Secara etimologi kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phala”, yang artinya hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti seseorang yang mempunyai keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran bagi bangsa, negara dan agama atau pejuang yang gagah berani.
Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta atau gelar yang diberikan kepada orang yang sudah meninggal ini diberikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai perbuatan nyata yang sangat berjasa dan diteladani bagi masyarakat.
Dari surat keputusan presiden, ada 159 tokoh pahlawan Indonesia dan 12 diantaranya adalah para pahlawan nasional wanita antara lain:
Cut Nyak Dhien adalah salah satu pahlawan nasional wanita Indonesia yang lahir pada Selasa, 0-1-1848 di Lampadang, Aceh. Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang agamis yang merupakan keturunan langsung Sultan Aceh, yaitu Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim.
Pada usia 12 tahun, yakni tahun 1862 ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka memiliki satu anak laki-laki.
Masa Perjuangan melawan Belanda
Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh. Pada 8 April 1873, Belanda menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya dan daerah VI Mukim berhasil di duduki Belanda yang akhirnya membuat suaminya, Teuku Ibrahim bertempur untuk merebut daerah VI Mukim.
Namun sayangnya Teuku Ibrahim gugur dalam perang di Gle Tarum, 29 Juni 1878, hal ini membuat Cut Nyak Dhien marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda dan melanjutkan perjuangan suaminya untuk memimpin perang. Setelah Cut Nyak Dhien menjanda, Teuku Umar salah satu pejuang Aceh meminangnya untuk dijadikan istri sekaligus rekan perjuangan karena sangat kagum dengan semangat Cut Nyak Dhien, mereka menikah pada tahun 1880 dan memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien membangun kembali kekuatan dan meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Belanda di sejumlah tempat, mereka berdua merupakan pasangan suami istri yang berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Aceh.
Namun takdir berkata lain, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar ditemukan gugur dalam perperangan dan membuat pasukan Cut Nyak Dhien semakin melemah karena mendapatkan tekanan terus menerus dari Belanda. Ditambah lagi kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dhien terus menurun sampai akhirnya Belanda berhasil menangkapnya di Beutong Le Sageu. Untuk menghindari pengaruh Cut Nyak Dhien pada Aceh, Belanda mengasingkannya ke Sumedang.
Akhir Hayat
Cut Nyak Dhien yang sudah renta dan mengalami gangguan pengelihatan berhasil menarik perhatian para tahanan dan bupati Suriaatmaja di tempat pengasingannya, beberapa ulama yang ditahan bersama Cut Nyak Dhien menyadari bahwa ia merupakan seorang muslimah yang ahli dalam ilmu agama islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.
Kegiatan Cut Nyak Dhien memberikan pengaruh besar di Sumedang, beliau mengajarkan agama islam dan merahasiakan jati dirinya sebagai seorang putri sultan dari Aceh. Pada tanggal 6 November 1908, Ibu Perbu meninggal dunia. Cut Nyak Dhien diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Masa Perjuangan
Cut Nyak Meutia melawan Belanda bersama suaminya, yaitu Teuku Muhammad atau lebih dikenal dengan Teuku Tjik Tunong. Mereka merupakan suami-istri sekaligus rekan perjuangan yang solid untuk melawan Belanda. Sampai akhirnya pada Maret 1905, Teuku Tjik Tunong ditangkap oleh pihak Belanda dan dijatuhkan hukuman mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, ia menitipkan pesan kepada sahabatnya Pang Nagroe untuk menikahi istrinya dan merawat anaknya.
Sesuai pesan almarhum suaminya, Cut Nyak Meutia pun menikah dengan Pang Nagroe dan bergabung bersama pasukan pimpinan Teuku Muda Gantoe untuk melawan Belanda. Namun sayangnya, pada 26 September 1910 Pang Nagroe gugur dalam peperangan melawan Korps Marechausee di Paya Cicem. Cut Nyak Meutia berhasil selamat bersama para wanita lainnya dan melarikan diri ke dalam hutan.
