapi Adipati Anom tidak berani melakukannya secara terang – terangan. Ia diam – diam meminta bantuan dari Raden Kajoran atau Panembahan Rama, seorang ulama dan kerabat Mataram yang memperkenalkan Trunojoyo menantunya untuk menjadi alat pemberontakan bagi Adipati Anom. Trunojoyo masih termasuk keturunan Sultan Agung, cucu dari Raden Prasena atau Cakraningrat I. Dengan kata lain, ia adalah anak Demang Melayakusuma dari istri selirnya. Silsilah tersebut menjadikannya saudara seayah lain ibu dari Cakraningrat II.

Dengan cepat Trunojoyo berhasil menghimpun pasukan dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan oleh Mataram. Kesediaannya melakukan pemberontakan berasal dari ketidak sukaannya akan penguasaan Madura oleh Mataram yang dianggapnya suatu bentuk penjajahan. Pemberontakan berawal dengan menculik Cakraningrat II dan mengasingkannya ke Lodaya, Kediri. Pada tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan Madura dan menyatakan diri sebagai Raja Merdeka di Madura Barat, sejajar dengan para penguasa Mataram.

Pasukan Trunojoyo juga bekeja sama dengan Karaeng Galesong yang memimpin pelarian rakyat Makassar pendukung Sultan Hasanudin yang telah kalah dari VOC. Trunojoyo bahkan menikahkan putrinya dengan Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan kerjasama tersebut. Ia juga didukung Panembahan Giri dari Surabaya yang tidak menyetujui cara pemerintahan Amangkurat I mengenai tindakan menghukum para ulama yang menentangnya. Pasukan gabungan tersebut berhasil mendesak pasukan Amangkurat I, namun kemenangan – kemenangan yang didapatkan membuat Trunojoyo berselisih dengan Adipati Anom karena tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya.

Bahkan pasukan Trunojoyo berhasil mengalahkan pasukan Adipati Anom yang berganti mendukung ayahnya di bulan Oktober 1676. Penyerbuan Plered yang pada saat itu menjadi ibu kota Mataram kemudian dilakukan oleh Trunojoyo sehingga Amangkurat I melarikan diri dan meninggal di Tegal. Beliau dimakamkan di Tegal Arum dan kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Setelah itu Adipati Anom dinobatkan sebagai Amangkurat II. Ketahui juga mengenai sejarah VOC Belanda , sejarah berdirinya VOC dan sejarah perang Banten melawan VOC.

Perjanjian Amangkurat II dan Belanda

Setelah menjadi Amangkurat II, Adipati Anom menandatangani perjanjian dengan VOC yang dikenal dengan nama Perjanjian Jepara pada September 1977. Perjanjian Jepara ini membuat Amangkurat II harus membayarnya dengan harga yang mahal, yaitu dengan merelakan sebagian wilayahnya kepada VOC. Perjanjian Jepara berisi kesepakatan antara Amangkurat II dan VOC untuk menyerahkan wilayah di Pantai Utara Jawa kepada VOC apabila pemberontakan Trunojoyo dihentikan oleh VOC.

Itu artinya bahwa wilayah Pantai Utara Jawa yang mencakup Karawang sampai ujung timur Pulau Jawa digunakan sebagai jaminan untuk membayar dalam Perjanjian Jepara kepada Belanda yang membantu memberantas pemberontakan Trunojoyo. Sebelum perjanjian Jepara ditandatangani, VOC pernah menawarkan perdamaian secara pribadi kepada Trunojoyo di Benteng VOC Danareja tetapi tawaran tersebut ditolak.

Sementara itu Trunojoyo yang sudah mendirikan pemerintahan sendiri dengan gelar Panembahan Maduretno telah menguasai hampir seluruh wilayah pesisir Jawa, sedangkan di wilayah pedalaman masih banyak rakyat yang setia kepada Mataram. VOC kemudian memusatkan kekuatan untuk mengalahkan Trunojoyo di bawah pimpinan Jendral Cornelis Speelman. Pasukan Bugis yang dipimpin Aru Palaka dari Bone dikerahkan oleh VOC untuk melawan Karaeng Galesong, dan pasukan Maluku dipimpin Kapitan Jonker diarahkan untuk menyerang di darat secara besar – besaran bersama pasukan Amangkurat II.

Spellman bersama pasukan VOC menyerang Surabaya pada April 1677 dan berhasil menguasainya. Dengan pasukan gabungan sejumlah 1500 orang, ia berhasil mendesak Trunojoyo sehingga sedikit demi sedikit benteng Trunojoyo berhasil dikuasai VOC. Pada akhirnya Trunojoyo berhasil dikepung dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Ia kemudian diserahkan kepada Amangkurat II di Payak,Bantul. Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680, Trunojoyo dihukum mati oleh Amangkurat II.

Setelah kematian Trunojoyo, Keraton Plered yang sudah hancur dipindahkan ke Kartasura. Cakraningrat II juga kembali diangkat sebagai penguasa di Madura oleh VOC. Perjanjian Jepara memang membuat Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo, tetapi harga yang harus dibayarnya sangat besar. Sebagai akibatnya, Mataram berutang biaya peperangan yang sangat besar kepada VOC dan harus menyerahkan wilayah pesisir utara Pulau Jawa sebagai gantinya sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian Jepara. Sejak saat itu Mataram dan Madura berada di bawah pengaruh VOC dalam penentuan suksesi tahta dan kekuasaan. Hal yang sama juga terjadi dalam sejarah kerajaan Pajajaran dan sejarah kerajaan Banten.

The post Sejarah Perjanjian Jepara yang Mengalahkan Trunojoyo appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Latar Belakang Perjanjian Salatiga yang Menghancurkan Mataram /indonesia/kerajaan/perjanjian-salatiga-yang-menghancurkan-mataram Thu, 26 Dec 2019 03:54:44 +0000 /?p=4849 Perjanjian Salatiga adalah perjanjian bersejarah yang ditandatangani di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 antara Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said, VOC dan Pakubuwono III sebagai keturunan salah satu kerajaan di…

The post Latar Belakang Perjanjian Salatiga yang Menghancurkan Mataram appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perjanjian Salatiga adalah perjanjian bersejarah yang ditandatangani di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 antara Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said, VOC dan Pakubuwono III sebagai keturunan salah satu kerajaan di Indonesia yaitu Mataram. Lokasi perjanjian pun dipilih di wilayah Salatiga yang merupakan wilayah netral dan berada di tengah – tengah wilayah dari ketiga pihak yang bertikai. Gedung Pakuwon yang menjadi lokasi penanda tanganan perjanjian hingga sekarang masih berdiri dan digunakan sebagai kantor walikota Salatiga. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi setelah perebutan kekuasaan yang turut mengakhiri riwayat Kesultanan Mataram Islam, yang kehancurannya sudah dimulai sejak berakhirnya masa kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1645. Juga untuk menghindarkan VOC dari kerugian akibat konflik terus menerus.

Sejak mangkatnya Sultan Agung, Mataram telah menjadi ajang konflik perebutan kekuasaan para bangsawan yang masih tergabung dalam wangsa Mataram itu sendiri. Terjadinya perjanjian Salatiga ini terjadi setelah sejarah Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti menandakan berakhirnya  Mataram sebagai pemerintahan kerajaan yang independen. Walaupun perjanjian tersebut dapat meredakan konflik di dalam pemerintahan, akibatnya membagi Mataram menjadi dua bagian.  Setengah bagian wilayah bekas Kesultanan Mataram Islam ada dibawah kekuasaan Sunan Pakubuwono III sedangkan setengahnya lagi diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang mengangkat dirinya sebagai raja Kesultanan Yogya bergelar Hamengkubuwono I.

Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Dari pembagian dua wilayah Mataram tersebut ada satu orang yang tidak diikutsertakan, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap pertempuran ia selalu membawa kematian bagi para musuhnya. Ia sebenarnya masih bersaudara dengan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I karena mereka adalah keturunan Amangkurat IV (1719 – 1726), raja keempat Kasunanan Kartasura yang merupakan kerajaan lanjutan dari Mataram Islam. Raden Mas Said menjadi duri dalam daging bagi Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I, begitu juga bagi VOC. Ia memerangi Belanda dan Mataram atau Kartasura sejak 1741, pada awalnya bersama Pangeran Mangkubumi yang dulu memiliki tujuan yang sama.

