Negara kita terkenal akan kekayaan budaya dan Sumber Daya Alamnya. Begitu banyak kekayaan alam yang kita miliki dari Pulau Weh sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Ndana baik diatas daratan hingga yang terpendam dibawah tanah dan bawah laut. Kekayaan yang kita miliki begitu melimpah ruah.
Hasil tambang, perkebunan, pertanian, hingga hasil laut semuanya dapat kita nikmati di negeri ini. Namun seluruh kekayaan itu tak urung menjadi incaran bangsa lain yang iri dengan Indonesia. Hal ini bahkan menjadi awal mula kita mengalami penjajahan beratus-ratus tahun lamanya. Perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan pun dilakukan dengan segenap tumpah darah, perjuangan, dan pengorbanan yang tiada hentinya.
Usai memproklamasikan kemerdekaan, bangsa Indonesia tak lantas dapat hidup bebas dan damai. Para penjajah berupaya menduduki kembali negeri ini dengan berbagai cara yang licik. Salah satu kilas balik sejarah yang menjadi bukti perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yakni adanya pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945.
Insiden Robeknya Bendera Belanda
Selepas runtuhnya penjajahan Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk tatanan hukum Negara. Pada tanggal 31 Agustus 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang mana berisi mengenai perintah untuk mengibarkan bendera nasional sang saka merah putih diseluruh penjuru Indonesia mulai esok harinya yakni tanggal 1 September 1945. Semarak kebahagiaan rakyat yang terlihat seiring berkibarnya bendera merah putih di seluruh tanah air tak terkecuali di Surabaya.
Namun kebahagian rakyat Surabaya tak berlangsung lama yakni ketika Mr. W.V.CH. Ploegman yang memimpin sekelompok orang Belanda tiba-tiba mengibarkan bendera Belanda yang berwarna merah putih dan biru di atas Hotel Yamato atau sebelumnya pada masa kedudukan Belanda dikenal dengan Hotel Oranye yang berlokasi di Jalan Tunjungan No. 65 Surabaya. Pengibaran bendera Belanda pada tanggal 18 September 1945 pukul 21.00 memicu kemarahan rakyat Surabaya dan dianggap menghina bendera Indonesia.
Akibat hal tersebut massa akhirnya berkerumun di depan Hotel Yamato. Melihat situasi yang semakin keos akhirnya Panglima Soedirman yang menjadi perwakilan Indonesia memasuki Hotel Yamato bersama Haryanto dan Sidik dan bertemu dengan Mr. Ploegman untuk melakukan perundingan. Jenderal Soedirman meminta agar Mr. Ploegman beserta anak buahnya bersedia menurunkan bendera Belanda demi menekan terjadinya kericuhan yang sudah mulai memanas. Namun permintaan Jenderal Soedirman ditolak mentah-mentah oleh Mr. Ploegman dan malah membuat keributan di dalam Hotel. Mr. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik setelah sebelumnya mengancam dengan mengeluarkan pistol. Sidik kemudian tewas oleh pasukan Belanda dari luar Hotel setelah mendengar suara letusan pistol Mr. Ploegman.
Jenderal Soedirman dan Haryanto yang terdesak mencoba keluar dari Hotel sementara itu massa yang semula berkerumun didepan Hotel akhirnya memaksa masuk ke atas Hotel. Mereka berupaya untuk menurunkan bendera Belanda. Setelah keluar dari Hotel, Haryanto yang semula bersama Jenderal Soedirman justru masuk kembali kedalam Hotel dan ikut memanjat tiang bendera bersama Koesno Wibowo yang akhirnya berhasil dilakukan. Mereka menurunkan bendera Belanda lalu merobek bagian putihnya dan mengibarkan kembali bendera tersebut yang telah menjadi bendera merah putih.
Sekutu tiba di Surabaya
Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby yang merupakan perwakilan tentara Inggris untuk wilayah Jawa Timur tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945 mereka para sekutu yang tergabung dalam Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI) datang kembali dengan alasan ingin melucuti senjata para tentara Jepang, membebaskan para interniran atau pasukan sekutu yang ditawan, dan memulangkan para tentara Jepang. Namun dibalik alasan-alasan tersebut ternyata kedatangan AFNEI yang diam-diam diboncengin oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) membawa misi untuk membantu NICA merebut Negara Indonesia. Seolah tak puas membakar amarah rakyat Surabaya yang tengah memanas setelah aksi pengibaran bendera Belanda.
Pesawat tempur milik sekutu mengedarkan pamflet pada tanggal 27 Oktober 1945 dalam pamflet tersebut diberitahukan agar seluruh rakyat Surabaya memberikan senjata milik tentara Jepang ke tangan sekutu. Aksi ini menimbulkan pergolakan di Surabaya maka mulai pada saat itu meletuslah serangan-serangan yang banyak memakan korban jiwa. Serangan ini berlangsung dari tanggal 27 Oktober sampai 29 Oktober 1945. Situasi yang semakin pelik membuat Presiden Soekarno berupaya meredakan situasi atas permintaan Jenderal D.C Hawthorn.
