Bukan hanya hidangan lezat yang menjadi daya tarik dari daerah Sumatera Barat, namun juga ada wisata alam dan wisata sejarah yang dapat menambah pengetahuan mengenai pendidikan dan kebudayaan Minang. Salah satu objek wisata yang mengandung unsur pendidikan adalah Museum Adityawarman. Terletak di Jalan Diponegoro no. 10, Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, Padang, museum ini adalah salah satu bangunan penting yang mengangkat sejarah masyarakat Minangkabau dan juga peninggalan kebudayaannya mulai masa pra sejarah hingga modern.
Berbagai koleksi pernak pernik dari kehidupan masyarakat Minang bisa dilihat pada Sejarah Museum Adityawarman yang berdiri di lahan seluas 2,6 hektar dan luas bangunan sebesar 2.855 meter persegi. Beberapa patung dan monumen tampak di halaman museum yang sangat luas ini. Pada monumen tersebut berdekatan dengan patung pria yang memegang bambu runcing dan tengah dalam posisi duduk. Di bagian belakang monumen, terdapat tulisan naskah proklamasi dan tanggal 9 Maret 1950, saat dimana Padang dikembalikan kepada Republik Indonesia dengan terbitnya SK Presiden RI Serikat (RIS) no.111.
Sejarah Museum Adityawarman
Sejarah museum Adityawarman bisa ditelusuri dari alasan pemberian namanya terlebih dulu. Pemberian nama yang sama dengan Raja Adityawarman memiliki alasan tersendiri, yaitu untuk menghormati Raja Pagaruyung yang berkuasa pada abad ke 14 Masehi. Kebesaran Raja ini diketahui dari adanya prasasti di Saruaso, Lima Kaum, Pagaruyung, dan juga melalui arca Bhairwa dan candi Padang Roncok di Sijunjung. Replika arca Bhairwa dan Amoghapasa ini merupakan bagian dari koleksi Museum Adityawarman. Kedua arca itu adalah peninggalan dari Kerajaan Dharmasraya yang pernah berdiri sebelum adanya Kerajaan Pagaruyung / Malayupura.
Arca Amoghapasa merupakan peninggalan kerajaan Singasari pemberian Raja Kertanegara dari Singasari untuk Tribhuwanaraja, penguasa Kerajaan Dharmasraya, merupakan perwujudan Awalokiteswara, boddhisatwa yang melambangkan sifat welas asih, dan diberi keterangan prasasti berukir oleh Kertanegara. Adityawarman menambahkan ukiran tersebut dengan menyatakan bahwa patung itu menjadi perwujudan dirinya.
Menurut Kitab Pararaton, Adityawarman adalah putra Dara Jingga, putri dari Tribhuwanaraja yang asalnya akan dinikahkan dengan Kertanegara dalam sejarah kerajaan Singasari, namun batal ketika Kerajaan Singasari runtuh. Siapa ayah Adityawarman masih simpang siur dengan beberapa versi, antara lain Adwaya Brahman dan Raden Wijaya dari Majapahit. Ketika dewasa, Adityawarman dipercaya oleh Raja Jayanegara di Majapahit untuk bernegosiasi dengan bangsa Mongol. Ia bahkan meletakkan arca Manjusri (bodhisatwa yang melambangkan kebijaksanaan) di Candi Jago, Malang untuk menghormati leluhurnya. Setelah Jayanegara meninggal, Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Dharmasraya. Pusat kerajaan dipindahkannya dari Palembang ke Pagaruyung, dan nama kerajaan diganti menjadi Melayupura. Ia berkuasa pada tahun 1347 – 1375 M.
Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Museum
Sejarah museum Adityawarman yang ditelusuri dari proses penamaannya dapat membuat kita memahami mengapa nama tersebut dipilih. Dari sejarah singkat tentang masa kekuasaannya, dapat disimpulkan bahwa Adityawarman adalah seorang pemimpin yang cakap, negosiator unggul dan tidak melupakan leluhurnya. Oleh karena itu sangat wajar jika namanya diabadikan sebagai nama sebuah museum yang menyimpan sejarah masyarakat Sumatera Barat. Bentuk bangunan museum pun merupakan rumah panggung atau Rumah Gadang bernama Rumah Bagonjong dengan atap yang berbentuk seperti tanduk kerbau bertumpuk, dan tujuh puncak gonjong yang ada di atap museum ini.
Nama Adityawarman diberikan secara resmi pada tanggal 28 Mei 1979 walaupun museum ini sudah diresmikan pada 16 Maret 1977 oleh Mendikbud Prof. Dr. Sjarif Thayeb. Pembangunan museum dimulai pada tahun 1974 yang bertujuan untuk menyimpan benda – benda bersejarah atau cagar budaya Minangkabau, Mentawai dan Nusantara. Berdasarkan perlunya keberadaan sebuah wadah untuk memelihara warisan budaya di Sumatera Barat agar tidak hilang atau mengalir ke luar negeri, maka museum ini dibuat.