Sayangnya Mangkubumi kemudian berbalik arah melawan Raden Mas Said dan bersepakat dengan Pakubuwono III serta VOC dalam perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut akan memecah belah rakyat Mataram dan ditentang oleh Raden Mas Said. Dengan demikian, ia pada akhirnya menghadapi tiga pihak dalam pemberontakannya tersebut. Ketika disarankan oleh VOC untuk menyerah kepada salah satu dari kedua raja, Pangeran Sambernyawa malah menekankan pembagian kekuasaan wilayah menjadi tiga. Sementara VOC ingin mengamankan sumber keuangan dan kedudukannya di Pulau Jawa, padahal peperangan tersebut tidak menghasilkan pihak yang unggul. Ketiga pihak tidak dapat mengalahkan Pangeran Sambernyawa dan sang pangeran sendiri tidak dapat mengalahkan ketiganya sekaligus.

Solusi untuk mengakhiri peperangan di Jawa adalah dengan adanya Perjanjian Salatiga. Surakarta dan Yogyakarta melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa. Wilayah Ngawen dari Yogyakarta dan sebagian wilayah Surakarta menjadi wilayah kekuasaan Pangeran Sambernyawa. Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta sebanyak 4000 karya mencakup apa yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar. Ia digelari Mangkunegara I, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati karena wilayahnya hanya disebut sebagai Kadipaten dan  tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan.

Pada dasarnya perjanjian Salatiga menjadi tanda akan berdirinya negeri Mangkunegaran yang dikuasai oleh Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai wilayah otonom juga, karena beliau yang pada awalnya setuju menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta kemudian menolak dan mendirikan wilayah otonomnya sendiri yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa disebut sebagai penerus dari silsilah Kerajaan Mataram kuno dan sejarah kerajaan Mataram Kuno yang hilang akibat Perjanjian Giyanti. Negeri Mangkunegaran membangun kembali Mataram yang bubar dengan menghidupkan kembali politik dan kebudayaan Mataram serta unsur – unsur keprajuritan dari generasi ke generasi.

Situasi Setelah Perjanjian

Sunan Pakubuwono III wafat pada tahun 1788 setelah perjanjian Salatiga dan digantikan oleh Pakubuwono IV, yang pandai dalam politik, intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah PB III wafat, pada awal 1790 PB IV mulai melakukan strategi politik yang agresif dengan memberi nama pada saudaranya Arya Mataram sebagai Pangeran Mangkubumi. Hal ini membuat HB I memprotes karena merasa nama Mangkubumi adalah haknya. Kemudian PB IV juga melancarkan intrik dengan menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itu Mangkunegara I melihat adanya peluang dan menulis surat kepada Gubernur Semarang, Yan Greeve pada Mei 1790 untuk menagih janji pada Residen Surakarta Frederik Christoffeel van Straaldorf yang pernah menjanjikan tahta pada Mangkunegara I jika HB I wafat.

Bisa dikatakan bahwa perjanjian Salatiga adalah solusi yang paling mudah untuk mengatasi situasi yang benar – benar kacau di tanah Mataram yang dapat menguntungkan semua pihak. Walaupun ketiga pihak semuanya mendapatkan bagian wilayah masing – masing, namun sebenarnya yang paling beruntung adalah VOC. Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat untuk membagi Mataram adalah kontrak politik yang direkayasa oleh VOC dengan memanfaatkan pertikaian dan perpecahan dalam keluarga kerajaan lokal termasuk Mataram dengan tujuan untuk menguasai secara mutlak seluruh Pulau Jawa. Pergerakan ketiga kerajaan dipantau oleh Belanda yang menanamkan pengaruh yang sangat kuat bahkan dalam urusan internal seperti suksesi dan pengambilan kebijakan.

Wilayah ketiga kerajaan memang tidak dicampuri oleh VOC tetapi seluruh wilayah Jawa bagian barat dan pesisir pantai utara Jawa hingga ke ujung timur sudah dikuasai VOC. Sementara itu ketiga kerajaan terlalu sibuk dengan urusan internalnya sehingga tidak pernah memikirkan upaya untuk kembali menyatukan Jawa seperti yang diusahakan oleh para Raja terdahulu. Bisa dikatakan bahwa para penguasa inilah yang seringkali melibatkan VOC dalam konflik internal mereka sehingga memberikan jalan bagi VOC untuk ikut campur. Sehingga akibatnya dengan perjanjian Giyanti dan perjanjian Salatiga memastikan terpecahnya wilayah kerajaan terbesar di Jawa menjadi tiga bagian. Ketahui juga mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya, sejarah kerajaan Tarumanegara dan sejarah kerajaan Pajajaran.

Penyatuan kekuasaan di Jawa semakin sulit terwujud dengan kehadiran wilayah keempat yaitu Kadipaten Pakualaman pada 17 Maret 1813, dalam waktu 56 tahun setelah perjanjian Salatiga ditandatangani. Status Pakualaman hampir mirip dengan Mangkunegaran dan merupakan pecahan dari Kasultanan Yogyakarta, dipimpin oleh Pakualam I atau Pangeran Notokusumo, salah satu putra HB I. Perpecahan wilayah Mataram Islam yang menjadi empat bagian ini merupakan akhir dari kejayaan kerajaan Mataram yang hancur karena intrik dan konflik antara anggotanya sendiri. Hal ini juga membuktikan kesuksesan Belanda melancarkan politik devide et impera atau politik pemecah belah yang menjadi senjata mereka untuk melancarkan jalannya menguasai tanah Jawa secara keseluruhan, dan betapa bangsa kita dengan mudah termakan jebakan politik adu domba tersebut sehingga berakibat hancurnya kerajaan paling besar di Jawa.

The post Latar Belakang Perjanjian Salatiga yang Menghancurkan Mataram appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
30 Isi Perjanjian Bongaya di Makassar Pada Tahun 1667 /indonesia/kerajaan/isi-perjanjian-bongaya Wed, 13 Nov 2019 08:25:51 +0000 /?p=5426 Perjanjian Bongaya, Bungaya atau Bongaja merupakan perjanjian perdamaian terjadi pada 18 November 1667 antara Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan VOC diwakili Laksamana Cornelis Spellman. Meskipun disebut perjanjian perdamaian,…

The post 30 Isi Perjanjian Bongaya di Makassar Pada Tahun 1667 appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perjanjian Bongaya, Bungaya atau Bongaja merupakan perjanjian perdamaian terjadi pada 18 November 1667 antara Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan VOC diwakili Laksamana Cornelis Spellman. Meskipun disebut perjanjian perdamaian, sebenarnya isi perjanjian merupakan pengakuan kekalahan Kerajaan Gowa kepada VOC, dan mengesahkan monopoli VOC berdagang di pelabuhan Makassar yang berada di bawah kekuasaan Gowa.

Perjanjian ini diadakan setelah terjadinya peperangan antara Kerajaan Gowa melawan VOC yang puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Kekalahan Kerajaan Gowa dari persenjataan VOC telah memaksa Sultan melakukan penandatanganan Perjanjian Bongaya. Pengkhianatan Aru Palaka juga berperan besar pada kekalahan Gowa. Hasil dari perjanjian Bongaya sudah pasti sangat menguntungkan pihak VOC dan merugikan Kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan di Indonesia yang besar dan telah menjadi bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia di masa lampau.