Pada tanggal 29 Oktober 1945 dilakukan penghentian perang setelah sebelumnya pihak Indonesia melakukan perundingan dengan pihak sekutu. Pada perundingan itu mempertemukan Presiden Soekarno, wakil Presiden Moh. Hatta dan Amir Syarifudin yang kala itu menjabat sebagai menteri penerangan dengan Jenderal Sir Phillip Christison. Mereka menyepakati adanya penghentian perang atau gencatan senjata namun serangan-serangan antara kedua belah pihak tetap tak terelakkan.
Puncaknya pada tanggal 30 Oktober 1945, terjadi baku tembak antara sekelompok pemuda dengan Brigadir Jenderal Mallaby dan beberapa pasukannya yang menumpangi mobil buick saat melintasi jembatan merah. Sebuah kesalah pahaman terjadi yang mengakibatkan baku tembak itu.
Sebuah peluru yang berasal dari pistol salah satu pemuda ternyata mengenai Brigadir Jenderal Mallaby dan membuatnya tewas seketika. Tak sampai disitu, mobil buick yang ditumpangi Mallaby pun terbakar karena terkena lemparan granat. Proses evakuasi Mallaby mejadi sulit karena jenazahnya nyaris tak bisa dikenali.
Kesalah pahaman yang menyebabkan insiden baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby ternyata tidak serta merta merupakan kesalahan dari pihak Indonesia. Hal tersebut terungkap pada 20 Februari 1946, seorang anggota partai buruh Inggris (labour party) sekaligus anggota parlemen (house of commons) bernama Tom Driberg.
Ia meyakini bahwa baku tembak yang terjadi karena kesalahan 20 pasukan sekutu dibawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Mallaby yang tidak mengetahui bahwa telah dilakukan perjanjian gencatan senjata. Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pun hingga kini belum dapat diyakini sepenuhnya akibat tembakan karena ledakan dari granat yang membakar mobilnya terjadi bersamaan.
Meletusnya Pertempuran 10 November 1945
Tanggal 10 November 1945 pihak sekutu marah dan Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh yang ditunjuk sebagai pengganti Brigadir Jenderal Mallaby mengeluarkan ultimatum yang berisi pernyataan bahwa pihak Indonesia harus menghentikan perlawanan terhadap AFNEI dan NICA serta menyerahkan semua senjata yang dimiliki. Waktu ultimatum ditentukan yakni sampai pukul 06.00 di tanggal 10 November 1945.
Rakyat Surabaya merasa dihina dengan adanya ultimatum tersebut dan sama sekali tidak berniat untuk mengiyakan ultimatum tersebut. Rakyat Surabaya merasa hal tersebut tidak seharusnya dilakukan karena Negara Indonesia telah ada dengan membentuk pasukan Negara yakni TKR. Pada tanggal 10 November 1945 pula pasukan sekutu melakukan aksi Ricklef atau dikenal pula dengan pembersihan darah. Mereka memborbadir kota Surabaya dengan serangan dari darat maupun laut dengan menggunakan tank, pesawat, dan kapal perang.
Alih-alih mundur, rakyat Surabaya justru semakin tak gentar. Seluruh penduduk turut serta dalam melawan aksi pasukan sekutu meski artinya banyak mengorbankan nyawa penduduk. Pasukan sekutu pun dibuat tercengang dengan kuatnya lapisan pertahanan rakyat Surabaya yang mereka kira dapat dikalahkan hanya dalam waktu tiga hari.
Selain itu kekuatan rakyat Surabaya juga disokong dari para santri dengan dukungan tokoh-tokoh agama seperti KH. Hasyim Asy’ari dan K.H Wahab Hasbullah yang perannya lebih besar kala itu dibandingkan pemerintah. Pertempuran ini pun berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Dari mulai pola serangan yang tidak teratur (spontan) hingga menjadi teratur dan berstrategi.
Sosok Bung Tomo yang merupakan seorang revolusioner menjadi api pembakar semangat rakyat Surabaya pun hingga kini terus dikenang jasa dan perjuangannya. Beliau menyuarakan pidato yang memacu keinginan rakyat Surabaya untuk mempertahankan Indonesia hingga titik darah penghabisan. Bung Tomo mengatakan dengan lantang “Merdeka atau mati?” yang lantas dijawab oleh ratusan ribu rakyat dengan kata ‘Merdeka’ daripada mati sia-sia ditangan para sekutu.
Pertempuran tersebut memakan korban tewas hingga lebih dari 10.000 orang pejuang Indonesia dan rakyat sipil sebanya 200.000 orang harus mengungsi dari Surabaya lantaran kota Surabaya belum layak ditempati akibat kerusakan parah. Sementara dari pihak sekutu terdapat sekitar 2000 orang tewas. Perlawan rakyat Indonesia tak ternilai harganya demi menyelamatkan bangsa dan melepaskan belenggu penjajah.
Banyaknya pejuang dan rakyat yang tewas pada 10 November 1945 membuat tanggal ini dikenang sebagai Hari Pahlawan hingga saat ini. Tak hanya itu, dibangun pula Tugu Pahlawan setinggi 41,15 meter yang menjadi marka kota Surabaya. Dibawah tugu tersebut terdapat museum yang menyimpan banyak peninggalan sejarah terkait pertempuran 10 November 1945.
[accordion]
[toggle title=”Artikel Terkait”]
[/toggle]
[toggle title=”Artikel Lainnya”]
[one_third]
[/one_third]
[one_third]
[/one_third]
[one_third_last]
[/one_third_last]
[/toggle]
[/accordion]
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…