Akhir Hayat
Setelah kematian suami keduanya, Cut Nyak Meutia tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama dengan pengikutnya. Mereka berusaha menyerang dan merampas pos-pos kolonial sepanjang perjalanan ke Gayo melewati hutan belantara. Namun, pada pertempuran di Alue Kurieng tanggal 24 Oktober 1910 tertembak peluru dan dinyatakan telah gugur. Atas segala jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No 107 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Kisah heroiknya juga lah yang membakar semangat masyarakat indonesia dalam melawan Peristiwa G30S/PKI 1965.
Raden Ajeng Kartini adalah pejuang wanita asal Jepara yang sangat terkenal di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang wanita yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Kartini, untuk menghormati segala jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.
Kartini merupakan keturunan keluarga bangsawan, ayahnya adalah R.M. Sosroningrat yang menjabat sebagai bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, anak dari seorang kiai di Telukawur, Kota Jepara. Kartini mengenyam pendidikan sampai usia 12 tahun di ELS (Europese Lagere School). Setelah usia 12 tahun, Kartini harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Masa Perjuangan
Kartini merasakan banyak diskriminasi antara pria dan wanita, dimana ia dan perempuan lainnya tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ada beberapa perempuan yang sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Di masa pingitannya, Kartini suka menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon. Kartini tertarik dengan kemajuan dan pola pikir perempuan Eropa setelah banyak membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Timbul keinginan Kartini untuk memajukan perempuan pribumi seperti perempuan Eropa, karena saat itu perempuan pribumi berada di status sosial yang rendah.
Akhir Hayat
Pada tanggal 12 November 1903, tepatnya saat berusia 24 tahun ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan bupati Rembang, yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat dan memiliki satu anak laki-laki bernama Soesalit Djojodhiningrat. Kartini wafat 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Wafatnya Kartini tidak mengakhiri perjuangannya sebagai pelopor emansipasi wanita, salah satu temanya di Belanda yaitu, Abendanon mengumpulkan semua surat-surat yang dulu pernah dikirimkan Kartini ke teman-temannya di Eropa. Abendanon membukukan seluruh surat itu dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”, terbit pada tahun 1911 dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendon ini dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahaya Melayu. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai diterbitkan, agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan R.A. Kartini semasa hidupnya. Atas perjuangannya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada R.A. Karini berdasarkan SK Presiden RI No 108 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Masa Perjuangan
Ia memulai perjuangannya sejak usia 18 tahun dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak dan menjahit bagi perempuan-perempuan di kotanya. Pada 16 Juli 1904, Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau Sakola Perempuan. Di tahun 1904, Sakola Istri dirubah namanya menjadi Sakola Keutamaan Istri dan pada tahun 1929, Sakola tersebut berganti nama lagi menjadi Sakola Raden Dewi.
Selain tersebar di kota kabupaten Pasundan, Sekolah Raden Dewi menyebar pula ke luar pulau Jawa. Dewi Sartika berusaha keras untuk mendidik anak-anak perempuar agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, cerdas, luwes, terampil dan kelak mampu berdiri sendiri. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, Dewi Sartika berusaha mencari sumbangan dana dan tambah lagi banyak pihak yang mendukung perjuangannya, terutama suaminya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Nama Dewi Kartika dikenal luas oleh masyarakat sebagai pendidik, terutama di kalangan perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1939, pemerintah Hindia Belanda memberikan bintang jasa kepada Dewi Sartika atas jasanya telah memajukan pendidikan kaum perempuan.
Akhir Hayat
Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya, 11 September 1947. Atas perjuangannya dalam mencerdaskan bangsa, Ia diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, pada tanggal 1 Desember 1966.
Masa Perjuangan
Sejak kecil, Martha sering mengikuti ayahnya dalam rapat pembentukan kubu pertahanan, ketika umur 17 tahun Martha pun sudah berani melawan para penjajah.