Isi Perjanjian Bongaya

Pada saat itu Gowa adalah kerajaan besar yang menguasai lalu lintas perdagangan di Indonesia bagian Timur dengan bahan perdagangan utama yaitu rempah – rempah. VOC menganggap kerajaan Gowa adalah halangan mereka dalam melakukan monopoli, terlebih karena Gowa menganut kebebasan perdagangan dengan siapa saja. Larangan VOC agar Gowa tidak berdagang dengan bangsa Eropa lainnya tidak dihiraukan. Kemudian Aru Palaka juga memberontak terhadap Gowa dan beralih pihak ke VOC. Setelah beberapa kali usaha penyerbuan Belanda ke Gowa berhasil digagalkan, menggunakan kekuatan penuh dan bantuan Aru Palaka kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. VOC menang dan menawarkan perjanjian yang dipaksakan untuk mengakhiri perang. Isi Perjanjian Bongaya terdiri dari beberapa poin sebagai berikut ini:

  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Poppa, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia pada 19 Agustus 1660 di Batavia, juga perjanjian antara pemerintahan Makassar dengan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada 2 Desember 1660 harus segera diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan masyarakat Eropa yang baru – baru ini melarikan diri dan masih berada di sekitar Makassar harus diserahkan kepada Cornelis Speelman.
  3. Alat, meriam, uang dan barang – barang lain yang tersisa dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango harus diserahkan ke VOC sebagai salah satu isi perjanjian Bongaya.
  4. Orang yang terbukti bersalah membunuh orang Belanda dimanapun harus diadili dengan hukuman yang setimpal oleh perwakilan Belanda.
  5. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi kepada Kompeni paling lambat musim berikutnya beserta seluruh hutangnya.
  6. Semua pemimpin dan rakyat VOC Eropa yang dulu kabur dan masih berada di wilayah Makassar segera diserahkan kepada Laksamana.
  7. Semua peralatan baik senjata dan non senjata yang diambil dari kapal Leeuwin di Don Duango dan kapal Walvisch di Selayar dikembalikan kepada VOC.
  8. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari Makassar dan dilarang berdagang atau tinggal sebagai salah satu isi dari perjanjian Bongaya.
  9. Siapa saja yang terbukti merusak milik VOC termasuk raja dan bangsawan Makassar segera melunasi hutang dan membayar ganti rugi.
  10. Semua orang Eropa yang lain di Makassar harus segera diusir dan tidak diizinkan masuk atau bertransaksi jual beli di Makassar.
  11. Salah satu isi perjanjian Bongaya menyatakan bahwa VOC harus dibebaskan dari keharusan membayar biaya dan pajak ekspor impor perdagangan.
  12. Hanya kompeni yang boleh berdagang dengan bebas di Makassar. Selain itu seperti orang India, Moor (muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, Siam tidak diizinkan. Siapapun yang melanggar akan dihukum dan barang dagangannya disita VOC.
  13. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan termasuk benteng Barombong, Pa’nakkukang, Garassi, Mariso, Boro’ boso kecuali benteng Somba Opu untuk kediaman Sultan Hasanuddin.
  14. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan dalam kondisi yang baik kepada Belanda bersama dengan tanah wilayah di sekitarnya.
  15. Koin Belanda akan diberlakukan di Makassar sebagai alat pembayaran sebagaimana diberlakukan di Batavia.
  16. Raja dan bangsawan Makassar tidak lagi diizinkan mencampuri urusan Bima dan silsilah kerajaan Bima serta wilayah di Raja Bima dan Karaeng Bontomaranu diserahkan kepada Belanda untuk dihukum.
  17. Orang – orang dari Kepulauan Sula harus dikembalikan oleh Sultan Ternate sekaligus meriam dan senapannya. Gowa harus melepaskan kepulauan Selayar dan Pansiano, seluruh pantai timur Sulawesi mulai dari Manado ke Pansiano, Banggai, Kepulauan Gapi, negeri – negeri Mandar dan Manado yang dulunya menjadi kekuasaan Raja Ternate.
  18. Pemerintah Kerajaan Gowa harus meninggalkan wilayah Wajo, Bulo Bulo dan Mandar dan tidak lagi diperbolehkan membantu dalam bentuk apapun. Gowa juga harus meninggalkan seluruh kekuasaan atas negeri – negeri Bugis dan Luwu, membebaskan raja tua Soppeng dan seluruh tanah serta rakyatnya, penguasa Bugis yang masih ditawan di wilayah Makassar dan wanita serta anak – anak yang masih ditahan oleh penguasa Gowa.
  19. Orang Bugis dan Turatea yang akan menikah dengan orang Makassar dan sebaliknya harus mendapatkan izin pihak berwenang, dalam hal ini Kompeni atau raja. Seluruh laki – laki Bugis dan Turatea yang sudah lebih dulu menikah dengan wanita Makassar dapat terus hidup bersama istrinya.
  20. Pemerintah Kesultanan Gowa harus menutup negerinya dari semua bangsa kecuali bagi bangsa Belanda.
  21. Orang – orang yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir di Makassar harus dikembalikan atau digantikan dengan kompensasi jika tidak bisa.
  22. Raja Layo, Bangkea dan seluruh Turatea serta Bajing harus dibebaskan beserta tanah – tanahnya.
  23. Seluruh negeri yang telah ditaklukkan Kompeni dan sekutunya dari Bulo – Bulo ke Turatea dan dari Turatea sampai Bungaya harus tetap menjadi miliki Kompeni.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus tetap terjalin antara raja – raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis atau Bone, Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa lain yang ingin ikut di masa depan.Ketahui juga mengenai sejarah kerajaan Tidore Ternate dan dampak peristiwa Maluku angkat senjata.
  25. Kapten Belanda harus diminta untuk menengahi dalam setiap sengketa antar para sekutu. Jika mediasi tidak diacuhkan oleh salah satu pihak, maka sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
  26. Para raja dan bangsawan Makasar harus mengirim dua penguasa penting bersaka Laksamana ke Batavia ketika menandatangani perjanjian damai untuk menyerahkannya kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia. Gubernur Jenderal berhak menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang diinginkan jika perjanjian ini disetujui.
  27. Orang Inggris dan seluruh miliknya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia sebagai bagian dari salah satu isi perjanjian Bongaya.
  28. Jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan dalam waktu sepuluh hari, hidup atau mati maka putra dari keduanya harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa harus mengganti rugi kepada kompeni dalam lima musim berturut sebesar 250.000 rijksdaalders, dalam bentuk meriam, barang, emas, perak atau permata.
  30. Raja Makassar dan bangsawannya, Laksamana sebagai wakil dari VOC dan seluruh raja dan bangsawan lain dalam persekutuan harus bersumpah, menandatangani dan membubuhkan cap pada isi dari perjanjian Bongaya atas nama Tuhan pada Jumat, November 1667.

Sultan Hasanuddin lama kelamaan tidak tahan dengan isi perjanjian Bongaya dan dampak perjanjian Bongaya yang merugikan rakyat. Ia kemudian kembali melawan dengan segenap kekuatan yang tersisa walaupun artinya melanggar kesepakatan, membangun diam – diam benteng yang sudah diruntuhkan. Gowa juga mendapat bantuan dari beberapa laskar yang dibentuk oleh adik Sultan Hasanuddin yaitu I Ata Tojeng Daeng Tulolo.

Namun upaya perlawanan ini diketahui oleh VOC, sehingga Benteng Somba Opu diserang oleh seluruh pasukan gabungan dari Bone, Ambon dan Batavia pada 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin ditangkap, lalu dipaksa turun tahta pada 29 Juni 1669. Sultan Hasanuddin meninggal dunia dalam usia 39 tahun pada 12 Juni 1670. Kelak jasa – jasanya dalam perjuangan melawan penjajah diakui dan Sultan Hasanuddin diangkat sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi oleh pemerintah RI.

The post 30 Isi Perjanjian Bongaya di Makassar Pada Tahun 1667 appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
10 Dampak Perjanjian Bongaya Bagi Makassar /indonesia/kerajaan/dampak-perjanjian-bongaya Mon, 11 Nov 2019 03:49:20 +0000 /?p=5421 Perjanjian Bongaya (Bungaya atau Bongaja) adalah suatu perjanjian perdamaian antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili Laksamana Cornelis Spellman. Perjanjian Bongaya terjadi pada 18…

The post 10 Dampak Perjanjian Bongaya Bagi Makassar appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perjanjian Bongaya (Bungaya atau Bongaja) adalah suatu perjanjian perdamaian antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili Laksamana Cornelis Spellman. Perjanjian Bongaya terjadi pada 18 November 1667 dan meski disebut perjanjian perdamaian, isinya sebenarnya merupakan deklarasi kekalahan Kerajaan Gowa dari VOC dan merupakan pengesahan monopoli VOC untuk perdagangan di pelabuhan Makassar yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Gowa.

