Satu lagi monumen yang dibangun atas dasar sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sejarah Monumen Trisula ini didirikan di kabupaten Blitar Selatan, Jawa Timur. Dasar pendiriannya ditujukan untuk mengenang tragedi yang terjadi ketika pasukan Brigade Infanteri Udara 18 atau Trisula melalukan penumpasan terhadap sisa-sisa anggota PKI yang melarikan diri ke daerah Blitar.
Penumpasan tersebut terjadi pada tahun 1968 di desa Bakung, Blitar Selatan, yang dimpin langsung oleh Kolonel Witarmin bersama masyarakat Blitar Selatan. Hingga kini peristiwa penumpasan PKI tersebut masih selalu dikenang di monumen ini. Bahkan para prajurit yang baru bergabung dengan Dibyatara Yudha dan Trisula wajib melakukan napak tilas, pembaretan, serta renungan atas seluruh jasa yang dilakukan para pendahulu mereka. Baca juga Sejarah patung pancoran dan sejarah berdirinya tugu monas.
Sejarah Monumen Trisula
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Partai Komunis Indonesia atau dikenal dengan singkatan PKI selalu melakukan berbagai usaha demi mengganggu kedaulatan negara serta berupaya menggulingkan Pancasila yang merupakan falsafah hidup bangsa. Tujuan dari berbagai upaya tersebut tidak lain adalah demi meggantinya dengan paham-paham komunisme. Dengan dasar hal itulah pemberontakan yang dilakukan PKI mulai sering terjadi seperti di Madiun pada tahun 1948.
Akan tetapi PKI kemudian gagal menggulingkan sistem pemerintahan dan falsafah negara. Hal ini terjadi juga karena adanya suatu peristiwa yang dikenal dengan sebutan peristiwa G30SPKI yang terjadi tepatnya pada 30 September 1965. Pada akhirnya usaha salah satu usaha yang membuat upaya PKI gagal adalah ketetapan dan ketegasan yang dimiliki Pangkostrad Jenderal TNI Soeharti, rakyat, dan Angkata Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sementara itu tokoh-tokoh sejarah PKI yang tidak tertangkap kemudian melarikan diri dari kota besar menuju pelosok desa, karena biasanya wilayah pelosok cukup sulit untuk ditemukan. Apalagi pelosok yang terbelakang dan miskin untuk dijadikan sebagai tempat berlindung serta menyelamatkan diri. Baca juga sejarah masjid agung semarang dan sejarah museum jalesveva jayamahe.
Salah satu wilayah yang sesuai dengan kriteria tersebut adalah Blitar Selatan. Hal itu dikarenakan kabupaten tersebut memiliki medan yang kritis, perekonomiannya miskin, dan warga di sana masih sangat terbelakang. Penyebab terbelakangnya warga Blitar Selatan adalah sulitnya jangkauan pemerintah untuk melakukan pembinaan serta kondisi sosial masyarakat yang masih sangat ramah dan memiliki rasa panguyuban yang tinggi, sehingga wilayah tersebut menjadi terisolir.
Selain itu alasan lain para tokoh PKI melarikan diri ke Blitar Selatan adalah untuk menyebarkan propaganda serta tipu daya demi membangun kembali partai yang telah hancur. Tujuan ini cukup cerdik mengingat kondisi masyarakat setempat yang masih termasuk ‘bodoh’, sehingga mau saja disuruh-suruh. Setelah sepuluh tahun berlalu sejak tahun 1957 masyarakat secara penuh termakan tipu daya tokoh PKI.
Segalanya telah dikuasai, ekonomi setempat semakin membaik dengan tersedianya sandang, papan, dan pangan. Para tokoh PKI lain juga mulai berdatangan. Mereka mengusir warga dari rumah sendiri demi mendapatkan tempat tinggal. Kondisi Blitar Selatan terutama desa Bakung perlahan berubah menjadi berkecamuk dan mencekam. Warga yang tidak mau bergabung dengan PKI disiksa dan dibunuh.
Pada saat itu ada seorang warga bernama Kusno yang berhasil melarikan diri dengan berjalan kaki hingga daerah Jatinom, Kanigoro. Setibanya di daerah tersebut ia mencuri makanan milik warga, karena sudah sangat kelaparan. Akibatnya ia ditangkap oleh seorang TNI bernama Ruslan dari Yonif 511/DY. Pada Ruslan, Kusno akhirnya menceritakan kisah mengenai kekacauan yang terjadi di Bakung. Baca juga sejarah ham di dunia, macam macam artefak dan peninggalan zaman praaksara.
