“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Kalimat pertama dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia menyiratkan bahwa segala bentuk penjajahan adalah salah dan sama sekali tidak dibernarkan karena hakikat kemerdekaan adalah milik siapa saja yang bernyawa di muka bumi ini tidak hanya manusia saja tetapi juga hewan dan tumbuhan pun berhak untuk ‘merdeka’.
Kemerdekaan sepatutnya diterima oleh siapa saja dan dilindungi dengan hukum. Melihat kilas balik perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan yang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan bahkan setelah kemerdekaan itu berhasil diraih pun jalan untuk mempertahankannya tidak lebih mudah daripada memperjuangkannya.
Artikel terkait :
Kedatangan Sekutu
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia belum dapat bernapas lega karena tentara sekutu yang tergabung dalam Allied Forced Netherlands East Indies (AFNEI) memasuki Indonesia dengan tujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan interniran yang ditahan Jepang dan memulangkannya. Namun ternyata AFNEI membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menguasai Indonesia dan menolak mengakui kedaulatan Indonesia. Sementara itu di pihak lainnya, Indonesia berusaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Pihak sekutu yang memiliki status quo atas Indonesia setelah mundurnya Jepang juga bertanggung jawab dalam menyelesaikan konflik politik maupun militer Asia. Maka diplomat asal inggris Sir Archibald Clark Kerr mengundang pihak Indonesia dan pihak Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe. Perundingan tersebut pun berlangsung namun gagal karena tidak menghasilkan kesepakatan. Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Sumatra, Jawa, dan Madura tetapi Belanda hanya mengakui Jawa dan Madura saja.
Tahun 1946 pada bulan Agustus akhir, Lord Killearn ke Indonesia atas perintah pemerintah Inggris untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Tanggal 7 Oktober 1946 tepatnya di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta perundingan tersebut berlangsung dan menghasilkan persetujuan untuk gencatan senjata pada tanggal 14 Oktober dan melakukan perundingan yang kelak kita kenal dengan perjanjian Linggarjati untuk menyelesaikan keseluruhan masalah diantara kedua pihak.
Artikel terkait :
Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggrajati dilaksanakan disebuah daerah dekat Cirebon Jawa Barat tanggal 11-15 November 1946. Pihak Indonesia diwakili oleh Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Pihak Belanda diwakili oleh Max Van Poll, F. de Baer, dan H.J Van Mook. Perjanjian dipimpin oleh Lord Killearn dengan beberapa saksi yakni Amir Syarifudin, dr.Leimena, dr.Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir dalam perjanjian tersebut.
Hasil perjanjian yang telah disetujui oleh kedua belah pihak diberitahukan pada 15 November 1946. Berikut adalah pokok-pokok hasil dari perjanjian Linggarjati :
Selesainya perjanjian Linggarjati maka Komite Nasional Indonesia Pusat mengesahkan pada tanggal 25 Februari 1947 di Istana Negara Jakarta. Kemudian persetujuannya ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda tanggal 25 Maret 1947. Pihak Indonesia merasa dirugikan karena mendapatkan luas wilayah yang jauh lebih kecil namun ada sisi menguntungkan karena telah mendapat pengakuan secara politik atas kemerdekaan yakni oleh pemerintah Inggris, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Arab yang mempengaruhi kedudukan politik Indonesia di mata dunia.
Pro dan Kontra Perjanjian Linggarjati
Pro dan Kontra mewarnai naskah persetujuan tersebut. Ada partai-partai politik yang menentang yakni PNI, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Wanita, Partai Rakyat Indonesia, Partai Rakyat Jelata, dan Laskar Rakyat Jawa Barat. Sementara partai-partai yang menduking yakni. Perindo, PKI, Partai Buruh, BTI, partai Katholik, Laskar Rakyat, dan Parkindo sedangkan Dewan Pusat Kongres Pemuda memilih bersikap netral untuk menjaga persatuan antara organisasi-organisasi yang membentuknya.
Pemerintah mengubah kekuatan dalam KNIP dengan kekuatan pendukung perjnajian Linggarjati menjadi lebih besar. Dikeluarkannya peraturan pemerintah No.6/1946 pada bulan Desember yakni dimana isinya adalah terkait penambahan anggota KNIP yang ditentang keras oleh partai-partai penolak perjnajian Linggarjati. Namun siding pleno KNIP terus berlanjut hingga menghasilkan 232 anggota baru KNIP dan persetujuan perjanjian Linggarjati dapat diteruskan.
Meski ada pro dan kontra pada perjanjian Linggarjati namun Indonesia tetap bersedia menandatanganinya dengan alasan :
Hubungan Indonesia-Belanda tidak bertambah baik meski telah ditandatangani perjanjian Linggarjati. 27 Mei 1947 Belanda melalui Misi ldenburg menyampaikan nota kepada Pemerintah Indonesia yang harus dijawab dalam waktu dua minggu. Isi nota tersebut adalah sebagai berikut :
Pemerintah RI menyampaikan nota balasan pada 8 Juni 1947, yang mana isi nota tersebut antara lain sebagai berikut :
Namun nota balasan yang disampaikan Sutan Syahrir tersebut dianggap terlalu lemah. Sehingga mengakibatnya semakin banyak partai-partai dalam KNIP yang menentangnya. Akhirnya Kabinet Syahrir memilih untuk menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Artikel terkait :
Belanda menyatakan Agresi Militer I
Pihak Belanda yang masih menafsirkan lain isi dari perjanjian Linggarjati mengadakan Agresi Militer I tanggal 21 Juli 1947. Sementara itu pihak Indonesia mengirim Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo untuk datang ke sidang Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan harapan agar posisi Indonesia semaki kuat dalam dunia internasional. kehadiran wakil Indonesia menjadi perbincangan peserta sidang PBB lainnya.
Dewan Keamanan PBB memberikan perintah agar diberlakukan gencatan senjata dan mengirimkan komisi jasa baik yang beranggotakan tiga Negara atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN) yakni Australia atas usulan Indonesia diwakili Richard C. Kirby, Belgia atas usulan Belanda diwakili Paul Van Zeeland, dan Amerika Serikat sebagai anggota ketiga diwakili Frank Graham.
[accordion]
[toggle title=”Artikel Terkait”]
[/toggle]
[toggle title=”Artikel Lainnya”]
[one_third]
[/one_third]
[one_third]
[/one_third]
[one_third_last]
[/one_third_last]
[/toggle]
[/accordion]
Latar Belakang Hari Kebangkitan Nasional Setiap tanggal 20 Mei rakyat Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional…
Latar Belakang Hari Buruh Internasional ( May Day) Demonstrasi dan orasi merupakan hak semua orang…
Mungkin banyak dari kita yang sering membaca atau mendengar istilah kolonialisme dan imperialisme. Selain dari…
Dunia ini memiliki banyak negara. Total ada Negara 193 negara yang ada di dunia ini.…
Kita sering kali mendengar istilah de facto dan de jure. Beberapa di antara kita mungkin…
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak merupakan bagian dari sejarah kerajaan Islam di Indonesia sebagai kerajaan…