Perjanjian ini diadakan setelah terjadinya peperangan antara Kerajaan Gowa melawan VOC yang memuncak pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Kekalahan Kerajaan Gowa dari persenjataan VOC memaksa penandatanganan Perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian ini Belanda dibantu oleh Aru Palaka. Hasil dari perjanjian Bongaya sangat menguntungkan pihak VOC dan merugikan Kerajaan Gowa sebagai salah satu kerajaan di Indonesia yang besar dan menjadi bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia .

Isi Perjanjian Bongaya

Gowa pada saat itu menjadi kerajaan besar yang menguasai lalu lintas perdagangan di Indonesia bagian Timur dengan bahan perdagangan utama yaitu rempah – rempah. Kondisi tersebut membuat VOC menganggap kerajaan Gowa adalah rintangan dalam melakukan monopoli.  Sementara Gowa menganut kebebasan perdagangan yang artinya mereka berdagang dengan siapa saja. VOC yang melarang Gowa berdagang dengan bangsa Eropa lainnya diabaikan. Aru Palaka juga memberontak terhadap Gowa dan berpihak ke VOC. Setelah beberapa kali usaha Belanda menyerbu Gowa berhasil digagalkan, dengan kekuatan penuh dan bantuan Aru Palaka VOC berhasil mengalahkan kerajaan Gowa dan menawarkan perjanjian untuk mengakhiri perang . Sebagian isi perjanjian Bongaya yaitu:

  • Semua pemimpin dan rakyat VOC Eropa yang dulu kabur dan masih berada di wilayah Makassar segera diserahkan kepada Laksamana.
  • Semua peralatan baik senjata dan non senjata yang diambil dari kapal Leeuwin di Don Duango dan kapal Walvisch di Selayar dikembalikan kepada VOC.
  • Siapa saja yang membunuh orang Belanda akan diadili dan dihukum oleh perwakilan Belanda.
  • Siapa saja termasuk raja dan bangsawan Makassar segera melunasi hutang dan membayar ganti rugi jika terbukti merusak milik VOC.
  • Semua orang Eropa lain di Makassar harus segera diusir dan tidak diizinkan masuk atau melakukan transaksi jual beli di Makassar.
  • VOC harus bebas dari biaya dan pajak ekspor impor perdagangan.
  • Hanya kompeni yang boleh berdagang dengan bebas di Makassar. Orang India, Moor (muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, Siam tidak diizinkan memasarkan kain dan barang – barang dari Tiongkok. Pelanggar akan dihukum dan barang dagangannya disita kompeni.
  • Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, termasuk benteng Barombong, Pa’nakkukang, Garassi, Mariso, Boro’ boso kecuali benteng Somba Opu yang menjadi kediaman Sultan Hasanuddin.
  • Benteng Ujung Pandang harus diserahkan dalam kondisi yang baik kepada Belanda bersama dengan tanah wilayahnya.
  • Koin Belanda diberlakukan di Makassar sebagaimana diberlakukan di Batavia.
  • Urusan Bima dan sekitarnya tidak boleh lagi dicampuri oleh Raja dan bangsawan Makassar. Ketahui juga mengenai silsilah kerajaan Bima.
  • Raja Bima dan Karaeng Bontomaranu diserahkan kepada Belanda untuk dihukum.
  • Sultan Ternate harus mengembalikan orang – orang dari Kepulauan Sula sekaligus meriam dan senapannya.
  • Wilayah wajo, Bulo Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Kerajaan Gowa dan tidak lagi diperbolehkan untuk membantu dalam bentuk apapun.
  • Orang Bugis dan Turatea yang akan menikah harus mendapatkan izin pihak berwenang.
  • Pemerintah Kesultanan Gowa harus menutup negerinya dari semua bangsa kecuali Belanda.

Dampak Perjanjian Bongaya

Perjanjian Bongaya menjadi tahap akhir perlawanan dari Kesultanan Gowa terhadap VOC yang sudah berlangsung sejak tahun 1660. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian tersebut setelah berada dalam posisi terdesak karena Gowa mengalami beberapa kali kekalahan dari VOC. Dampak perjanjian Bongaya adalah sebagai  berikut ini:

  1. Belanda memperoleh hak atas monopoli perdagangan di wilayah Sulawesi dengan mudah.
  2. Belanda dapat membangun benteng sekaligus mengultimatum dan memaksa Makassar untuk menyerahkan atau menghancurkan semua bentengnya.
  3. Penduduk dan pemerintah Makassar wajib menyerahkan hasil bumi dan kekayaan alam lainnya untuk biaya perang.
  4. Kesultanan Gowa wajib menyerahkan semua wilayah bawahannya seperti Bone dan Luwu tanpa syarat sehingga VOC dapat memperluas daerah kekuasaannya.
  5. Belanda memperoleh rempah – rempah dengan sangat mudah dengan aturan yang mewajibkan semua pemerintahan untuk menyetorkan hasil alam kepada VOC.
  6. Makassar merugi dalam banyak hal karena harus tunduk dan patuh kepada peraturan Kompeni.
  7. VOC berhak melarang warga Gowa untuk melakukan pelayaran dan hanya beberapa tempat yang diizinkan yaitu pantai Jawa, Bali, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Kalimantan dan Johor. Sebelum berlayar, rakyat Gowa harus meminta izin kepada komandan yang berwenang. Pelanggarnya akan dianggap musuh.
  8. Kesultanan Gowa wajib membayar ganti rugi selama perang kepada VOC dan mengirimkan uang senilai 1000 orang budak ke Batavia atau senilau 2,5 tael atau 40 mas emas Makassar per orangnya. Setengahnya dikirim pada bulan Juni dan sisanya pada musim berikutnya.
  9. Seluruh alat – alat sisa perang diambil oleh Kompeni.
  10. Kesultanan Gowa wajib membantu VOC dari ancaman manapun.

Kondisi Setelah Perjanjian Bongaya

Lama kelamaan Sultan Hasanuddin tidak tahan dengan dampak perjanjian Bongaya yang merugikan rakyat. Ia kemudian melakukan perlawanan kembali dengan segenap kekuatan yang tersisa walaupun itu artinya melanggar kesepakatan. Beberapa benteng yang sudah diruntuhkan kembali dibangun dengan diam – diam. Angkatan perang Gowa juga mendapat bantuan dari beberapa laskar, salah satunya yang dibentuk oleh adik Sultan Hasanuddin yaitu I Ata Tojeng Daeng Tulolo.

Akan tetapi upaya perlawanan ini diketahui oleh VOC, sehingga mereka mengerahkan seluruh pasukan gabungan dari Bone, Ambon dan Batavia untuk menyerang Benteng Somba Opu pada 12 Juni 1669. Benteng Somba Opu kemudian jatuh dan Sultan Hasanuddin ditangkap hingga dipaksa turun tahta pada 29 Juni 1669. Ia meninggal dunia dalam usia 39 tahun pada 12 Juni 1670. Kelak Sultan Hasanuddin diakui jasa – jasanya dalam perjuangan melawan penjajah dan diangkat sebagai pahlawan nasional dari Sulawesi oleh pemerintah RI.

Perlawanan tidak berhenti setelah Sultan Hasanuddin, sang Ayam Jantan Dari Timur meninggal dunia. Karaeng Karunrung dan Karaeng Galesong, dua abdi setia Sultan Hasanuddin yang memiliki ribuan orang pengikut mencoba melawan VOC. Akan tetapi, usaha perlawanan tersebut gagal sehingga mereka beralih ke Jawa dan bergabung dengan Trunojoyo yang juga sedang melawan VOC. Kemudian masih ada Sultan Abdul Jalil (1677 – 1709) yang memimpin Kesultanan Gowa sebagai generasi ketiga setelah Sultan Hasanuddin, yang menggugat beberapa pasal dalam perjanjian Bongaya tersebut. Namun gugatannya yang dikabulkan hanya mengenai penghapusan hutang atau ganti rugi kepada Belanda.