Pada saat itu Kepala Perwakilan Depdikbud Propinsi Sumbar, Amir Ali menyampaikan keinginan Gubernur Sumbar Harun Zain kepada pemerintah pusat untuk membangun “Balai Kebudayaan Minangkabau”. Direktorat Permuseuman kemudian menanggapi dengan membangun museum regional di ibukota propinsi. Untuk para peminat sejarah, ada pula sejarah museum batik Yogyakarta dan sejarah museum benteng heritage yang menarik.
Tahap Pembangunan Museum
Pembangunan museum dilaksanakan dengan Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, yang merupakan bagian dari Program Perluasan Museum di Indonesia. Ada tiga tahap pembangunan museum, yaitu:
- Tahap Pertama
Pada tahap pertama ini penelitian terhadap luas daerah dilakukan sebagaimana juga terhadap jumlah penduduk dan kekayaan warisan budaya. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perlu segera dibangun wadah untuk pemeliharaan warisan budaya tersebut, dan untuk mencegah hilangnya benda – benda warisan budaya ke luar daerah sehingga terjadi kemiskinan warisan budaya asli Sumatra Barat. Bagi Anda yang ingin mengetahui tentang museum – museum lain di Indonesia, masih ada sejarah museum Aceh, sejarah museum Asia Afrika di Bandung, sejarah museum Biologi di Yogyakarta, dan sejarah museum BRI Purwokerto.
2. Tahap Kedua
Sesuai dengan kebijakan Direktorat Permuseuman dengan data tentang Sumatra Barat yang dimiliki, maka didapatkan ketegasan mengenai pembangunan museum yang harus terletak di ibukota propinsi. Pemda Tingkat II Padang kemudian menyambut kebijakan ini dengan menunjuk Lapangan Tugu sebagai lokasi untuk dilakukan pembangunan museum propinsi. Gubernur juga kemudian memberikan instruksi bahwa prinsip dasar bangunan harus berupa bangunan tradisional, maka struktur bangunan museum yang akan didirikan pun disesuaikan dengan bentuk rumah tradisional Minangkabau bergaya Gajah Maharam.
Arsitektur museum ini kemudian disesuaikan dengan standar yang diperlukan untuk sebuah museum. Penetapan bentuk bangunan berarsitektur rumah tradisional Minang dilakukan dengan tujuan untuk menggugah dan mengingatkan kesadaran masyarakat mengenai tingginya nilai sebuah bangunan tradisional warisan budaya yang harus dipertahankan.
3. Tahap Terakhir
Tahap terakhir adalah pemantapan, yaitu proses dimulainya pembangunan museum hingga diresmikan. Status museum setelah adanya otonomi daerah pada 2001 sudah resmi dikelola oleh Pemda Propinsi Sumbar, dibawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sumatera Barat. Ruangan – ruangan yang ada di museum ini adalah ruang pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang auditorium, ruang perpustakaan, ruang konservasi atau laboratorium, ruang penyimpanan koleksi, ruang bengkel dan ruang administrasi.
Pemerintah setempat kemudian membentuk tim kecil yang beranggotakan tenaga edukator, konservator, preparator dan perpustakaan. Museum juga mempunyai program berupa pameran keliling dan pameran khusus masing – masing dua kali dalam setahun, acara diskusi 4 kali dalam setahun, workshop sekali setahun, penerbitan 6 judul buku sejumlah 3000 eksemplar, mengadakan lomba, fastival dan wisata sejarah lima kali setahun.
Koleksi utama museum hingga tahun 2006 terdata sejumlah 5.781 buah terdiri dari koleksi arkeologi, numismatik, heraldika, keramologika, etnografika, seni rupa, teknologika, biologika, geologika, historika dan filologika. Koleksi pendukungnya adalah kedua patung peninggalan Kerajaan Dharmasraya yang telah disebut sebelumnya, dan juga koleksi pending yang terbuat dari perak dan dilapis emas tua seberat 17,5 gram dilengkapi permata putih mengkilat di bagian tengah. Pending adalah perangkat yang sering dipakai oleh penghulu pada setiap upacara adat Minangkabau. Jam buka museum dimulai dari pukul 8 pagi sampai 6 sore setiap hari kecuali hari Senin. Untuk menuju Museum, pengunjung dapat menempuh rute melalui laut atau darat. Jarak tempuh dari Bandara Internasional Minangkabau ke museum sejauh 20 km, dari Pelabuhan Teluk Bayur ke museum sejauh 8 km, 10 km dari terminal bus dan 5 km dari stasiun kereta api.