Martha Christina juga berperan sebagai pemimpin pejuang wanita untuk mendampingi para pejuang pria dalam misi perebutan wilayah Belanda di desa Ouw, Ulath Pulau Saparua. Richemont, seorang pimpinan peran Belanda dibunuh oleh pasukan Martha Cristina. Dengan kematian pimpinan Belanda tersebut, penjajah semakin marah dan terus menyerang rakyat Maluku sehingga pasukan Maluku dikalahkan. Sebagai konsekuensinya, Ayah Martha Christina tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Martha Christina pun berusaha untuk membebaskan ayahnya, namun sayangnya ia dan para pejuang Maluku berhasil ditangkap oleh Belanda. Sampai akhirnya, Kapitan Paulus Tiahahu pun meninggal dunia dengan hukuman mati.
Akhir hayat
Selanjutnya Martha Christina dihukum dan diusingkan ke pulau Jawa. Sampai akhirnya pada 2 Januari 1818, Martha Christina meninggal dalam perjalanan menuju pulau Jawa dan jasadnya hanya dibuang ke lautan. Atas perjuangan dan keberaniannya dalam melawan penjajah, Martha Christina diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, menurut SK Presiden RI No.012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969.
Masa Perjuangan
Maria mampu memperluas ilmu pengetahuannya karena gemar bergaul dengan kaum-kaum terpelajar, seperti Pendeta Ten Hove. Maria kecil bertekad ingin memajukan kaum wanita Minahasa dengan memperoleh pendidikan yang cukup, agar kelak dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan baik.
Pada tahun 1890, Maria Maramis menikah dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda yang merupakan seorang guru. Dengan bantuan suaminya dan pelajar lainnya, pada Juli 1917 Maria Walanda Maramis mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya (PIKAT), yang mengajarkan cara-cara mengatur rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi dan pekerjaan tangan.
PIKAT mendapat sambutan baik dari masyarakat, dalam waktu singkat cabang-cabang PIKAT berdiri di beberapa tempat dan sumbangan dana mulai mengalir. Maria Maramis menamkan rasa kebangsaan kepada murid-muridnya, dengan membiasakan mereka sekolah menggunakan pakaian daerah.
Akhir Hayat
Maria Walanda Maramis wafat pada 22 April 1924 di Maumbi. Ia mendapatkan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas perjuangannya dalam mencerdaskan generasi bangsa sesuai dengan SK Presiden RI No 012/K/1969 tanggal 20 Mei 1969.
Siti Walidah menikah dengan sepupunya, yaitu Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan dikaruniai enam orang anak. Setelah pernikahan itu, ia dikenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan. Kiyai Haji Ahmad Dahlan merupakan pemuka agama dengan pemikiran yang revolusioner, dan sering mendapat kecaman dan tentangan karena pembahuran yang dilakukannya.
Masa Perjuangan
Nyai Ahmad Dahlan memiliki pandangan ilmu yang luas, sebab kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhamadiyah dan tokop pemimpin bangsa lainnya sekaligus teman seperjuangan suaminya.
Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dalam merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno. Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi kewanitaan berbasis agama Islam. Akhirnya dipilihlah nama Aisyah, sebagai organisasi islam bagi kaum wanita tepat pada malam Isra Mi’raj, 22 April 1917. Lima tahun kemudian, Aisyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Akhir Hayat
Pada 31 Mei 1946, Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia. Untuk menghormati segala jasa-jasanya dalam menyebarluaskan agama islam dan mendidik perempuan, pemerintah memberikan gelar kehormatan kepada Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No 042/TK/1971.
Masa Perjuangan
Pada abad 19, Belanda mulai menyerang tanah Jawa dan mulai merendahkan martabat raja-raja Jawa serta membuat keadaan rakyat semakin sengsara karena banyak terjadi perampasan tanah-tanah rakyat sehingga meletuslah perang Diponegoro (1825-1830) yang juga menjadikan Nyi Ageng Serang (usia 73 tahun) sebagai pinisepuh dalam perang tersebut.
Usia tidak menghalangi Nyi Ageng dalam perang tersebut, bahkan ia memimpin langsung pasukannya ketika perang gerilya di desa Beku, kabupaten kulon progo. Strategi yang diterapkan oleh Nyi Ageng dalam perperangan tersebut, membuat Pangeran Diponegoro mengangkatnya sebagai penasehat, sejajar dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang.