Setelah kematian Sultan Hasanuddin, Kesultanan Gowa memang tidak sepenuhnya mengalami keruntuhan. Akan tetapi, dampak perjanjian Bongaya membuat pengaruh politik Kesultanan Gowa habis tidak bersisa. Gowa mulai mengalami kemunduran secara perlahan namun pasti terutama setelah Sultan Hasanuddin tidak  lagi memerintah. Gowa baru bisa melepaskan diri dari cengkeraman Belanda pada tahun 1942 ketika Jepang menyerbu Indonesia. Kesultanan Gowa berakhir setelah Indonesia merdeka dan bergabung dengan Republik Indonesia. Ketahui juga mengenai sejarah museum Balla Lompoa, sejarah museum kota Makassar dan sejarah museum La Galigo Makassar.

The post 10 Dampak Perjanjian Bongaya Bagi Makassar appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah Peristiwa Bubat Pada Zaman Majapahit /indonesia/kerajaan/peristiwa-bubat Sat, 14 Sep 2019 03:05:58 +0000 /?p=5158 Perang Bubat atau peristiwa Bubat terjadi di abad ke 14 pada tahun 1279 Saka atau 1357 M. Peristiwa ini terjadi dalam sejarah kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk.…

The post Sejarah Peristiwa Bubat Pada Zaman Majapahit appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perang Bubat atau peristiwa Bubat terjadi di abad ke 14 pada tahun 1279 Saka atau 1357 M. Peristiwa ini terjadi dalam sejarah kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Perang tersebut terjadinya akibat perselisihan antara Mahapatih Majapahit yang terkenal, Gajah Mada dan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Lokasi pertempuran yang mengakibatkan seluruh rombongan Sunda tewas ada di Pesanggrahan Bubat yang sekarang berada di Propinsi Jawa Timur.

Raja Hayam Wuruk pada saat itu berniat untuk menikahi putri Raja Linggabuana yaitu Dyah Pitaloka Citraresmi. Untuk tujuan pernikahan itulah dengan didasari oleh prasangka baik dari Raja Linggabuana, Kerajaan Pajajaran melakukan perjalanan ke Majapahit. Akan tetapi di tengah perjalanan rombongan mereka dihentikan oleh Gajah Mada yang menginginkan mereka datang sebagai penyerahan diri kepada Majapahit. Karena tuntutan Gajah Mada tersebut yang ditolak oleh rombongan Sunda maka pertempuran tidak terhindarkan. Peristiwa Bubat kini menjadi bagian dari peninggalan sejarah Majapahit yang sedikit banyak juga bisa membantu mengungkap asal usul nusantara.

Kecerobohan Gajah Mada

Gajah Mada membuat Sumpah Palapa yang terkenal itu sebelum Hayam Wuruk naik tahta sebagai Raja Majapahit. Sumpah itulah yang melatar belakangi berbagai tindakan dan keputusan Gajah Mada. Hanya kerajaan Sunda dari semua kerajaan yang sudah dikuasai Majapahit yang belum ditaklukkan. Maka Gajah Mada meyakinkan Hayam Wuruk untuk memperlakukan kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Cara untuk mencapai penaklukan tersebut adalah dengan memanfaatkan kedatangan rombongan Kerajaan Sunda, memaksa Kerajaan Sunda untuk menyerah pada saat mereka datang untuk menikahkan putrinya. Hayam Wuruk didesak untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai tanda penyerahan kerajaan Sunda dan menganggapnya sebagai pengakuan akan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Raja Linggabuana dan rombongannya yang menganggap memang masih ada ikatan persaudaraan antara dua kerajaan tersebut akhirnya setuju untuk membawa putrinya untuk dinikahkan di Majapahit. Rombongan Sunda diterima di Pesanggrahan Bubat yang sudah merupakan wilayah Majapahit. Rombongan yang mengira mereka berangkat untuk acara pernikahan hanya membawa sedikit prajurit sebagai pengawal. Gajah Mada kemudian menyampaikan keinginannya tersebut, membuat utusan Linggabuana menolak, terkejut dan marah. Di tempat lain Hayam Wuruk masih belum benar – benar yakin mengenai taktik tersebut. Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya ke Bubat sebelum Hayam Wuruk memberikan keputusan apapun, dan mengancam Linggabuana untuk mengakui kekuasaan Majapahit. Lingga buana menolak dan akibatnya terjadi pertempuran yang tidak seimbang karena pasukan Linggabuana berjumlah kecil, hanya terdiri dari pasukan pengawal kerajaan, para pejabat dan menterinya saja.

Raja Sunda dan pengikutnya gugur pada peristiwa Bubat karena kalah jumlah. Putri Dyah Pitaloka melakukan bela pati yaitu tindakan bunuh diri untuk membela kehormatan bangsanya yang dilakukan sesuai tradisi. Tindakan ini sesuai dengan tata perilaku dan nilai yang dianut oleh kaum dari kasta ksatriya. Para perempuan dari kasta ksatriya akan bunuh diri jika kaum laki – lakinya gugur untuk membela harga diri dan melindungi kesucian diri mereka, menghindari kemungkinan untuk dipermalukan, pemerkosaan, penganiayaan, atau resiko dijadikan budak.

Kondisi Setelah Perang Bubat

Kematian seluruh anggota rombongan kerajaan dalam peristiwa Bubat tersebut menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Sunda, sehingga sebagai dampak perang bubat muncul larangan untuk menikah dengan orang Jawa. Mitos tersebut masih ada hingga sekarang dan dipercaya sebagian masyarakat, terutama di pelosok. Konon pernikahan antara orang Sunda dan Jawa tidak akan harmonis jika dilakukan. Raja Linggabuana digantikan oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tinggal di istana Kawali. Pangeran yang tidak ikut ke Majapahit mengeluarkan larangan estri ti luaran, isinya berupa peraturan tidak boleh menikah dengan orang luar lingkungan kerabat Sunda khususnya pihak Majapahit.

Sosok Gajah Mada dan Hayam Wuruk  sangat tidak disukai oleh masyarakat Sunda, sehingga tidak ada nama jalan di daerah Sunda yang dibuat berdasarkan nama kedua tokoh tersebut. Sebaliknya juga di wilayah bekas kerajaan Majapahit tidak ada nama jalan Siliwangi atau jalan Pajajaran. Kegagalan Majapahit menundukkan Pajajaran juga mengakibatkan kegagalan terwujudnya sumpah palapa Gajah Mada. Rakyat Sunda memusuhi Majapahit dan tidak ingin bekerja sama dengan orang Jawa karena mitos kuno yang beredar. Raja Linggabuana menjadi pemimpin yang dipuja oleh masyarakat Sunda dan diberi julukan sebagai Prabu Wangi berkat keberaniannya dalam melawan pasukan Majapahit dan menolak dominasi Majapahit. Putra dari Linggabuana yang tidak ikut dalam rombongan diberi kehormatan sebagai raja bergelar Prabu Siliwangi, yang berarti keturunan raja yang harum namanya. Gelar ini kemudian digunakan untuk semua raja setelah itu. Prabu Siliwangi kemudian tercatat sebagai salah satu raja paling terkenal dalam sejarah Indonesia dan sejarah kerajaan Pajajaran.

Hubungan Gajah Mada dengan Hayam Wuruk menjadi renggang karena Dyah Pitaloka turut menjadi korban dan Hayam Wuruk patah hati. Pejabat dan bangsawan Majapahit mencerca Gajah Mada karena tindakannya yang ceroboh, terlalu lancang dan melangkahi rajanya. Sejak saat itu kedudukan Gajah Mada mulai menurun di mata Hayam Wuruk. Gajah Mada diberi tanah di Madakaripura (Probolinggo) sebagai anjuran halus agar mulai mempertimbangkan untuk pensiun. Lokasi tanah yang jauh dari ibukota Majapahit ini membuat Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik Majapahit. Bisa disimpulkan bahwa Hayam Wuruk tidak lagi terlalu mempercayai Gajah Mada dan tidak terlalu tergantung lagi kepadanya seperti sebelum pertempuran tersebut.