Penumpasan PKI
Penumpasan berawal dari penuturan Kusno kepada Ruslan yang akhirnya menemukan titik temu antara kisah tersebut dengan beberapa intel yang memiliki nasib naas ketika dikirim menelusuri wilayah Blitar Selatan. Pada akhirnya Ruslan menyusun taktik untuk mencari tahu tentang perkembangan PKI di wilayah tersebut berbekal kecerdikannya. Ruslan menyamar sebagai orang gila yang memiliki rambut gimbal serta pakaian lusuh. Ia memanfaatkan daun pisang dan sebatang lidi untuk memetakan pergerakan PKI di daerah Bakung. Tidak hanya itu ia juga menelusuri rumah warga yang terindikasi sebagai markas para gembong PKI dalam menyusun rencana pergerakan. Dengan semua apa yang ia temukan, Ruslan kembali ke markas Yonnif511/DY dan menceritakan semua yang ia ketahui.
Mendengar kondisi tersebut pemerintah tidak tinggal diam dan mulai melakukan berbagai kegiatan untuk menumpas sisa-sisa PKI yang melarikan diri. Salah satu bentuk usahanya adalah melakukan operasi intel serta operasi teer gabungan mulai bulan Februari hingga Juni 1968. Operasi ini memang cukup berhasil, tetapi tidak di daerah terbelakang seperti Blitar Selatan, Tulungagung, Malang Selatan, dan wilayah di sekitanya PKI justru semakin berkecamuk.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah peninjauan secara langsung melalui udara. Peninjauan ini dilaksanakan oleh Asisten 1 dari Kodam V/Brawijaya, yang kemudian dilanjutkan dengan rapat evaluasi oleh semua pimpinan. Hasil dari pertemuan tersebut adalah melakukan penghancuran serta penumpasan terhadap sisa-sisa PKI terutama yang berada di wilayah Blitar Selatan dan sekitarnya. Setelah itu kemudian dibentuk Satuan Tugas atau Satgas Trisula.
Operasi pembersihan dilakukan selama dua bulan yang dimulai pada tanggal 8 Juni sampai 30 Juli 1968. Operasi ini berada di bawah komando Kolonel Witarmin yang berasal dari Brigif Linud 18. Adapun satuan yang ikut bergabung dalam operasi adalah Yonif531, 521, 527, 511, 513, unsur Bantuan Administrasi (Banmin) dan Bantuan Tempur (Banpur), unsur Satuan Teritorial (Satter), 1 Kompi Paskhas (PGT) TNI Angkatan Udara, Hansip-Wanra kabupaten Blitar, Kediri, Nganjuk, Tulungagung, dan Malang sekitar 14.000 orang.
Selain itu masih ada kesatuan yang dalam proses atau on call seperti Batalyon Armed, Yonif401/Para, serta Grup Kopanandha (RPKAD). Operasi ini menggunakan konsep sepanjang 80 km para tentara dan hansip terbentang. Jarak antara setiap tentara adalah 5 meter yang tersebar sepanjang Tulungagung hingga Malang, menyisiri Sungai Brantas hingga Pantai Selatan dengan berjalan kaki. Setibanya di Pantai Selatan, pasukan kembali ke utara. Konsep yang diterapkan pertama kali di dunia ini sangat berhasil membersihkan anggota PKI.
Filosofi Bagian Monumen
Kondisi masyarakat Blitar Selatan setelah operasi tersebut semakin membaik. Hanya saja kerusakan terjadi dimana-mana. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi adalah melakukan pembangunan jalanan, pemindahan rumah penduduk dari bukit ke tepi jalan, penghijauan tanah untuk mata air dan kesuburan lahan, serta pendirian sarana pendidikan dan keagamaan. Upaya lain yang dilakukan adalah pembinaan mental, ideologi, ketuhanan terhadap warga, pedirian RKPD Kabupaten Blitar di Bakung, serta sarana listrik, diesel, dan air.
Demi mengenang penumpasan PKI yang telah terjadi dibangunlah Monumen Trisula yang berada di atas lahan seluas 5.625 meter kubik. Diresmikan pada tanggal 18 Desember 1972 oleh M. Yasin selaku Letnan Jenderal TNI Angakatan Darat yang menjabat Deputi Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Sejarah Monumen Trisula terdiri atas 17 pilar penyangga, jalan melingkar yang berbentuk angka 8, 45 buah trap, serta 5 buah di tangga bawah. Hal tersebut mengandung makna bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sementara untuk anak tangga bawah menunjukkan jumlah Batalyon yang bergabung dalam operasi. Terdapat juga 5 patung dengan tiga ABRI dan dua rakyat. Perpaduan antara ABRI dan rakyat menunjukkan kemanunggalan. Kemudian salah satu pantung menunjuk ke suatu tempat dengan artian bahwa di sinilah pernah terjadi sejarah hitam akibat PKI.