Akhir Hayat
Karena fisik yang semakin melemah, akhirnya Nyi Ageng mengundurkan diri dari medan pertempuran dan menetap di rumah keluarga Nataprajan di Yogyakarta sampai ia wafat tahun 1828 pada usia 76 tahun karena sakit. Atas jasa-jasanya membela negara, Nyi Ageng Serang diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974.
Masa Perjuangan
Rasuna Said dinilai sebagai wanita yang mempunyai cara pikir kritis, sampai membuat pemerintah Belanda mempenjarakannya pada tahun 1932. Selain itu ia juga tercata sebagai wanita pertama yang terkena hukuman Speek Delict, yaitu hukum dari pemerintahan Belanda bagi siapa saja yang berbicara menentang Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia, duduk sebagai Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan dan setelah itu ia diangakat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Pada tahun 1959, Rasuna Said berhasil mencapai karir politiknya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Akhir Hayat
Rasuna Said menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta dengan meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh.Ibrahim, Moh.Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul’Ain). Atas segala jasa-jasanya, Rasuna Said diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.
Sejak kecil, Tien sudah terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah, pernah tinggal di Jumapolo Solo, Matesih Gunung lawu, kota Solo dan pernah mengenyam pendidikan di Holland Indlanche School selama setahun.
Masa Perjuangan
Setelah Jepang memasuki kota Sola, Tien pun mengikuti kursus bahasa Jepang dan bergabung dengan Laskar Putri Indonesia, organisasi wanita yang bertujuan untuk melayani kepentingan pasukan garis depan dan belakang perjuangan.
Saat umur 23 tahum, utusan Prawirowihardjo yang merupakan orang tua angkat Soeharto datang ke rumah Tien untuk melamarnya. Tien dan Soeharto menikah pada tanggal 26 Desember 1947. Soeharto yang saat itu seorang perwira militer memboyong istrinya ke Yogyakarta untuk bertugas. Pada tanggal 23 Januari 1949, Tien melahirkan putri pertamanya yang diberi nama Siti Hardiyanti Hastuti.
Seiring berjalannya waktu, Tien sebagai seorang istri selalu mendukung dan mendampingi suaminya yang menjadi tokoh sentral dalam usaha pembubaran PKI. Pada tahu 1967, melalui sidang istimewa MPRS, Soeharto diangkat menjadi presiden, dan Tien yang tadinya adalah istri prajurit kini menjadi istri presiden selama lebih hingga 30 tahun.
Sebagai Ibu Presiden, Tien berusaha untuk membenahi istana negara yang dahulunya seperti peninggalan zaman Belanda, diubah menjadi lebih lembut dengan menonjolkan ciri khas Indonesia, seperti menambahkan perabot dengan ukiran jati dari Jepara, memasang lukisan-lukisan karya pelukis Indonesia hingga mengganti warna-warna bangunan menjadi lebih cerah. Salah satu kontribusi Tien hingga saat ini selalu diingat adalah tentang gagasannya untuk membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sampai saat ini menajdi ikon bagi bangsa Indonesia.
Akhir Hayat
Setelah kurang lebih 47 tahun mendampingi Presiden Soeharto, pada 28 April 1966 di RS Gatot Subroto, Siti Hartinah menghembuskan nafas terakhirnya karena serangan jantung. Atas segala jasanya, Tien diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Ketika usia 20 tahun, Fatmawati menikah dengan Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada tanggal 01 Juni 1943. Yang membuat Fatmawati secara otomatis menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945-1967. Fatmawati adalah istri ketiga dari Soekarno, yang dikaruniai lima orang anak yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan yang terakhir Guruh Soekarnoputra.
Masa Perjuangan
Setelah menikah, Fatmawati ikut suaminya ke Jakarta untuk berperan aktif dan bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Soekarno selaku pemimpin pejuang, selalu meminta pendapat dan pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya kepada Fatmawati.