Hayam Wuruk lebih terlibat dalam pemerintahan dan berusaha mengambil keputusan sendiri sejak itu dengan menyusun suatu sistem pemerintahan baru yang membuat penguasa dapat aktif secara langsung. Ia meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting dan juga mulai melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengetahui kondisi masyarakatnya. Rakyat terkesan dengan sistem pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, dan walaupun Gajah Mada tetap menjabat sebagai mahapatih namun kekuasaannya tidak lagi sebesar dulu. Hubungan diplomatik antara kedua negara diputus oleh Prabu Siliwangi, pengganti Raja Linggabuana. Hubungan antara kedua negara juga tidak pernah pulih sejak peristiwa Bubat selama bertahun – tahun bahkan berabad – abad kemudian.

Untuk menghilangkan mitos yang menyesatkan antara kedua etnis Jawa dan Sunda tersebut serta menghindari perpecahan bangsa, pemerintah mengambil langkah nyata dengan meresmikan nama jalan di kawasan Ring Road DIY pada tanggal 3 Oktober 2017. Nama jalan tersebut diresmikan oleh para pimpinan daerah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Gubernur Jawa Timur. Di lokasi jalan yang melingkari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut ada nama jalan Siliwangi, jalan Pajajaran, jalan Majapahit dan jalan Brawijaya. Dengan cara peresmian nama – nama jalan tersebut diharapkan dapat mematahkan mitos mengenai hubungan orang Jawa dan Sunda dari peristiwa Bubat serta perlahan melepaskan diri dari mitos perang bubat di masa lalu. Ketahui juga sejarah Candi Jiwa dan sejarah alat musik angklung.

The post Sejarah Peristiwa Bubat Pada Zaman Majapahit appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
9 Dampak Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran /indonesia/kerajaan/dampak-perang-bubat Tue, 03 Sep 2019 04:15:22 +0000 /?p=5105 Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau pada tahun 1357 M di abad ke 14, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam sejarah kerajaan Majapahit. Terjadinya perang tersebut akibat adanya…

The post 9 Dampak Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau pada tahun 1357 M di abad ke 14, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam sejarah kerajaan Majapahit. Terjadinya perang tersebut akibat adanya perselisihan antara Gajah Mada dan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Perang berlokasi di Pesanggrahan Bubat yang sekarang berada di Propinsi Jawa Timur, mengakibatkan seluruh rombongan Sunda tewas. Pada saat itu Raja Hayam Wuruk berniat untuk menikahi putri Raja Linggabuana yaitu Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Pajajaran melakukan perjalanan ke Majapahit, namun di tengah perjalanan rombongan mereka dihentikan oleh Gajah Mada yang mengira mereka hendak menyerah kepada Majapahit. Karena kesalah pahaman Gajah Mada tersebut maka pertempuran tidak terhindarkan. Ketahui juga mengenai peninggalan sejarah Majapahit yang sedikit banyak bisa membantu mengungkap asal usul nusantara.

Akibat Perang Bubat

  1. Dampak perang bubat masih dapat dirasakan bahkan hinggga zaman sekarang ini. Kematian seluruh anggota rombongan kerajaan Pajajaran tersebut menyisakan duka mendalam bagi rakyatnya yaitu masyarakat Sunda, sehingga muncul larangan untuk menikah dengan orang Jawa. Hingga sekarang mitos tersebut masih ada dan dipercaya sebagian masyarakat, terutama yang masih berdiam di pelosok. Konon jika dilakukan, maka pernikahan antara orang Sunda dan Jawa tidak akan harmonis. Raja Linggabuana digantikan oleh Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit. Dialah yang mengeluarkan larangan estri ti luaran, yang berisi peraturan mengenai tidak boleh menikah dengan orang luar lingkungan kerabat Sunda khususnya pihak Majapahit.
  2. Dampak perang bubat lainnya adalah sosok Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang tidak disukai oleh masyarakat Sunda, sehingga tidak ada nama jalan di daerah Sunda yang dibuat berdasarkan nama kedua tokoh tersebut. Begitu juga sebaliknya, di wilayah bekas kerajaan Majapahit tidak ada nama jalan Siliwangi atau jalan Pajajaran.
  3. Gagalnya Majapahit menundukkan Pajajaran juga mengakibatkan terjadinya dampak dari perang bubat berupa kegagalan sumpah palapa dari Gajah Mada. Rakyat Sunda bahkan jadi memusuhi Majapahit dan tidak ingin bekerja sama dengan orang Jawa karena mitos kuno yang beredar.
  4. Walaupun Raja Linggabuana adalah pemimpin yang dipuja oleh masyarakat Sunda dan diberi julukan sebagai Prabu Wangi berkat keberaniannya melawan pasukan Majapahit, dampak dari perang bubat membuat raja yang bahkan lebih termasyhur lagi muncul sebagai penggantinya. Putra dari Linggabuana yang tidak ikut dalam rombongan kemudian diberi kehormatan sebagai raja bergelar Prabu Siliwangi, yang berarti keturunan raja yang harum namanya. Prabu Siliwangi kemudian tercatat sebagai salah satu raja paling terkenal dalam sejarah Indonesia dan sejarah kerajaan Pajajaran.
  5. Dampak perang bubat saat itu akhirnya merenggangkan hubungan Gajah Mada dengan Hayam Wuruk, karena Dyah Pitaloka turut menjadi korban dan membuat Hayam Wuruk patah hati. Para pejabat dan bangsawan Majapahit mencerca Gajah Mada karena tindakannya yang ceroboh tersebut, terlalu lancang dan tidak memedulikan perasaan rajanya.
  6. Kedudukan Gajah Mada sejak saat itu mulai menurun di mata Hayam Wuruk sebagai dampak perang bubat tersebut. Hayam Wuruk memberinya tanah di Madakaripura (Probolinggo), yang dapat diartikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun. Tanah yang terletak jauh dari ibukota Majapahit ini membuat Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik Majapahit. Bisa disimpulkan bahwa Hayam Wuruk tidak lagi terlalu mempercayai Gajah Mada dan tidak terlalu tergantung lagi kepadanya seperti sebelum pertempuran tersebut. Sejak peristiwa itu Hayam Wuruk lebih terlibat dalam pemerintahan dan berusaha mengambil keputusan sendiri.
  7. Hayam Wuruk menyusun suatu sistem pemerintahan baru yang membuat penguasa dapat aktif secara langsung, dan meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan penting. Ia juga mulai melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengetahui kondisi masyarakatnya.
  8. Rakyat menjadi terkesan dengan sistem pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka, walaupun Gajah Mada tetap menjabat sebagai mahapatih namun kekuasaannya tidak lagi sebesar dulu.
  9. Hubungan antara kedua negara juga tidak pernah pulih sejak kejadian tersebut selama bertahun – tahun kemudian. Hubungan diplomatik antara kedua negara diputus oleh Prabu Siliwangi, pengganti Raja Linggabuana.

Kesalahan Gajah Mada

Tindakan Gajah Mada yang menimbulkan dampak perang bubat hingga berabad – abad kemudian dilatari oleh Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Dari semua kerajaan yang sudah dikuasai Majapahit, hanya kerajaan Sunda yang belum pernah dikuasai. Karena itu Gajah Mada meyakinkan Hayam Wuruk untuk menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Hayam Wuruk didesak untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai tanda penyerahan kerajaan Sunda dan pengakuan akan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Raja Linggabuana dan rombongannya akhirnya setuju untuk menikahkan putrinya di Majapahit karena menganggap memang masih ada ikatan persaudaraan antara dua kerajaan tersebut. Mereka diterima di Pesanggrahan Bubat di wilayah Majapahit. Mereka hanya membawa sedikit prajurit saja. Ketika Gajah Mada menyampaikan niatnya tersebut, utusan Linggabuana terkejut dan marah serta menolak. Sebelum Hayam Wuruk memberikan instruksi, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannnya ke Bubat dan mengancam Linggabuana agar mau mengakui kekuasaan Majapahit. Peperangan terjadi karena Linggabuana menolaknya, dan suatu peperangan yang tidak seimbang karena pasukan Linggabuana berjumlah kecil, hanya terdiri dari pasukan pengawal kerajaan, para pejabat dan menterinya saja.

