Bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dapat bertemu dengan ‘Kemerdekaan’? Seandainya kala itu pemuda pemuda bangsa ini gagal memproklamirkan kemerdekaan akankah kita dapat hidup tenang seperti saat ini? Lebih dari tiga ratus lima puluh tahun negeri ini seolah berada dibalik jeruji besi. Terbelenggu tekanan dan siksaan hingga berakhir dengan berpulangnya banyak nyawa. Seluruh tanah di bumi pertiwi dipijak oleh mereka sang penjajah dari sabang hingga merauke.
Para pemuda dahulu bagaikan hidup di negeri orang. Segala kekayaan negeri ini dikuras habis hingga tak bersisa. Sang penjajah menduduki segalanya di penjuru negeri ini demi kekuasaan. Salah satu dari penjuru negeri yang diduduki tak lain adalah sebuah kota yang berdekatan dengan Semarang dan Magelang, Jawa Tengah. Yakni kota Ambarawa.
Latar Belakang
Kita tentu sudah tidak asing lagi mendengar nama ‘Ambarawa’ yang menjadi salah satu daerah saksi bisu terjadinya pertempuran pasca kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada tanggal 20 November hingga 15 Desember 1945 terjadi sebuah pertempuran yang dikenal dengan ‘Pertempuran Ambarawa/ Palagan Ambarawa’ antara pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan pasukan sekutu (Inggris).
pada awalnya pertempuran ini yakni dimulai sejak kedatangan pasukan sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Bethel yang tergabung dalam Brigade Artileri Divisi India ke-23 ternyata diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Administration). Kedatangan sekutu pada awalnya diterima oleh pihak Indonesia lantaran untuk mengurus bekas tawanan perang atau Interniran Belanda. Namun, pihak sekutu dan NICA justru malah membebaskan para tawanan secara sepihak tanpa adanya perjanjian dengan pihak Indonesia.
Merasa telah dibohongi maka marahlah pihak Indonesia hingga akhirnya terjadi insiden yang bermula di kota Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945. Pihak sekutu yang berupaya menguasai wilayah Kota Magelang membuat kekacauan dan melucuti senjata anggota TKR. Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel akhirnya dapat menghentikan insiden tersebut setelah mengadakan kesepakatan tanggal 2 November 1945. Dalam kesepakatan tersebut diperoleh beberapa persetujuan yakni :
Kronologis
Perjanjian tersebut ternyata dikhianati oleh pihak sekutu yang mengakibatkan pecahnya pertempuran di Ambarawa tanggal 20 November 1945. TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto berupaya menghadapi pasukan sekutu. Sebagian pasukan sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa pada 21 November 1945. Pengeboman terhadap desa-desa yang berada disekitar Ambarawa dilakukan oleh pasukan sekutu pada tanggal 22 November 1945. Garis medan sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa terbentuk oleh pasukan TKR dan pasukan pemuda dari Kartasura Boyolali, dan Salatiga.
Padatanggal 21 November 1945 pula TKR divisi V/Purwokerto yang dipimpin oleh Imam Androngi melakukan serangan fajar, mereka merebut desa-desa yang sebelumnya telah diduduki sekutu dan berhasil menduduki desa pingit.
Pengejaran kembali dilakukan oleh Batalyon Imam Androngi dan pasukannya. Batalyon 10 Divisi III dibawah kepemimpinan Mayor Soeharto, Batalyon 8 dibawah kepemimpinan Mayor Sardjono, dan Batalyon Sugeng yang merupakan Batalyon dari Yogyakarta menyusul Batalyon Imam Androngi. Pasukan sekutu mencoba mengancam kedudukan pasukan Batalyon dengan tank-tank dan gerakan melambung setelah akhirnya mereka berhasil terkepung. Namun, pasukan Batalyon memilih mundur ke Bendano untuk menghindari jatuhnya korban.