Menjelang kemerdekaan, pada 15 Agustus 1945 Fatmawati dengan semangat reflektif sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih bayi, ikut meninggalkan kota Jakarta menuju Rengasdengklok mengikuti Soekarno, Hatta dan beberapa anggota PETA.
Selain itu , Fatmawati sebagai Ibu Negara Indonesia Pertama terkenal sebagai wanita yang berjasa dalam menjahit bendera Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Akhir Hayat
Pada tanggal 14 Mei 1980, di usia 57 tahun Fatmawati meninggal dunia karena serangan jantung di Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini nama Fatmawati dijadikan nama sebuah Rumah Sakit di Jakarta dan sebuah nama Bandara Udara di Indonesia, tepatnya di Bengkulu, koto kelahirannya. Perjuangan Ibu Fatmawati sejak sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, diakui oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden RI No.118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sejak kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah duduk di bangku sekolah formal seperti sekolah belanda. Namun sudah banyak belajar tentang ilmu agama dan budaya. Meskipun buta huruf latit, tapi beliau paham tentang Al-Qur’an, Fiqh, Nahwu Sharaf dan balaghah karena hidup di lingkungan bangsawan yang menerapkan nilai-nilai moral dan tingkah laku.
Masa Perjuangan
Pada tahun 1927, Opu tertarik memasuki organisasi politik dengan menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia cabang Pare-Pare. Karena keaktifannya, ia terpilih sebagai ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Daerah Palopo, pada 14 Januari 1930. Selama kepemimpinannya di PSII, Opu menjadikan agama sebagai landasannya dan mendapatkan dukungan besar dari rakyat.
Belanda menahan Opu untuk tidak melanjutkan perjuangannya di PSII, karena Belanda tidak inginb Opu mendapatkan dukungan rakyat yang besar. Pihak Belanda bersama dengan Controleur Afdeling Masamba menganggap bahwa Opu sudah menghasut rakyat agar tidak percaya kepada pemerintah. Akhirnya, Opu diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya dan dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1943.
Akhir Hayat
Pada masa Revolusi, Opi kembali aktif bersama pemuda Sulawesi Selatan untuk melawan NICA yang ingin menjajah Indonesia. Karena keberaniannya melawan NICA, Opu menjadi buronan Belanda di Sulawesi Selatan dan akhirnya menyiksa Opu hingga ia menjadi tuli dan dijadikan tahanan luar. Opu menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 10 Februari 1964. Atas segala jasanya, Opu Daeng Risaju diberikan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional.
Wanita Hebat Asal Sumatera Barat
1. Rohana Kudus
Rohana Kudus adalah Perempuan Multitalenta yang mempelopori emansipasi kaum perempuan, seperti RA Kartini. Rohana Kudus adalah seorang guru, pendiri sekolah perempuan, penulis, wirausaha dan juga pemimpin redaksi dari berbagai surat kabar perempuan. Rohana Kudus selain terkenal sebagai perempuan yang berpengaruh di Sumatera Barat, juga menguasai tiga bahasa asing yaittu bahasa Arab Latin, Arab Melayu dan Belanda.
2. Rahmah El Yunusiyah
Rahmah El Yunusiyah adalah tokoh ulama perempuan yang berasal dari Sumatera Barat. Salah satu bukti perjuangannya yang tetap eksis hingga hari ini adalah Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Beliau juga perempuan pertama yang mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar Mesir, pada tahun 1957.
3. Siti Manggopoh
Siti Manggopoh merupakan tokoh perempuan yang sangat ditakuti pada zaman sebelum kemerdekaan. Siti Manggopoh terkenal berani melakukan perlawan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Peraturan belasting yang dibuat Belanda, dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan kaum di Minangkabau. Akibat perlawanannya terjadilah Perang Belasting pada 16 Juni 1908 yang membuat Belanda kewalahan dan pasukan Minangkabau berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng atas siasat yang diatur oleh Siti Manggopoh.
[accordion]
[toggle title=”Artikel Terkait”]
[/toggle]
[toggle title=”Artikel Lainnya”]
[one_half]
[/one_half]
[one_half_last]
[/one_half_last]
[/toggle]
[/accordion]
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…