Akhir pertempuran sudah bisa ditebak, Raja Sunda dan pengikutnya gugur. Sesuai tradisi, putri Dyah Pitaloka melakukan bela pati yaitu tindakan bunuh diri untuk membela kehormatan bangsanya. Tindakan ini sesuai dengan tata perilaku dan nilai yang dianut oleh kasta ksatriya. Para perempuan kasta ksatriya akan bunuh diri jika kaum laki – lakinya gugur untuk membela harga diri dan melindungi kesucian diri mereka, menghindari kemungkinan dipermalukan, pemerkosaan, penganiayaan, atau resiko diperbudak. Ketahui juga mengenai sejarah candi kedaton , candi di Mojokerto dan sejarah candi jabung.

Upaya Menghilangkan Mitos

Dampak perang bubat masih terpelihara di antara masyarakat karena diturunkan melalui dongeng – dongeng lintas generasi. Sejarah perang bubat masih diceritakan dari mulut ke mulut dan hanya ditafsirkan sebagai kesalahan seluruh suku Jawa daripada sebagai kesalahan fatal satu orang saja, yaitu Gajah Mada. Walaupun tidak ada prasasti satu pun yang dapat ditemukan mengenai perang tersebut, cerita turun temurun sudah cukup untuk dipercaya sebagian masyarakat. Bahkan bagi sebagian orang Sunda, perang bubat hingga saat ini masih menjadi luka lama dan bisa memicu timbulnya emosi kolektif pada masyarakat dan berbahaya karena dapat merenggangkan hubungan antara masyarakat Jawa dan Sunda.

Untuk menghilangkan mitos tersebut dan menghindari perpecahan, pemerintah mengambil langkah nyata dengan meresmikan nama jalan di kawasan Ring Road DIY pada tanggal 3 Oktober 2017. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan beserta Gubernur Jawa Timur adalah para pimpinan daerah yang meresmikannya. Pada jalan yang melingkari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut terdapat nama jalan Siliwangi, jalan Pajajaran, jalan Majapahit dan jalan Brawijaya. Dengan peresmian nama – nama jalan tersebut diharapkan dapat mematahkan mitos mengenai hubungan orang Jawa dan Sunda serta perlahan melepaskan diri dari mitos perang bubat di masa lalu.

The post 9 Dampak Perang Bubat Antara Majapahit dan Pajajaran appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Sejarah dan Silsilah Kerajaan Bali /indonesia/kerajaan/silsilah-kerajaan-bali Wed, 07 Aug 2019 02:48:32 +0000 /?p=1278 Bali merupakan sebuah pulau yang berada di bagian timur pulau jawa dan bersebelahan dengan Provinsi Jawa Timur. Bali yang dikenal sebagai pulau dengan berbagai tempat wisata yang sangat menarik untuk…

The post Sejarah dan Silsilah Kerajaan Bali appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>
Bali merupakan sebuah pulau yang berada di bagian timur pulau jawa dan bersebelahan dengan Provinsi Jawa Timur. Bali yang dikenal sebagai pulau dengan berbagai tempat wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi bahkan sudah terkenal hingga mancanegara. Keunikan Bali yang terkenal hingga ke negara lain selain karena keadaan alam yang eksotis juga karena uniknya masyarakat bali degan budaya dan adat istiadat disana. Perkembangan budaya bali tidak lepas warisan leluhur sehingga sejarah kerajaan bali tidak kalah menarik untuk diketahui berikut silsilah kerajaan bali

Awal Masa Kerajaan Bali Kuno

Kerajaan Bali kuno dikenal sebagai masa awal dari silsilah kerajaan bali, sesuai bukti sejarah yang ditemukan beberapa diantaranya yaitu Candi di Bali

  1. Cap
    Bukti sejarah awal pendirian kerajaan bali berbentuk Cap yang terbuat dari bahan dasar tanah liat yang ditemukan di daerah Pejeng, Bali. Penemuan bukti sejarah ini disebutkan terbuat pada abad ke 8 M.
  2. Prasasti
    Bukti sejarah selanjutnya yaitu berupa prasasti. Terdapat beberapa prasasti ditemukan dengan angka tahun yang berbeda prasasti pertama memiliki angka tahun 882 M dalam prasasti ini disebutkan sebuah perintah untuk membuat tempat pertapaan dan pasanggrahan di daerah bukit kintamani, akan tetapi dalam prasasti ini tidak memuat informasi raja yang berkuasa pada masa itu. Prasasti kedua memiliki angka tahun 911 M yang berisi sebuah izin untuk mendirikan bangunan suci bagi pemujaan bhatara bagi warga desa Trunyaan.  Kemudian Prasasti ke tiga yaitu Prasasti Blanjong yang isinya ditulis dengan bahasa sansekerta dan campuran bahasa bali kuno dengan huruf pranagawi, kawi. Prasasti Blanjong memiliki angka tahun 914 M selanjutnya Prasasti Blanjong disebut sebagai bukti sejarah berdirinya kerajaan bali kuno.

Silsilah Kerajaan

Raja pertama Kerajaan Bali kuno disebutkan bernama Kesari warmadewa atau Sri Kesari Warmadewa sebagai pendiri dinasti warmadewa, berikut ini urutan silsilah raja dari masa pertama pendirian:

  1. Sri Kesari Warmadewa
    Disebut sebagai raja pertama serta pendiri dinasti warmadewa, Sri Kesari Warmadewa disebut berasal dari sumatera kemudian datang ke Bali pada sekitar akhir abad ke 9, hal ini diakibatkan adanya persaingan dua kerajaan antara kerajaan Mataram dan dan kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya Sri Kesari mendirikan sebuah istana di wilayah desa Besakih, yang diberi nama Singhadwala atau Singhamandawa, raja Sri Kesari Warmadewa dikenal tekun beribadat dengan memuja dewa-dewa.  Hal ini dibuktikan dengan adanya  peninggalan yang berupa sebuah  lonceng  terbuat dari perunggu dan berasal dari Kamboja. Lonceng ini berfungsi sebagai pemberi  isyarat pada Biksu-Biksu Budha dapat melakukan peribadatan di biara masing-masing secara serentak . Lonceng tersebut saat ini disimpan di desa Pejeng, Gianyar dalam Pura Penataran Sasih.Pada pemerintahaan Sri kesari warmadewa kondisi penduduk sangat kondusif dan makmur. Kebudayaan juga berkembang pesat. selanjutnya juga memperbesar dan memperluas Pura Penataran Besakih. selain itu Shri Kesari Warmadewa merupakan tokoh sejarah, sebab adanya bukti dari beberapa prasasti yang telah ditinggalkan seperti Prasasti Blanjong di Sanur, kemudian Prasasti Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada waktu yang hampir bersamaan. akan tetapi masa pemerintahannya tidak lama kemudian digantikan.
  2. Ugrasena
    Penguasa kerajaan selanjutnya yaitu Ugrasena atau Sang Ratu Sri Ugrasena masa pemerintahannya berada di rentang waktu  antara  tahun 915 sampai 942,  Pusat pemerintahannya berada di Singhamandawa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa masa pemerintahan Raja Ugrasena sama seperti pemerintahan Mpu sendok dari wangsa Isyana di jawa timur. Pada masa pemerintahan Ugrasena membuat beberapa peninggalan berupa prasasti yang berisi tentang pembebasan pajak untuk wilayah khusus, adanya upacara keagamaan, pembangunan tempat pemujaan dan pemberian penghargaan. Setelah wafatnya Ugrasena dicandikan dan tahta penguasa diambil alih oleh Tabanendra Warmadewa.                                                                                                                                                   Baca juga peninggalan candi Hindu di Indonesia
  3. Tabanendra Warmadewa
    Setelah wafatnya Ugrasena kepemimpinan raja dilanjutnkan oleh Tabanendra Warmadewa yang merupakan keturunan dari Ugrasena. Raja Tabanendra Warmadewa memiliki seorang permaisuri bernama Ratu Sri Subhadrika Dharmadewi yang disebutkan membantu pekerjaannya sebagai raja, pada masa pemerintahan Tabanendra Warmdewa juga memberi pembebasan pajak bagi desa khusus dan memberi izin kepada pendeta untuk membangun tempat pemujaan di tempat pemakaman raja sebelumnya.
  4. Indrajayasingha Warmadewa
    Indrajayasingha Warmadewa juga dikenal dengan nama Jayasingha Warmadewa. Bukti sejarah masa pemerintahan Raja jayasingha warmadewa berupa  sebuah prasasti dengan nama prasasti Manukaya dengan tahun 882 Saka. Prasasti tersebut berisi perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul (sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring). Hal ini karena saat  itu raja Jayasingha membangun dua pemandian yang terletak di desa Manukraya.
  5. Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa
    Masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa berada sekitar akhir abad ke-10 M yang  merupakan raja kelima dari Wangsa Warmadewa. Bukti sejarah raja Jasanadhu hanya ada satu prasasti saja, yaitu Prasasti Sembiran yang ada pada tahun 897 Saka  atau 975 tahun Masehi yang  berisi perintah  raja Janasadhu Warmadewa kepada warga desa Julah serta desa-desa di sekitarnya (Indrapura, Buwun Dalam, dan Hiliran) supaya saling membantu saat memperbaiki tempat peribadatan. serta mempersenjatai diri sebagai upaya perlindungan dalam peperangan dan menghadapi perampokan.
  6. Śri Wijaya Mahadewi
    Setelah masa pemerintahan Raja Janasadhu Warmadewa berakhir kepemimpinan kerajaan digantikan oleh seorang ratu yang berama Sri Wijaya Mahadewi. Menurut seorang sejarahwan belanda yang bernama Stein Callenfels, ratu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. akan tetapi pendapat tersebut bertentangan dengan  Damais yang berpendapat bahwa ratu Sri Wijaya Mahadewi merupakan putri dari Empu Sindok yang berasal dari kerajaan di Jawa Timur. Penyebab padanya pendapat tersebut yaitu berdasarkan atas nama-nama jabatan dalam Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang saat itu sudah lazim disebut dalam prasasti di Jawa.
  7. Dharma Udayana Warmadewa
    Setelah pemerintahan Rau Wijaya dilanjutkan oleh pemerintahan Udayana. Saat menjadi pemimpin kerajaan Raja dibantu oleh permaisurinya, yang bernama Mahendradatta. Mahendradatta memiliki gelar yaitu Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni dalam kerajaan bali yaitu merupakan anak Raja Makutawangsawardhana yang berasal dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, Raja Udayana diperkirakan berada di Jawa Timur sebab namanya ada dalam isi Prasasti Jalatunda. Pernikahan antara Udayana dan permaisurinya yang berasal dari jawa membuat sebuah perubahan dalam kebudayaan kedua wilayah kerajaan, contohnya  bahasa Jawa Kuno digunakan untuk menulis isi prasasti dan pembentukan dewan penasihat seperti di pemerintahan kerajaan Jawa mulai dilakukan.Pada masa ini kerajaan Bali mengalami kejayaan. kemudian jalannya pemerintahan Udayana hanya dilakukan dan diatur oleh Raja udayana sebab Ia hanya memimpin bersama permaisurinya hanya  sampai tahun 1001 M karena pada tahun terseut  Gunapriya wafat dan dikebumikan di Burwan. Setelahnya Raja Udayana tetap melanjutkan pemerintahan sampai tahun 1011 M. Raja udayana wafat dan dicandikan di Banuwka. Peristiwa tersebut dikuatkan dengan dasar Prasasti Air Hwang (1011) yang isinya hanya menyebutkan  nama Udayana.  Raja Udayana memiliki tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu, akan tetapi Selama pemerintahan kerajaan bali Airlangga tidak pernah memerintah di Bali sebab Ia menjadi menantu Dharmawangsa di kerajaan Jawa Timur.
    Baca juga : sejarah kerajaan singasari
  8. Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja
    Marakata merupakan anak dari Raja Udayana yang memiliki gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Masa pemerintahan Marakata memerintah berada pada rentang tahun 1011 hingga 1022, hal ini disebut sama dengan pemerintahan Airlangga di Jawa. Terdapat pendapat dari ahli sejarah utterheim bahwa Marakata sebenarnya adalah Airlangga hal ini didasarkan pada kesamaan nama, cara memimpin, dan kepribadian. pada masa memimpin kerajaan Marakata disegani dan ditaati oleh rakyatnya hak ini disebabkan karena Marakata sangat memperhatikan rakyatnya dan selalu melindungi. Selain itu Di masa pemerintahannya Marakata membangun presada atau candi di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring.
  9. Anak Wungsu
    Setelah masa pemerintahan Marakata berakhir, kepemimpinan Kerajaan Bali dilanjutkan oleh Anak wungsi memiliki gelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka. Pada masa pemerintahan Anak Wungsu banyak  meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti yang jumlahnya lebih dari 28 prasasti dan  tersebar di beberapa wilayah bali yaitu Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Lama masa pemerintahan Anak Wungsu adalah  28 tahun yang dimulai dari tahun 1049 sampai tahun 1077. Saat itu Anak Wungsu dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.  Kehidupan keluarga Anak Wungsu disebutkan bahwa tidak memiliki anak dan wafat pada tahun 1077  kemudian dimakamkan di Gunung Kawi.

Setelah masa pemerintahan Anak Wungsu pemerintahan kerajaan bali dilanjutkan dengan sebutan masa Wangsa jaya karena saat itu pemerintahan digantikan oleh Jaya sakti dengan masa pemerintahan yang dimulai pada tahun 1133 hingga 1150 M yang juga memiliki kesamaan masa dengan pemerintahan Jayabaya di Kediri. Saat menjalankan pemerintahan, Raja Jayasakti memiliki penasihat pusat yang terdiri dari para senapati dan pimpinan keagamaan Hindu dan Budha, serta masa kepemimpanannya menggunakan kitab undang-undang  kitab Utara Widdhi Balawan serta kitab Rajawacana. berikut daftar raja pada Wangsa Jaya.

  1. Śri Jayaśakti  dengan masa pemerintahan tahun 1133 hingga tahun 1150.
  2. Ragajaya  dengan masa pemerintahan  tahun 1155.
  3. Jayapangus dengan masa pemerintahan tahun 1178 hingga tahun  1181.
  4. Arjayadengjayaketana  seorang ratu, memerintah pada tahun 1200.
  5. Haji Ekajayalancana yang merupakan penguasa bersama tahun 1200.
  6. Bhatara Guru Śri Adikuntiketana dengan masa pemerintahan tahun 1204.
  7. Adidewalancana dengan masa pemerintahan tahun 1260.

Baca juga sejarah kerajan majapahit

Masa Keruntuhan Kerajaan

Kerajaan Bali mulai mengalami kemunduran yang disebabkan karena siasat  Kerajaan Mahapahit saat itu Gajah Mada tengah melakukan perluasan daerah  ekspansinya ke wilayah  nusantara, Pada awalnya Gajah Mada melalui hubungan diplomatik mengajak raja Bali berunding yang membahas penyerahan kerajaan Bali kedalam kekuasaan Kerajaan Majapahit, saat itu perundingan damai dilakukan oleh patih Kebo Iwa (Bali) yang dikirim ke Kerajaan Majapahit, akan tetapi setelah sampai dikerajaan Majapahit Kebo Iwa dibunuh tanpa sepengetahuan kerajaan Bali, Selanjutnya pihak Kerajaan Majapahit mengirim Gajah Mada dengan taktik berpura-pura mengajak berunding, namun sesampai dikerajaan Bali Gajah Mada malah membunuh raja Gajah Waktra yang saat itu memimpin kerajaan sehingga peristiwa tersebut membuat kerajaan Bali berada dalam pangkuan Kerajaan Majapahit serta peninggalan kerajaan majapahit

The post Sejarah dan Silsilah Kerajaan Bali appeared first on Sejarah Lengkap.

]]>