Letnan Kolonel M. Sarbini yang memimpin TKR Resimen Magelang berupaya membalas perlakuan pihak sekutu dengan melakukan pengepungan kembali dari segala penjuru. Tak berhenti sampai disitu, pasukan sekutu memasuki daerah Ambarawa secara diam-diam dan pergerakan mereka pun mendapatkan pengejaran dari TKR Resimen Kedu Tengah yang juga dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Sarbini. Beruntung kala itu pasukan angkatan muda pimpinan Oni Sastrodiharjo yang diperkuat pasukan gabungan Ambarawa, Suruh, dan Surakarta berhasil menghadang pasukan sekutu di desa jambu sehingga pergerakan mereka tertahan. Di desa Jambu, Kolonel Holland Iskandar memimpin rapat koordinasi dengan para komandan pasukan.
Markas Pimpinan Pertempuran di Magelang adalah hasil rapat koordinasi yang mana terdpaat pembagian empat sektor (sektor utara, sektor barat, sektor selatan, dan sektor timur) atas Ambarawa dengan disiagakannya pasukan tempur secara bergantian.
Kabar duka pun menyelimuti. Letnan Kolonel Isdiman yang memimpin pasukan dari Purwokerto gugur pada 26 November 1945. Meski begitu situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR ketika pengambil alihan pasukan dilakukan oleh Kolonel Soedirman yang merupakan Panglima Divisi V/Purwokerto. Sementara itu daerah Banyubiru yang merupakan garis pertahanan terdepan berhasil ditinggalkan pasukan sekutu setelah diusir pada 5 Desember 1945.
Serangan Terakhir Melawan Sekutu
Usai memikirkan beberapa upaya mengenai strategi penyerangan pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman memanggil tiap komandan sektor dan melakukan diskusi. Kolonel Sudirman berpendapat bahwa serangan terakhir harus segera dilakukan karena keadaan pasukan sekutu tengah terdesak.
Waktu penyerangan pada semua sektor dijadwalkan pukul 04.30 pada 12 Desember 1945 dimana masing-masing komandan akan memimpin serangan secara tiba-tiba. TKR berhasil mengepung pasukan sekutu di dalam kota hanya dalam waktu tiga puluh menit pada dini hari tanggal 12 Desember 1945 setelah bergerak menuju sasaran masing-masing. Meski begitu pertahanan musuh yang terkuat tetap masih ada yakni di tengah-tengah kota Ambarawa tepatnya di Benteng Willem.
Pengepungan yang dilakukan oleh TKR berlangsung selama empat hari empat malam. Kolonel Soedirman memimpin langsung penyerangan dengan melakukan strategi gelar supit urang dan membuat pengepungan rangkap dua sisi sehingga membuat pasukan sekutu semakin terperangkap. Pasukan sekutu akhirnya meninggalkan Ambarawa menuju Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Tangga tersebut ditetapkan sebagai hari Infanteri.
Pertempuran Ambarawa telah memberikan memori bagi bangsa Indonesia. Perjuangan para pemuda untuk mempertahankannya bukan hanya semata-mata karena kota Ambarawa merupakan kota yang strategis karena berdekatan dengan tiga kota besar di Jawa Tengah yakni Surakarta, Magelang, dan markas tertinggi TKR yakni Yogyakarta. Jauh diatas semua mempertahankan Ambarawa adalah sebuah amanah yang harus dijalankan atas nama bangsa Indonesia dan seluruh isinya.
Untuk dapat melihat kilas balik pertempuran/palagan Ambarawa pada tahun 1973 maka dibangun sebuah monument yang diberi nama ‘Monumen Palagan Ambarawa’.
[accordion]
[toggle title=”Artikel Terkait”]
[/toggle]
[toggle title=”Artikel Lainnya”]
[one_third]
[/one_third]
[one_third]
[/one_third]
[one_third_last]
[/one_third_last]
[/toggle]
[/accordion]
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…